Suaramuslim.net – Dalam genggaman kekuasaan yang tidak begitu tertarik menjaga keperluan umat Islam (agama, nyawa, akal, keturunan, harta benda), seorang muslim akan mudah untuk menyangka tidak-tidak pada perilaku pada pejabat. Kebebasan, keadilan, dan kemaslahatan di naungan kekuasaan yang tidak dirasakan betul-betul terjaga, akan rentan memunculkan sikap curiga dan prasangka pada kekuasaan, aparatur, dan pendukungnya. Apalagi bila mereka bergeming dengan kekeliruan dan ngotot merasa benar setelah dikritik muslimin. Akan kian mantap label “musuh Islam” pada jajaran yang memegang amanah.
Padahal, ada kalanya kekeliruan dan kesalahan yang diperbuat jejaring kekuasaan, juga sang penguasa tertinggi sekalipun, hanya manusiawi. Bukan kesengajaan atau benar-benar ingin memperbuatnya. Apatah lagi dalam kerangka melecehkan Islam. Jangankan melecehkan, tebersit bersalah pun tidak ada. Ini fenomena kebodohan dan ketertinggalan ilmu saja. Semisal kesulitan melafal ayat Al Quran dengan tepat sesuai tajwid. Semestinya ini dimaklumi sebagai sebuah gejala biasa yang dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan. Terutama di daerah-daerah tertentu.
Tapi yang berlaku dan berkembang kemudian adalah “politisasi” kesalahan. Bahkan, tak jarang muslimin jatuh ke sikap berlebih-lebihan: memperolok pelaku yang kebetulan berposisi penguasa tak becus menjaga amanat umat. Ketidaksukaan kita pada kebijakan dan integritas pelaku kekeliruan, kita jatuhkan sebagai identitas dan tindakan yang seakan-akan amat fatal bagi agama kita. Nyatanya, pelakunya hanya—sekali lagi—jahil dan terbatas. Sontak saja, serangan dan kritikan kepadanya menyulut dendam di kubu “lawan”. Mencari-cari kekeliruan “remeh-temeh”, alias patut dipermaklumi, terus berkelindan.
Mengapa ada “politisasi” semacam itu? Karena juga ada kesumat yang berakar dari tindakan kekuasaan. Kekuasaan terus diingat sebagai aktor-aktor yang terus berupaya mencitrakan baik dirinya. Ditambah lagi mereka lalai memegang amanah. Malahan sering dianggap memusuhi aspirasi umat; umat yang bukan berada di kubu kekuasaan dalam proses elektoral demokrasi.
Adanya kesalahan dari penguasa, dalam konteks ini, akan jadi bahan ampuh untuk disambar jadi komoditas pergunjingan. Kadang memunculkan nasihat-nasihat yang keluar dari keperluan prioritas mencari penguasa amanah; sebut saja perlunya tes baca Al Quran. Sudah tentu, ini tidak bisa dinafikan faedahnya, hanya saja prioritas sekarang adalah mencari calon penguasa yang serius menjaga ushul khamsah hadirnya syariah—agama, jiwa, akal, keturunan, harta benda.
Sebagai umat pembawa rahmat di pelbagai negeri, ada baiknya modus operandi mengkritik penguasa tidak lagi dengan cara seperti itu. Sebab, hanya memelihara lingkaran dendam, menjauhkan hidayah orang di kubu kekuasaan untuk bersimpati pada indahnya Islam. Kalaulah tak bisa memaafkan ataupun memberi saran perbaikan pada perilaku silap jejaring kekuasaan, diam lebih patut. Kita juga belajar mana skala prioritas menebarkan salam perdamaian, sebagai esensi hadirnya agama ini. Jangan sampai kita membincang sesuatu yang tak patut dipikir serius; ironisnya, hal urgen malah diabaikan.
Dengan begitu, urusan lafal salah, saat menyebut surat pembuka dalam Kitab Suci kita, dengan logat “nyeleneh”, al-fatekhah, cukup beri saran ke akun-akun resmi penguasa yang silap memperbuatnya. Kalau penguasa tersebut masih “ngeyel” dan merasa benar, atau merespon dengan tak patut, cukup doakan. Termasuk amat beradab bila mendoakan agar kekuasaannya lebih baik di waktu tersisa, dan selain itu segera berakhir periodenya sekarang.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net