Sedihnya Mukmin Saat Kehilangan Shalat Tahajud

Sedihnya Mukmin Saat Kehilangan Shalat Tahajud

Sedihnya Mukmin Saat Kehilangan Shalat Tahajud

Suaramuslim.net – Kesedihan biasanya diasosiasikan pada sebatas materi, misalnya: kehilangan pekerjaan, jabatan, kekayaan, pasangan dan lain sebagainya. Hal itu seringkali membuat orang berduka cita. Namun, tidak demikian dengan orang beriman. Mereka mempunyai pandangan berbeda dari orang pada umumnya.

Kesedihan yang dirasakannya adalah ketika tak dapat beribadah, misalnya: kehilangan shalat malam atau tahajud. Ada kisah menarik untuk dijadikan pelajaran dari ulama terdahulu berkaitan dengan masalah tersebut. Dalam catatan sejarah mereka disebut: “Ruhbānul-laīl wa fursānun-nahār” (menjadi seperti rahib [ahli ibadah] di malam hari, dan menjadi ksatria di siang hari).

Salah satu cerita sedih mereka saat tak bisa menunaikan tahajud adalah sebagai berikut. Ada seorang ulama ‘salafush-shālih’ (ulama salaf) bernama `Athā` al-Khurasāni berkata, ‘Sesungguhnya orang bangun malam menunaikan shalat Tahajud akan mendapat kegembiraan dalam hatinya lantaran bisa menunaikannya. Sedangkan ketika matanya mengantuk hingga tertidur dan tak bisa menunaikan Tahajud, maka ketika (bangun) shubuh ia merasa sedih, merasa patah hati (merasa kalut) seakan-akan ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya.” (Al-Mawarzi, Mukhtashar Qiyâmul Lail, 54)
Luar biasa, yang membuat sedih ulama salaf ialah ketika tidak bisa menunaikan shalat Tahajud, karena tertidur. Mereka sangat bersedih dan merasa patah hati. Dalam perkara kehilangan ibadah sunnah saja, seperti tahajud mereka sedemikian sedih, apalagi dalam perkara ibadah wajib? Sebuah semangat yang patut diteladani.

Ada lagi pernyataan menarik dari Ibnu Abid Dunyā dalam “Al-Tahajjudu Wa Qiyâmu Al-Laili” terkait fenomena yang sama, diriwayatkan ada ulama salaf yang bernama: Syuraih bin Hāny. Syuraih berkata, “Orang (salaf) lebih mudah kehilangan (kesempatan tidur) daripada kehilangan kesempatan (untuk menunaikan shalat malam)”. Sebagai contoh, menjelang wafatnya Abu As-Sya`tsā menangis. Lalu ada yang bertanya kepada beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Ulama salaf itu menjawab, “Aku (merasa) belum puas menunaikan shalat malam.” (Mausū`ah al-Buhūts wa al-Maqālāt al-‘Ilmiyyah, 3).
Dalam hadits pun dijelaskan bahwa ketika Rasulullah luput tidak menunaikan Tahajud maka beliau menggantikannya dengan shalat Dhuha 12 rakaat, sebagaimana hadits berikut: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam punya kebiasaan ketika tidak mengerjakan shalat malam karena sakit atau yang lainnya, beliau shalat di siang harinya sebanyak 12 rakaat.” (HR Muslim). Ini berarti Rasul pun merasa kehilangan dan sedih ketika tak bisa menunaikannya, sehingga menggantinya dengan shalat Dhuha 12 rakaat.

Lebih dari itu, menurut riwayat Tirmidzi, shalat tahajud atau malam adalah sudah menjadi kebiasan orang-orang salih. Sabda Nabi, “Hendaklah kalian melaksanakan shalat malam secara baik. Karena itu adalah kebiasaan orang-orang salih sebelum kalian. Sesungguhnya shalat malam bisa mendekatkan diri kepada Allah, mencegah diri dari perbuatan dosa, menghapus keburukan dan bisa mengusir penyakit dari jasad.”

Pembaca mungkin akan bertanya-tanya: Apa yang membuat mereka sedemikian sedih ketika tertinggal shalat tahajud lantaran tertidur? Di antara jawabannya adalah: mereka telah merasakan “Halāwatul-Īmān” (manisnya iman). Sedangkan manisnya iman –salah satunya- bisa dirasakan oleh orang  membiasakan diri atau mendawami ibadah misalnya shalat tahajud dengan ikhlas untuk memperoleh ridha-Nya.

Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment