Refleksi Hari Pers Nasional di Tahun Politik

Refleksi Hari Pers Nasional di Tahun Politik

Refleksi Hari Pers Nasional di Tahun Politik
Ilustrasi media massa (Ils: Freepik)

Suaramuslim.net – Dalam beberapa tahun terakhir ini saya perhatikan telah terjadi pergeseran penting di tengah masyarakat kita, berupa makin mencuatnya media sosial sebagai sumber informasi di satu pihak dan makin lemahnya media massa, baik cetak maupun elektronik, di lain pihak.

Salah satu sebab merosotnya peran media massa, termasuk yang tergolong mainstream, adalah karena kepercayaan masyarakat makin pudar dan lemah terhadap media mainstream, baik itu berupa koran, majalah, televisi dan radio. Mengapa? Kemungkinan besar media massa kita memang sudah tidak lagi menjadi pilar ke-4 demokrasi, di samping pilar-pilar legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Di berbagai negara yang menganut demokrasi, masyarakat banyak mengharap agar media massa bisa menjadi watch dog. Katakanlah, sebagai anjing pengawas yang mengawasi perilaku eksekutif yang semakin tidak transparan, semakin jauh dari kepentingan rakyat, sementara fungsi legislatif dan yudikatif sudah melempem akibat subordinasi keduanya di bawah kekuasaan dan keperkasaan pemerintah atau eksekutif.

Di negara kita, merosotnya media massa sebagai pilar ke-4 demokrasi nampak telah terjadi. Sebagian besar sudah menjadi corong penguasa dan tanpa disadari telah menjadi kolaborator kekuasaan yang menyedihkan. Bila masyarakat berpaling ke media mainstream, yang ditemukan hanyalah pujian, persetujuan dan dukungan apa saja yang dikerjakan oleh penguasa.

Media massa mainstream telah menjadi guard dog, anjing penjaga kepentingan penguasa. Contoh spektakular bagaimana semua media mainstream sudah mengingkari jati diri dan peranan yang harus dimainkan sebagai salah satu pilar demokrasi adalah apa yang terjadi pada 2 Desember tahun lalu. Reuni akbar PA 212 yang diikuti oleh jutaan orang, sebagai kekuatan moral keagamaan, yang gaungnya sampai ke Malaysia, Turki dan Prancis, dan diliput oleh CNN, Al-Jazeera, BBC, justru di blacked-out oleh media baik cetak maupun elektronik dalam negeri. Karena itu media massa Indonesia tidak layak lagi disebut sebagai sesuatu yang mainstream. Untung masih ada TV One.

Rocky Gerung sangat tepat ketika berpendapat bahwa media massa Indonesia (yang bukan lagi mainstream, pen) telah menggelapkan peristiwa sejarah yang sangat penting di ujung akhir tahun 2018. Media massa Indonesia sudah tidak lagi jujur pada rakyat, dan tidak jujur pada dirinya sendiri. Kalau pun meliput, cara dan isi liputannya sangat licik, penuh dengan distorsi dan memperbodoh diri sendiri.

Penguasaan penguasa pada media massa memang mengherankan, hampir berhasil total. Malcolm X, seorang pejuang HAM di Amerika pada abad lalu, pernah mengatakan betapa digdayanya media waktu itu. Ia mengatakan: “The media’s the most powerful entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that’s power. Because they control the minds of the masses.” (Media adalah entitas paling kuat di muka bumi. Mereka dapat menjadikan yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar dan itulah kekuasaan/kekuatan. Karena mereka menguasai pikiran massa).

Itu dulu. Sekarang alhamdulillah tidak lagi, berkat medsos sebagai alternatif media yang sudah lupa pada misinya. Sekalipun media massa sudah turun pamor dan pengaruhnya di tengah masyarakat, namun sebagai alat perusak pikiran masyarakat luas tetap saja masih berbahaya.

Tantangan bagi Para Jurnalis

Di atas telah disebutkan betapa media bisa menjadi bagian dari Industri kebohongan bersama politisi busuk, LSM busuk, kelompok kepentingan busuk, aparat busuk dan berbagai lembaga atau perorangan yang menyiarkan kebohongan dan kepalsuan serta membenamkan kebenaran. Jangan pernah lupa, semua dilakukan untuk mengejar cuilan-cuilan keduniaan yang berupa uang, jabatan atau keduniaan yang lain.

Dalam literatur jurnalisme, dikenal dan dikenang sebuah peristiwa menarik betapa para jurnalis memang menghadapi tantangan yang sangat berat. Mereka dipaksa sujud di kaki mammon. Mammon adalah dewa pembagi kenikmatan dan kelezatan dunia. Salah satu ajaran gerejani berbunyi: “You cannot serve both God and mammon” (Engkau tidak bisa menyembah Tuhan dan mammon bersama-sama). Demikian juga Al Quran lebih tegas lagi. Seorang manusia tergolong musyrik tatkala dia menduakan Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak mungkin orang beriman berserah diri pada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi juga menyembah uang, jabatan, kekuasaan, dan lain sebagainya.

Nah, sebuah peristiwa menarik terjadi dalam sejarah jurnalisme modern di Amerika di tahun 1880-an. Suatu malam para jurnalis di New York berkumpul di sebuah hotel merayakan hari kemerdekaan pers (independent press). Tamu kehormatan malam itu bernama John Swinton, jurnalis ulung yang bekerja untuk The New York Times dan The New York City.

Ketika diminta bersulang, Mr. Swinton menolak dan meledakkan kemarahannya di depan tetamu yang hadir. Ia merusak dan membuat berantakan acara yang sudah disusun dengan rapi.

Dia mengatakan waktu itu tidak ada sama sekali pers bebas di Amerika. Anda tahu itu dan saya tahu itu. Bila kita menulis opini yang jujur, kita tahu persis opini kita tidak bakal dimuat. Kita dibayar secara mingguan sesungguhnya untuk melaporkan berita yang tidak benar. Kita seumur hidup bergantung pada bayaran dari atasan kita. Kalau sampai kita bertindak bodoh, membuat berita secara jujur, kita tahu esok harinya kita harus cari pekerjaan di tempat lain, karena kita sudah langsung dipecat dari perusahaan kita. Biasanya kurang dari 24 jam kita langsung jadi pengangguran.

Mr. Swinton mengatakan: “Bisnis kaum jurnalis adalah menghancurkan kebenaran, berbohong secara lugas, menyelewengkan fakta, membungkus kebohongan, menjilat kaki mammon, menjual negara dan bangsa demi sepotong roti. Anda tahu itu, saya tahu itu. Kebodohan macam apa yang sedang kita lakukan sampai harus bersulang segala untuk merayakan pers bebas? Kita alat dan kacung orang-orang kaya yang ada di balik layar. Kita bagaikan peloncat bayaran yang melompat-lompat sesuai tabuh dan gendang mereka. Bakat kita, kemampuan kita, bahkan seluruh kehidupan kita sudah menjadi milik orang lain. Kita semua telah menjadi pelacur intelektual. “We are intellectual prostitutes”.

Itulah yang dipidatokan Mr. Swinton yang sampai kini dikenang orang. Kita semua yakin para wartawan kita, para redaktur dan editor media massa kita tidak akan pernah melakukan apa yang digambarkan oleh John Swinton di atas. Na’udzubillah.

Semoga media massa kita, baik cetak dan elektronik, dapat berdiri tegak kembali, jangan tertipu oleh iming-iming sekian triliun akan diberikan untuk ini dan untuk itu. Percayalah, semua itu fatamorgana yang dapat menjerumuskan kita. Yang kita hadapi adalah pembohong-pembohong profesional.*

Dikutip dari e-book karya Prof. M. Amien Rais berjudul “Hijrah; Selamat Tinggal Revolusi Mental Selamat Datang Revolusi Moral.”

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment