Suaramuslim.net – Pengakuan Amerika Serikat terhadap Kota Al Quds ( Yerusalem), Palestina, sebagai ibu kota Israel bertentangan dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2334. Hal itu pun menuai banyak kecaman, khususnya umat Islam.
Pada Kamis (7/12), ratusan warga Palestina berkumpul di Bethlehem untuk melakukan aksi demonstrasi “hari kemarahan” terhadap pengakuan Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Kemarahan atas keputusan kontroversial tersebut terus menyebar ke seluruh wilayah Palestina.
Aksi demonstrasi menentang keputusan AS ini tidak hanya diikuti kalangan pria saja, tapi juga wanita dan anak-anak. “Saya melihat orang-orang dalam demonstrasi yang tidak pernah melakukan demonstrasi semacam ini,” ungkap salah satu warga Palestina yang berpartisipasi dalam aksi tersebut, Rabee Alsos, dikutip laman Aljazirah. Demonstrasi tersebut digelar di beberapa tempat, anatara lain Yarussalem Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur, serta di kota-kota besar di seluruh wilayah, dan berlangsung sepanjang hari.
Menurut Rabee, memang wajar bila seluruh kalangan masyarakat Palestina turun ke jalan untuk memprotes dan menolak keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Yerusalem dan Masjid Al Aqsha sangat berarti bagi semua orang di sini, bahkan anak-anak. “Keputusan (AS) ini adalah sebuah kesalahan besar,” imbuhnya lagi.
Pemuda 15 Tahun pun Tuntut Trump Meminta Maaf
Seorang peserta anak-anak juga mencuri perhatian Aljazeera kala itu. Ramzi, seorang anak Palestina berumur 15 tahun adalah salah satu anak-anak yang bergabung dalam aksi demonstrasi di Betlehem. Kendati masih terbilang sangat muda, Ramzi tampak sudah sangat memahami tentang status Yerusalem. Ia menilai keputusan Trump sangat bias Israel dan mendukung okupasi yang dilakukannya.
Ia meminta, Trump untuk meminta maaf kepada rakyat Palestina atas pengakuannya yang keliru terkait Yerusalem. “Kita siap mengorbankan diri kita untuk Yerusalem. Saya siap untuk tidur di gang-gang Yerusalem sampai ia dibebaskan, kata Ramzi.
Senada dengan beberapa peserta demonstrasi di atas, Pemuda Palestina berumur 24 tahun bernama Jihad mengaku, akan tetap melakukan perlawanan terhadap tentara-tentara Israel yang berupaya membubarkan demonstrasi warga Palestina. “Kami tidak memiliki senjata atau pesawat untuk melawan tentara ini. Kami tahu melempar batu-batu ini tidak banyak berdampak, tapi ini adalah simbol penolakan kami terhadap keputusan Trump,” ucapnya.
Ia menilai, keputusan Trump tidak hanya keliru dan tidak adil, tapi juga menunjukkan kedunguannya. “Bagaimana Trump bisa memberikan tanah yang tidak dia miliki? ” kata Jihad.
Konflik Terus Memanas Hingga Hari Ini
Protes menentang keputusan presiden Amerika terkait Yerusalem masih terus berlangsung di Yerusalem maupun Gaza. Kemarin, protes dan bentrok terus terjadi hingga larut malam. Ketika jalan-jalan sudah sepi, para pemuda Gaza dan Yerusalem berkumpul di masjid-masjid merencanakan protes di hari selanjutnya, Jumat 8/12.
Setelah shalat subuh masjid-masjid berkumandang memanggil semua masyarakat untuk berkumpul dan memulai protes di jalan-jalan. Bentrok kembali diprediksikan akan terjadi antara masyarakat Gaza dan petugas militer Israel, khususnya di daerah perbatasan.
Masyarakat Muslim Yerusalem juga melakukan perlawanan terhadap keputusan Presiden Amerika tersebut. Pasar-pasar ditutup, penerangan jalan dan bangunan dimatikan sebagai bentuk penolakan akan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Bentrok juga terus terjadi di Hebron antara masyarakat muslim dan militer.
Dikutip melalui akun instagram sebuah lembaga kemanusiaan, ACT (Aksi Cepat Tanggap), Mitra ACT di Gaza mengatakan bahwa gelombang protes ini diprediksikan akan terus meningkat, bentrok dan korban nyawa kemungkinan akan terjadi. Meski demikian,warga palestina belum tahu prihal bentrok akan berakhir dengan peperangan atau tidak. Semua tergantung bagaimana Israel menanggapi protes tersebut. “Hal itu (peperangan) bergantung pada respon Israel, kalau mereka mengirimkan jet dan menyerang masyarakat palestina, kemungkinan perang akan terjadi,” ujarnya.
Kontributor: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir