Refleksi Hari Kartini terhadap posisi perempuan dalam SDGs

Refleksi Hari Kartini terhadap posisi perempuan dalam SDGs

Suaramuslim.net – Hari ini tertulis di kalender, sebagai tonggak peringatan kebangkitan perempuan Indonesia yang disimbolkan dengan tanggal kelahiran RA Kartini (RAK).

Mari kita sedikit mengulik sejarah perjuangan perempuan Indonesia. Antara Cut Nyak Dien (CND) dan RA Kartini (RAK) lebih senior CND, karena beliau kelahiran 1848, sedangkan RAK, kelahiran 1879. Keduanya sama-sama dari keluarga bangsawan.

CND mendapatkan pendidikan agama dan umum dari orang tua dan guru di lingkungan pendidikan para bangsawan. Usia 25 tahun (1873) ikut berperang melawan Belanda, bersama-sama dengan suaminya, karena Belanda saat itu menguasai dan membakar Mesjid Baiturrahman di Aceh.

Perlawanan CND terhadap Belanda hingga beliau usia tua, tidak mau tunduk patuh pada Belanda.

Pertanyaannya:

  1. Kenapa simbol perjuangan perempuan, simbol kebangkitan perempuan, tidak menggunakan sosok CND?
  2. Apakah karena CND bukan dari Jawa? Apakah karena CND tidak mau patuh dan tunduk pada Belanda?
  3. Apakah karena CND sosok muslimah yang taat? Sosok perempuan muslim yang enggan tunduk pada penjajah?

 

Saya tidak mengecilkan arti perjuangan RAK, tapi jika simbol perjuangan itu adalah melawan tirani, saya pikir hari kelahiran CND lebih bisa diterima sebagai tokoh perempuan yang layak diteladani karena kegigihan dan idealismenya untuk dijadikan sebagai tonggak hari kebangkitan perempuan Indonesia.

Keberanian, kegigihan dan nasionalisme CND yang kuat harusnya terukir dengan tinta emas agar menjadi uswah yang hasanah, ini bukan berarti mengecilkan peran aktif perempuan yang lain di masa perjuangan dulu.

Sama sekali tidak. Justru dengan ghiroh (semangat) yang tinggi itu, menjadikan semua perempuan Indonesia bahu membahu untuk mewujudkan tercapainya SDGs.

Kekerasan publik kepada perempuan semakin meningkat

Di lain pihak, data WHO saat pandemi covid ini, insiden IPV (Intimate Partner Violance) dan Public Violance pada perempuan meningkat tajam di seluruh dunia. Violance di sisi kesehatan, ekonomi, politik dan hukum.

Artinya, ada banyak persoalan sangat mendasar yang dialami perempuan di setiap negara, bukan hanya ketika pandemi, tapi ketika berbicara tentang pembangunan yang berkelanjutan. Persoalan-persoalan ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya sekadar berkebaya dan berkain saja.

Ghiroh dari CND bagaimana nasionalisme, idealisme dan kegigihan serta keberanian melawan tirani, telah membuat negerinya (Aceh) menjadi negeri yang tidak tersentuh oleh penjajahan. Bukankah ini sebuah uswah yang hasanah?

Lihatlah, berapa banyak perempuan yang kemudian mengambil alih sektor keuangan keluarga ketika suaminya terkena PHK, ketika gaji suaminya dipotong oleh perusahaan karena dampak pandemi?

Berapa banyak perempuan yang kemudian bergerak di sektor nonformal? Begitu banyak lonjakan di sektor ini yang dikerjakan perempuan, yang juga di saat yang sama terus mengusahakan ketundukan dan kepatuhannya pada imam keluarganya serta menjaga keutuhan keluarga.

Berapa banyak perempuan yang mengurangi kecukupan gizi untuk dirinya dan memberikannya pada suami dan anak-anaknya?

Di sisi yang lain, para lelaki yang harusnya bekerja lebih keras untuk mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar keluarganya, diambil alih oleh istrinya dan itupun masih dikurangi dengan jatah rokok dan kopi serta paket data!

Persoalan-persoalan perempuan dalam upaya mewujudkan tercapainya tujuan-tujuan pada SDGs menjadi “terhambat” dan “tertatih-tatih” ketika:

  1. Tidak ada upaya aktif dari pemerintah dan swasta dalam memfasilitasi para perempuan agar bisa mengurai 17 masalah di SDGs.
  2. Persolan perempuan dianggap hanya bisa diselesaikan oleh perempuan tanpa diberi fasilitas kebijakan publik untuk menguraikan masalah-masalah keperempuanan.
  3. Upaya “mengangkat” tema-tema perempuan dianggap, bahwa itulah salah satu bentuk kemanjaan perempuan.

 

Padahal, mengangkat persoalan perempuan ke publik adalah dalam rangka membangun kesadaran bersama seluruh elemen bangsa bahwa persolan perempuan adalah persoalan bangsa yang sangat serius yang membutuhkan energi dan konsentrasi yang sama dengan kebijakan publik lainnya.

Perempuan sebagai tonggak peradaban dunia harusnya tidak hanya mengisi ruang-ruang diskusi kita, tapi juga mengisi ruang kebijakan publik, sehingga seluruh elemen bangsa berkesadaran penuh terhadap hal tersebut.

Selamat hari Perempuan (setiap hari) untuk semua perempuan Indonesia, karena kita para perempuan tokoh sentral dalam kehidupan kita sendiri dan kehidupan keluarga kita. Kita adalah tonggak peradaban dunia.

Jadikanlah semua upaya kita ini bernilai ibadah, lillahi ta’ala mencapai ridha-NYA memudahkan kita menuju surga-Nya. Aamiin.

Salam takzim
Evi Sufiani
Koordinator Presidium Forum Kohati Majelis Daerah Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment