Suaramuslim.net – Seorang profesor yang gigih memotivasi dan mengonsultasi perusahaan BUMN, pada suatu masa kekuasaan, memberikan banyak masukan penting. Sayang, ketika kekuasaan berganti, ia tak sekadar konsultan tapi juga tim sorak dan pembela loyal kekuasaan. Namanya sempat membikin heran beberapa orang yang mengenalnya figur berintegritas, salah satunya lewat gagasan Rumah Perubahan.
Periode kekuasaan saat ini, perubahan masih dibelanya dengan tingkah yang kadang menyebalkan sekaligus menghadirkan iba. Tiada lagi mawas dan peka atas wawasan yang dimiliki.
Nama lain serupa adalah seorang penulis muda yang pernah tinggal di luar negeri. Sejak lama ia memang menghabiskan buat setia pada kekuasaan yang juga menyertakan loyalitas profesor tadi. Dengan bahasa memikat dan intelektual, ia kokohkan sebagai penyetia petahana. Keterbatasan yang di mata orang sebentuk aib, buatnya berbeda amatan. Romansa jodoh dan rumah tangga yang belakangan melambungkan namanya, seakan paradoks dengan kesabaran dan kepercayaan penuh pada tingkah kekuasaan yang kerap mungkir sekalipun.
Ada apa di balik kesetiaan kedua nama, dan banyak sosok lain, pada kekuasaan? Mengapa mereka tidak memandang laku dusta kekuasaan? Malah terkesan meremehkan amatan dan simpulan orang lain.
Sungguh sayang sebenarnya bila muara aksi pemikiran profesor penulis “Change” berupa pembelaan pada kepemimpinan sarat dusta. Sungguh iba sejatinya jika akhir kesetiaan penulis muda keluarga romantis ada pada loyalitas-gigih ke kekuasaan yang acap bohong.
Tapi di sinilah letak beda “cerdas” dan “mengilmu”. Kalau sekadar berhimpunnya pengetahuan dan keterampilan, biasa dan wajar saja andai kecerdasan mengabaikan dan tidak menjadikan penting dusta dibanding laku bersahaja. Beda dengan mengilmu; kata Wan Mohd Noor Wan Daud di buku Budaya Ilmu, disebut ilmu bila “ketibaan makna sesuatu ke dalam diri seseorang.”
Bersahaja saja belum lengkap kalau tiada makna hadir sebagai pemimpin sebenarnya. Bersahaja dan merakyat bisa didudukkan dengan adil dibandingkan kejujuran dan berlaku bersahaja tanpa polesan. Pun ketika kesahajaan dan syahdan tidak korupsi, maka ini bisa disandingkan dengan fakta apakah ada duli ke nasib dan derita orang yang antre mengadu.
Di samping itu juga, sebagai yang merujuk pada Allah sebagai asalnya, ilmu bermakna bila mana menyadari posisi sang pencarinya di hadapan Allah. Maka, dusta dan klaim-klaim bualan tetanda absennya adab (lost of adab) dalam relasi dengan ketuhanan sekaligus kemanusiaan.
Orang cerdas yang membela dan memaklumi ketiadaan adab ini justru bukanlah orang berilmu dalam fahaman sebagai hamba-Nya. Mereka pupuskan kadar intelektual diri dalam amatan yang nisbi tapi memerosokkan dari jalan ilmu sejati. Dengan begitu, kiranya keberkahan ilmu mesti dianggit sesiapa pun. Tidak semata mengumulasi banyaknya informasi dan pengalaman tapi gagal membaca hal dasar watak orang yang dicintai.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net