Reformasi Ekonomi untuk Keadilan

Reformasi Ekonomi untuk Keadilan

Ilustrasi kegiatan ekonomi di Indonesia. (Foto: maritimindonesia.com)

Suaramuslim.net – Struktur ekonomi-industri di Indonesia perlu direformasi karena tidak berkeadilan sehingga tidak berkelanjutan secara lingkungan maupun politik. Rasio gini kita memburuk sejak reformasi dari sekitar 0.3 menjadi 0.41, lalu selama lima tahun terakhir menurun hingga 0.39.

80% kekayaan nasional dikuasasi hanya oleh 20% warga. Dari 20% kelompok kaya ini sebagian besar dikuasi oleh warga keturunan berminoritas ganda: non-pribumi, non-muslim. Ketimpangan pendapatan ini merupakan bom waktu sosial yang berbahaya.

Distribusi kekayaan nasional secara spasial juga buruk; terpusat di Jawa mencapai sekitar 60% PDB. Subsektor kemaritiman sebagai instrumen pemerataan pembangunan dan persatuan justru terbengkalai. Obsesi pertumbuhan tinggi telah menyebabkan kesenjangan spasial sehingga pembangunan terkonsentrasi di Pulau Jawa (dengan 60% penduduk), terutama di sekitar Jabodetabek. Pemusatan ekonomi ini juga menjelaskan kerusakan ekosistem di kawasan tersebut. Solusinya bukan memindahkan ibu kota, tapi merelokasi industri ke luar Jawa.

Kebijakan pembangunan yang terobsesi pertumbuhan tinggi telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang makin parah dan meluas terutama ditunjukkan oleh penyusutan kawasan tangkapan hujan karena deforestasi maupun konversi hutan menjadi lahan komersial (seperti proyek sawit besar-besaran).

Bencana banjir dengan frekuensi dan intensitas yang makin besar merupakan tanda-tanda kerusakan ekosistem kita terutama di Pulau Jawa. Mestinya pembangunan lebih melihat ke Timur dengan menguatkan sektor maritim. Persatuan Indonesia tanpa kemaritiman adalah omong kosong belaka.

Kemiskinan yang persisten di Indonesia disebabkan oleh beberapa sebab mendasar sebagai berikut. Secara pendek, kemiskinan di Indonesia disebabkan perpanjangan penjajahan setelah Konferensi Meja Bundar 1949. Oleh Soekarno kesepakatan KMB ini kemudian disebut sebagai nekolim (neokolonialisme-imperialisme).

Sustained colonization itu dilakukan melalui cara-cara berikut. Pertama, sejak Orde Baru deagrokulturisasi sektor primer melalui investasi asing besar-besaran di pertambangan dan sektor sekunder (manufaktur) dan perdagangan internasional yang terms and conditions nya dikuasai asing.

Kedua, sistem keuangan ribawi rancangan IMF yang tidak saja memiskinkan tapi juga sekaligus memacu ekspolitasi sumber daya alam secara besar-besaran untuk kepentingan investor asing. Sistem keuangan ribawi adalah sebuah praktek jahat (tidak cuma bunga kredit, tapi terutama adalah dominasi uang kertas, terutama dolar AS) yang dilegalkan oleh sistem keuangan yang berlaku secara internasional sesuai konstitusi IMF. Penggunaan dolar AS sebagai hard currency adalah korupsi internasional yang dibiarkan rezim-rezim boneka berlangsung hingga hari ini.

Ketiga, persekolahan paksa massal dikembangkan secara besar-besaran untuk menyiapkan masyarakat buruh dan konsumen, serta berbudaya utang dan sekuler. Dikombinasi dengan pertelevisian, masyarakat Indonesia dijadikan pasar bagi produk-produk industri domestik maupun impor. Persekolahan paksa massal sekaligus adalah instrumen deagrokulturisasi nasional sehingga kawasan-kawasan pertanian ditinggalkan anak-anak muda. Terjadi brain draining of agrocultural and coastal villages. Budaya bahari dan masjid juga digusur persekolahan.

Nekolim ini berlangsung terus hingga hari ini, bahkan memperoleh pembenaran melalui serangkaian amandemen yang meliberalisasi UUD1945 menjadi UUD2002. Konstitusi baru ini juga telah membuka jalan bagi kebangkitan neokomunisme yang telah berhasil menyusup hampir ke semua segi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pengkadalan Pancasila oleh kekuatan-kekuatan asing nekolimik ini hanya bisa dihentikan oleh umat Islam sebagai kekuatan anti penjajahan jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Hanya umat Islam yang bisa membela Garuda dari ancaman Naga.

Gunung Anyar, 30 Januari 2020

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment