Sejarah Masuknya Islam ke Uighur

Sejarah Masuknya Islam ke Uighur

Sejarah Masuknya Islam ke Uighur
Ribuan jemaah sujud pada Idul Fitri di Masjid Idkah, Kashgar. (Foto: Theculturetrip.com)

Suaramuslim.net – Kedatangan Islam ke Turkistan Timur -yang sekarang disebut Xinjiang oleh Penjajah China atas wilayah yang ditempati oleh penduduk Uighur– sudah berlangsung cukup lama. “Uighur” secara harfiah berarti “bersatu” atau “sekutu”. Asal-usul etnis Uighur dapat ditelusuri kembali ke abad ke-3 SM, nenek moyang mereka percaya pada Shamanisme, Manicheism, Nestorianisme, Mazdaisme dan Buddhisme.

Dalam buku “al-Islām wa al-Muslimūn fī Āsiya al-Wusṭa” (2017: 282) karya Muhammad Yusuf Adas, disebutkan bahwa tahun 94 Hijriah, pasca pembebasan negeri Persia dan Khurasan para umat Islam meneruskan pembebasan Tranxosiana, Asia Tengah. Di bawah komandan Abu Umamah al-Bahili, umat Islam merangsek ke arah timur hingga sampai ke wilayah Kashgar yang saat itu merupakan Ibu Kota Turkistan Timur. Daerah ini baru bisa ditaklukkan pada tahun berikutnya.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada pertengahan abad ke-10 Masehi, Islam dikenalkan di Xinjiang (Turkistan Timur) oleh Satuk Boghra (910-956 M), yang merupakan Khan dari Dinasti Karakitai. Kisah ringkas ini bisa dibaca dalam buku “Islam in China Mengenal Islam di Negeri Leluhur” (2017: 35) karya Mi Shoujiang dan You Jia.

Setelah Satuk Boghra masuk Islam, maka keislamannya diikuti oleh anak-anak dan pembesar negerinya. Sejak saat itu, Islam menjadi agama resmi di Turki. Bersamaan dengan itu pula, dimulailah penerjemahan Al Quran, pembangunan 3 masjid di Kota Kashgar. Dalam memperjuangkan dakwah Islam, para penduduknya telah mengalami getir-manis perjuangan. Di antara mereka ada yang jadi dai dan mujahid (pejuang) dalam ekspedisi pembebasan-pembebasan wilayah baru Islam. Tak hanya itu, di sana juga muncul ulama-ulama menonjol yang studi dan karya-karya tulis mereka turut memperkaya khazanah dan budaya umat Islam di berbagai disiplin ilmu.

Tak kalah menarik dari semua itu, ada banyak pelajar dari berbagai penjuru dunia Islam menjalankan studi Islam ke Kashgar untuk mempelajari ilmu Islam, humaniora dan ilmu alam. Tak berlebihan jika kemudian Kashgar sampai dikenal dengan “Bukhāra al-Shughrā”. Bukhara sendiri –sekarang Uzbekistan—adalah merupakan wilayah Turkistan Barat yang merupakan kelahiran ilmuan hadits ternama: Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah; yang dikenal dengan sebutan Imam Bukhari.

Sejak saat itu, penduduk Turkistan Timur semuanya beragama Islam. Bahkan, bisa menjadi Negara Islam independen (merdeka) hingga sepuluh abad berturut-turut. Dalam periode itu –sebelum berkonfrontasi dengan China- wilayah ini menjadi bagian cukup signifikan bagi umat Islam di Asia.

Salah satu konstruksi peninggalan umat Islam periode awal di negeri ini seperti: Masjid Eidkah di Kashgar, tempat ziarah Afaq Khwadja, makam Raja Uighur di Hami dan menara Emin di Turufan yang semuanya berarsitektur Islam. Tak sedikit juga karya yang dihasilkan dari mereka seperti puisi rakyat dan tarian tradisional. Mereka juga cukup piawai dalam dunia pertanian.

Kondisi yang stabil dan damai itu kemudian menjadi suram ketika Turkistan berada dalam kekuasaan China hingga sekarang. Namanya diubah menjadi Xinjiang. Rakyat Uighur diperlakukan secara diskriminatif. Kebebasan beragama ditekan, ekspresi berbau Islam dilarang dan berbagai tindakan tiran lainnya.

Melihat peristiwa pilu itu, maka yang menjadi PR umat Islam saat ini adalah bagaimana penduduk Uighur bisa kembali merdeka dari tekanan China serta bisa menjalankan agama sebagaimana dulu tanpa tekanan serta mendapat kehidupan yang layak. Bukankah dalam hadits disebutkan bahwa orang muslim yang tak peduli ketika muslim yang lain tertimpa kesulitan adalah bukan golongan Islam? Bagaimana dengan kita? Saat ini persaudaraan kita sedang diuji.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment