Raja’ bin Haiwah: Model sukses perjuangan ulama di pusaran istana

Raja’ bin Haiwah: Model sukses perjuangan ulama di pusaran istana

Tulis Menulis dan Pinjam Meminjam Kitab Hadis di Masa Lampau
Pengkajian ilmu di era golden age.

Suaramuslim.net – Raja’ bin Haiwah Al-Kindi, sosok ini punya peran besar dalam peristiwa besar, terkait Khalifah Bani Umayyah yang disebut sebagai mujaddid (pembaharu) di abad pertama. Sufyan Ats Tsauri bahkan menyebutnya sebagai khalifah rasyidah kelima, yaitu Umar bin Abdul Aziz.

Ketika puncak sukses Raja’ bin Haiwah adalah menaikkan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah, tentu ia sudah melewati perjalanan panjang berinteraksi dengan khalifah-khalifah sebelumnya.

Banyak orang baik (ulama) yang masuk ke pusaran kekuasaan untuk memperbaiki dari dalam, khususnya kepada penguasa zalim, namun banyak yang tidak berhasil. Ada yang terlempar, ada yang angkat tangan, bahkan ada yang justru berubah mengikuti penguasa zalim.

Kuncinya adalah integritas yang harus sangat kuat karena berada di pusaran kuat, membangun kedekatan yang elegan dengan penguasa sehingga punya wibawa.

Raja’ bin Haiwah adalah satu di antara ulama yang sukses di pusaran penguasa. Dia dekat dengan penguasa tapi masih punya integritas, sehingga bisa mempengaruhi kebijakan khalifah.

Berbeda dengan Ibnu Sirin, Sufyan Ats Tsauri, Sa’id bin Musayyib yang menjaga jarak dengan penguasa, Raja’ bin Haiwah malah berada di pusat kekuasaan. Sebagaimana kita tahu juga, penguasa-penguasa Bani Umayyah banyak yang zalim dan otoriter.

Namun uniknya, dalam catatan para ulama hadis, tidak ada yang mencela/men-jarh integritas Raja’, dia tetap dinilai tsiqah. Para bangsawan Bani Umayyah pun mengakui prestasinya dan menghormatinya, masyarakat pun mencintainya.

Penilaian ulama tentang Raja’

Ibnu Qayyim menyebut Raja’ menjadi teman para penguasa Bani Umayyah dan berupaya mengajak mereka kepada yang makruf. Tapi setelah kematian Umar bin Abdul Aziz, dia tidak pernah lagi bersama penguasa. Dia menarik diri dari pusaran kekuasaan.

Al-Bukhari menyebut Raja’ sebagai pakar dan penutur sejarah.

Para Khalifah ketika mendidik anaknya untuk menyiapkan jadi pemimpin, di antaranya dengan materi bahasa dan sejarah. Contohnya Muawiyah, punya hobi tiap malam baca buku sejarah. Sehingga para Khalifah tentu berkepentingan dengan keahlian Raja’ di bidang sejarah ini.

Ibnu Sa’ad menyebut, Raja’ adalah org tsiqah, alim, tokoh besar dan berilmu luas.

Abdullah bin ‘Aun berkata, “Aku menjumpai tiga orang hebat yang tidak ada tandingannya. Mereka seakan selalu berkumpul dan saling mengingatkan, padahal berada di tiga tempat berbeda. Mereka adalah Muhammad bin Sirin di Basrah (Iraq), Al-Qasim bin Muhammad di Madinah (Hijaz) dan Raja’ bin Haiwah di Damaskus (Syam).”

Dekat dengan penguasa untuk kemaslahatan umat

Dia tidak bisa dipengaruhi penguasa dan tidak bisa dikendalikan mereka, meskipun keberadaannya menguntungkan khalifah.

Raja’ masuk ke pusaran kekuasaan sejak Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), lalu Al Walid bin Abdul Malik (86-96 H). Dia semakin kokoh di masa Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H) dan puncaknya pada masa Umar bin Abdul Aziz (99-101 H).

Total sekitar 35 tahun atau dari tahun 65-101 H, Raja’ berada di kekuasan, namun dengan level pengaruh dan kedekatan yang berbeda-beda.

Ibnu Abdil Hakam menulis dlm kitab Sirah Umar bin Abdul Aziz bahwa para khalifah sangat mengakui keulamaan, kesalehan dan kepakaran Raja’ sehingga mereka mengangkatnya sebagai wazir (menteri), mustasyar (penasihat) dan pendidik anak-anak mereka.

Jadi, Raja’ adalah penasihat, dewan pertimbangan dan guru para khalifah dan kadang mendapat tugas khusus.

Bagaimana sikap Raja’ ketika dekat dengan Abdul Malik bin Marwan?

Ketika berada di forum Khalifah, ada seseorang yg merendahkan Abdul Malik dan malah mendukung musuh politiknya (Abdullah bin Zubair). Abdul Malik sangat marah, dan berkata kalau berhasil menangkap orang itu, akan dia siksa dan bunuh.

Lalu orang tadi ditangkap dan digiring menghadap Abdul Malik. Hampir saja dia dihabisi Khalifah.

Tapi Raja’ berdiri dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya Allah telah menganugerahimu kelebihan yaitu kekuasaan. Balaslah kebaikan Allah itu wahai Amirul Mukminin dengan sesuatu yang dicintai Allah yaitu memaafkan.”

Khalifah Abdul Malik diam dan marahnya mereda.

Bayangkan, bagaimana wibawa seorang ulama bisa memperlakukan Khalifah seperti itu.

Raja’ di zaman Al Walid bin Abdul Malik

Saat Al Walid bin Abdul Malik jadi khalifah, dia ke Madinah berkeliling Masjid Nabawi. Al Walid ini adalah khalifah yang suka arsitektur dan pada masa kekuasaannya memperluas Masjid Nabawi.

Dia juga yang merenovasi Masjid Umawi di Damaskus, sehingga kita lihat sampai sekarang, salah satu arsitektur masjid khas Islam di wilayah Arab yang masih bertahan adalah Masjid Umawi ini. Adapun Masjid Nabawi di Madinah itu campuran pengaruh arsitektur Andalusia.

Saat Al-Walid merenovasi Masjid Nabawi, yang jadi Gubernur Madinah adalah Umar bin Abdul Aziz. Saat Al Walid melakukan inspeksi, orang-orang di dalam masjid diminta mengosongkan masjid. Semua keluar kecuali Said bin Musayyib yang notabene tidak berbaiat kepada khalifah.

Umar paham Al Walid bisa saja meledak-ledak karena ada yang tidak mengikuti perintahnya, tapi Said adalah gurunya, dia juga gak berani menyuruh Said keluar. Umar pun mengutus ajudannya untuk membujuk Said meninggalkan masjid.

Said menjawab, “Aku punya rutinitas, diam beberapa saat di masjid (iktikaf) dan tidak akan keluar kecuali sudah tiba jadwal keluar masjid.”

Lalu ajudan Umar mengajak Said menemui Khalifah. Said kembali menjawab, “Aku berdiri di sini untuk Allah bukan untuk menyambut Al Walid.”

Mendengar laporan ajudannya, Umar tambah bingung, bagaimana caranya menyelamatkan gurunya dari kemarahan Khalifah.

Lalu Umar membawa Said berjalan agar tidak berpapasan dengan Al Walid, sementara di sisi lain, Raja’ yang menemani khalifah mengajak khalifah ngobrol supaya tidak memandang Said. Tapi ujung-ujungnya khalifah tahu keberadaan Said.

“Itu Said bin Musayyib kan?” ujar Al Walid.

“Betul,” kata Umar dan Raja’ yang kemudian menyebutkan segala kebaikan Said sebagai ulama dan tokoh.

“Aku tahu keistimewaan orang itu,” kata Al Walid, dan dengan segala kelebihannya, dia lebih berhak untuk kita datangi.

Raja’ di masa Sulaiman

Di masa Sulaiman bin Abdul Malik, posisi Raja’ semakin kuat karena eskalasi politik di masa ini sudah berbeda dengan masa Abdul Malik bin Marwan dan Al Walid bin Abdul Malik.

Sulaiman didukung Raja’ dan Umar bin Abdul Aziz dari intrik Walid yang ingin membatalkan pengangkatan Sulaiman. Dengan dukungan ini, Sulaiman berhasil naik menjadi khalifah seperti hukum asal dan dia mengangkat Raja’ dan Umar sebagai penasihatnya. Pengaruh Raja’ pun semakin kuat terhadap khalifah.

Di akhir usianya, waktu sakit parah, Sulaiman memanggil Raja’ dan bertemu berdua saja, dia minta nasihat terbaik agar bisa tenang menghadap Allah.

Raja’ berkata, “Wewenangmu, semua bangsawan sedang menunggu penggantimu (putra mahkota Sulaiman sudah gugur dan yang satunya lagi ada di medan tempur Konstantinopel).”

Sulaiman ingin mengangkat anaknya yang di medan tempur sebagai pengganti, tapi dinasihati Raja’. Menurutnya itu bisa menambah kacau istana dan Sulaiman tidak bisa menghadap Allah dengan tenang.

Raja’ mengusulkan agar Sulaiman mengangkat Umar bin Abdul Aziz sepaket dengan Yazid bin Abdul Malik untuk meredam gejolak anak-anak Abdul Malik.

Sulaiman setuju dan meninggal dunia setelah itu. Lalu Raja’ menyampaikan wasiat khalifah ini kepada orang-orang yang ada di luar kamar.

Bersama Umar bin Abdul Aziz

Raja’ bin Haiwah menginap di rumah Umar bin Abdul Aziz. Ketika mereka sedang berbincang, tiba-tiba lampu meredup. Raja’ segera berdiri untuk memperbaikinya. Namun Umar melarang dan dia sendiri yang beranjak memperbaikinya.

Raja’ berkata, “Engkau adalah Amirul Mu’minin. Tidak seharusnya engkau sendiri yang memperbaiki lampu itu!”

Umar bin Abdul Aziz menjawab: “Ketika berdiri, aku hanyalah seorang Umar bin Abdul Aziz dan ketika kembali (duduk) aku juga hanyalah seorang Umar bin Abdul Aziz.”

Menolak Yazid bin Abdul Malik

Yazid bin Abdul Malik, Khalifah Bani Umayyah kesembilan, memerintah setelah Umar bin Abdul Aziz antara tahun 101-105 H.

Khalifah Yazid bin Abdul Malik sempat meminta Raja’ menjadi penasihatnya, namun ia menolak.

Beberapa orang mengkhawatirkannya dan berkata, ‘Kami takut mereka akan mencelakaimu.’ Raja’ menjawab dengan tenang, “Aku yakin dengan perlindungan Dia yang menjadi alasanku meninggalkan mereka.”

Biodata

Raja’ bin Haiwah al-Kindi
Panggilan: Abu al-Miqdam
Lahir: Bisan, Palestina, sekitar tahun 30-an Hijriyah
Wafat: Jordan, 112 Hijriyah
Usia: Sekitar 80 tahun

Riwayat Pendidikan

Guru: Abu Sa`id al-Khudri, Abu ad-Darda’, Abu Umamah al-Bahili, `Ubadah bin ash-Shamit, Abdullah bin `Amr bin al-`Ash, Jabir bin Abdullah, Mu`awiyah bin Abu Sufyan, an-Nuwas bin as-Sam`an, Ummu ad-Darda’, Haywah, dll.

Murid: Makhul, az-Zuhri, Qatadah, Abdul Malik bin `Umair, Ibrahim bin Abu `Ablah, Ibn `Aun, Humaid ath-Thawil, Asy`ats bin Abu asy-Sya`tsa, Muhammad bin `Ajlan, Muhammad bin Juhadah, Tsaur bin Yazid, dll.

Referensi:
Al-Bukhari, at-Tarikh al-Kabir
Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah
Ibn `Abd al-Hakam, Sirah Umar bin Abd al-`Aziz
Ibn Khallikan, Wafayat al-A`yan
Ibn Sa`ad, ath-Thabaqat al-Kubra

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment