Suaramuslim.net – Saat ini, kita tentu sudah tidak bingung dalam menentukan kiblat di manapun kita berada. Terlebih dengan bantuan kompas yang membantu memudahkan arah kiblat. Meski demikian, tak ada salahnya kita mengetahui bagaimana penetapan awal mula arah kiblat. Tulisan ini akan menjelaskannya.
Kota Yerusalem yang ditemukan tahun 4.000 sebelum masehi (SM) merupakan daerah yang sangat penting bagi tiga agama Abrahamik, Islam, Kristen dan Yahudi. Di kota lama Yerusalem inilah terdapat satu wilayah yang dikenal dengan nama Temple Mount atau Haram al-Sharif (Tanah/Bukit Suci) yang kemudian menjadi area tempat berdirinya Masjid Al-Aqsa dan Kubah Shakhrah.
Bukit suci ini memiliki luas sekitar 35 hektar dan dikelilingi oleh tembok berbentuk persegi panjang di bagian timur wilayah Kota Lama Yerusalem yang termasuk kawasan Yerusalem Timur. Karena memiliki nilai yang sangat penting bagi agama Abrahamik, tak pelak wilayah ini menjadi wilayah yang paling diperebutkan. Wilayah ini juga dikenal oleh kaum Yahudi dengan nama Har haBáyit. Sedangkan muslim mengenalnya juga dengan sebutan baitul maqdis yang di dalamnya dibangun Masjid Al Aqsa.
Masjid Al-Aqsa, dalam Islam, merupakan salah satu destinasi dalam perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Masjid Al-Aqsa ini, Malaikat Jibril mengantar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan perjalanan ke surga. Di dalam perjalanan ini, Rasulullah bertemu beberapa nabi pendahulunya dan pada akhirnya menerima perintah shalat lima waktu.
Masjid Al-Aqsa ini juga merupakan kiblat pertama untuk menunaikan shalat selama 16-17 bulan setelah perpindahan ke Madinah di tahun 624. Akan tetapi, setelah Rasulullah menerima petunjuk pada saat sedang melaksanakan shalat, Rasulullah mengubah arah kiblat ini menjadi menghadap Ka’bah.
Karena inilah, Bukit suci dianggap menjadi tanah suci ketiga bagi umat Muslim. Meskipun dalam Al-Qur’an sendiri tidak disebutkan kota Yerusalem secara gamblang, kota Yerusalem tempat Bukit Suci ini berada kerap disebut dalam hadist-hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa akademisi juga menghubungkan kesucian Yerusalem ini dengan perkembangan dan perluasan dari suatu gaya sastra yang dikenal sebagai Al-Fadhail atau Sejarah Kota. Fadhail Yerusalem ini kemudian menginspirasi para Muslim, khususnya pada periode Bani Umayyah, untuk memperindah kesucian kota tersebut.
Kiblat Shalat Dipindahkan ke Mekkah
Di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, awalnya perintah shalat itu ke baitul Maqdis di Palestina. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha untuk tetap shalat menghadap ke Ka’bah. Caranya adalah dengan mengambil posisi di sebelah selatan Ka’bah. Dengan mengahadap ke utara, maka selain menghadap Baitul Maqdis di Palestina, beliau juga tetap menghadap Ka’bah.
Namun ketika beliau dan para shahabat hijrah ke Madinah, maka menghadap ke dua tempat yang berlawanan arah menjadi mustahil. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering menengadahkan wajahnya ke langit berharap turunnya wahyu untuk menghadapkan shalat ke Ka’bah. Hingga turunlah ayat 144 Surat Al Baqarah.
“Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah : 144).
Jadi di dalam urusan menghadap Ka’bah, umat Islam punya latar belakang sejarah yang panjang. Ka’bah merupakan bangunan yang pertama kali didirikan di atas bumi untuk dijadikan tempat ibadah manusia pertama. Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan bahwa shalatnya seorang muslim harus menghadap ke Ka’bah sebagai bagian dari aturan baku dalam shalat.
Kontributor: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir