Suaramuslim.net – Al Quran adalah kalam Allah yang penjagaannya langsung dijamin oleh Allah seperti firman-Nya dalam surah Al Hijr ayat 9, “Sesunguhnya Kami lah yang menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
Namun bagaimana proses pemeliharaan Allah terhadap Al Quran sehingga benar-benar terjaga dari penyimpangan, baik penambahan atau pengurangan? Berikut kami hadirkan artikel yang disarikan dari Al Quran dan Terjemah Departemen Agama RI tahun 1992 cetakan Semarang.
Memelihara Al Quran di Masa Nabi Muhammad SAW
Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah bangsa yang buta huruf; amat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca. Mereka belum mengenal kertas, sebagaimana kertas yang dipakai sekarang. Perkataan “al-waraq” (daun) yang lazim pula dipakai dengan arti “kertas” di masa itu, hanya dipakai pada daun kayu saja.
Adapun kata “al-qirthas” yang darinya terambil kata-kata Indonesia “kertas” dipakai mereka hanya kepada benda-benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis, yaitu: kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah tamar (kurma), tulang binatang dan lain-lain sebagainya.
Setelah mereka menaklukkan negeri Persia, yaitu sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, barulah mereka mengetahui kertas. Orang Persia menamai kertas itu “kaqhid” maka dipakailah kata-kata kaqhid ini untuk kertas oleh bangsa Arab semenjak itu.
Adapun sebelum masa Nabi atau pun di masa Nabi, kata-kata “al-kaqhid” itu tidak ada dalam pemakaian bahasa Arab, maupun dalam hadis-hadis Nabi. Kemudian kata-kata “al-qirthas” dipakai pula oleh bangsa Arab untuk menyebut “kaqhid” dalam bahasa Persia itu.
Kitab atau buku tentang apa pun, juga belum ada pada mereka. Kata-kata “kitab” di masa itu hanyalah berarti: sepotong kulit, batu, atau tulang dan sebagainya yang telah bertulis, atau berarti surat, seperti kata “kitab” dalam ayat 28 surat An Naml. “Pergilah dengan surat saya ini, maka jatuhkanlah dia kepada mereka…..”
Begitu juga “kutub” (jamak dari kitab) yang dikirimkan Nabi kepada raja-raja di masanya, untuk menyeru mereka kepada Islam.
Karena mereka belum mengenal kitab atau buku sebagai yang dikenal sekarang, sebab itu di waktu Al-Quranul Karim dibukukan di masa Khalifah Utaman bin Affan, mereka tidak tahu dengan apa Al-Quran yang telah dibukukan itu akan dinamai, bermacam-macamlah pendapat sahabat tentang nama yang harus diberikan. Akhirnya mereka sepakat menamainya dengan “Al-Mushaf” (ism maf’ul dari ashhafa, dan ashhafa artinya mengumpulkan (shuhuf), jamak shahifah, lembaran-lembaran yang telah bertulis).
Kendati pun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tetapi mereka mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, nasab (silsilah keturunan) mereka, peperangan-peperangan yang terjadi di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan lain-lain sebagainya, hanya dari hafalan.
Demikianlah keadaan bangsa Arab waktu kedatangan agama Islam. Maka Nabi pun menjalankan cara yang ‘amali (praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Al Quranul Karim dan memeliharanya.
Setiap ayat turun, Nabi menyuruh menghafalnya, dan menuliskannya, di batu, kulit binatang, pelepah tamar, dan apa saja yang bisa disusun dalam suatu surat, artinya Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu.
Nabi membuat peraturan, yaitu Al Quran saja yang boleh dituliskan, selain dari Al Quran itu, hadis atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi, dilarang menuliskannya. Larangan ini maksudnya supaya Al-Quran Karim itu terpelihara, jangan campur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi.
Nabi menganjurkan supaya Al Quran itu dihafal, selalu dibaca, dan diwajibkan membacanya dalam salat. Dengan jalan demikian banyaklah orang yang hafal Al Quran. Surat yang satu macam, dihafal oleh ribuan manusia, dan banyak yang hafal seluruh Al Quran. Saat itu tidak ada satu ayat pun yang tak dituliskan.
Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai dan digembirakan oleh Nabi. Beliau bersabda: “Di akhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan ditimbang dengan darah syuhada’ (orang-rang yang mati syahid).”
Pada perang Badar, orang-orang musyrikin yang ditawan Nabi yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis dan membaca sebagai tebusan. Di dalam Al Quran pun banyak ayat yang mengutarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena, dan tulisan. Firman Allah:
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah, dan Tuhanmu amat mulia. Yang telah mengajar dengan pena. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq ayat 3, 4, dan 5).
Karena itu bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan membaca, dan bertambah banyak sahabat Nabi yang pandai menulis dan membaca, dan banyak orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah diturunkan. Nabi sendiri mempunyai beberapa orang penulis yang bertugas menulis Al Quran. Penulis-penulis yang terkenal adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Mu’awiyah. Yang terbanyak menuliskan ialah Zaid bin Tsabit dan Mu’awiyah.
Dengan demikian pada masa Nabi ada tiga faktor yang menolong memelihara Al-Quran yang telah diturunkan itu.
- Hafalan dari mereka yang hafal Al-Quran
- Naskah-naskah yang ditulis untuk Nabi
- Naskah-naskah yang ditulis untuk mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing
Malaikat Jibril juga rutin setahun sekali mendengarkan hafalan Al Quran Nabi saw sebagai bentuk ulangan. Di waktu ulangan itu Nabi disuruh mengulang memperdengarkan Al Quran yang telah diturunkan. Di tahun beliau wafat, ulangan itu diadakan Jibril dua kali.
Nabi sendiri sering pula mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat disuruh membacakan Al Quran itu di depannya, untuk menetapkan atau membetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi wafat, Al Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayatnya. Ayat-ayatnya dalam sebuah surat telah disusun menurut tertib urut yang ditunjukkan sendiri oleh Nabi.
Para sahabat telah mendengar Al Quran itu dari mulut Nabi berkali-kali, dalam salat, dalam pidato-pidato beliau, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi sendiri pun telah mendengar pula dari mereka. Pendeknya Al-Quranul Karim dijaga dan terpelihara baik-baik, dan Nabi telah menjalani suatu cara yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Quran sesuai dengan keadaan bangsa Arab waktu itu.
Al Quran di Masa Abu Bakar r.a
Sesudah Rasulullah wafat, para sahabat baik Anshar maupun Muhajirin, sepakat mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah. Pada awal masa pemerintahannya banyak orang Islam yang belum kuat imannya. Terutama di Nejed dan Yaman yang menjadi murtad, dan banyak pula yang menolak membayar zakat. Di samping itu ada pula orang-orang yang mengaku dirinya sebagai nabi.
Hal ini dihadapi Abu Bakar dengan tegas, sehingga ia berkata terhadap orang-orang yang menolak membayar zakat itu: “Demi Allah! Kalau mereka menolak untuk menyerahkan seekor anak kambing sebagai zakat (seperti apa) yang pernah mereka serahkan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka.”
Maka terjadilah peperangan yang hebat untuk menumpas orang-orang murtad dan pengikut-pengikut orang yang mengaku dirinya nabi itu. Di antara peperangan yang terkenal adalah perang Yamamah.
Tentara Islam yang ikut dalam peperangan ini, kebanyakan terdiri dari para sahabat dan para penghafal Al Quran. Dalam peperangan ini gugur 70 orang penghafal Al Quran. Bahkan sebelumnya gugur pula hampir sebanyak itu dai penghafal Al Quran di masa Nabi pada suatu pertempuran di sumur Ma’unah dekat kota Madinah.
Menyikapi peristiwa tersebut, Umar bin Khattab khawatir akan gugurnya para sahabat penghafal Al Quran yang masih hidup, maka ia lalu datang kepada Abu Bakar memusyawarahkan hal ini. Dalam buku-buku tafsir dan hadis percakapan yang terjadi antara Abu Bakar, Umar, dan Zaid bin Tsabit mengenal pengumpulan Al Quran itu perlu dikumpulkan.
Abu Bakar menjawab: “Mengapa aku akan melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?”
Umar menegaskan: “Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik.”
Dan ia berulang kali memberikan alasan-alasan kebaikan mengumpulkan Al Quran ini, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima pendapat Umar itu. Kemudian Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata padanya: “Umar mengajakku mengumpulkan Al Quran.”
Lalu diceritakannya seluruh pembicaraan yang terjadi antara dia dengan Umar. Kemudian Abu Bakar berkata: “Engkau adalah pemuda yang cerdas yang kupercayai sepenuhnya. Dan engkau adalah penulis wahyu yang selalu disuruh oleh Rasulullah. Oleh karena itu, maka kumpulkanlah ayat-ayat Al Quran itu.”
Zaid menjawab: “Demi Allah! Ini adalah pekerjaan yang berat bagiku. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku daripada mengumpulkan Al Quran yang engkau perintahkan itu.”
Dan ia berkata kepada Abu Bakar dan Umar: “Mengapa kalian melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Nabi?”
Abu Bakar menjawab: “Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik.” Ia lalu memberikan alasan-alasan kebaikan mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran itu, sehingga membukakan hati Zaid, kemudian ia mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran dari daun, pelepah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Quran.
Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran itu Zaid bin Tsabit bekerja amat teliti. Sekalipun dia hafal Al-Quran seluruhnya, tetapi untuk kepentingan pengumpulan Al-Quran yang sangat penting bagi umat Islam, masih memandang perlu mencocokkan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
Dengan demikian Al-Quran seluruhnya telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran, dan diikatnya dengan benar, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana telah ditetapkan oleh Rasulullah, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar.
Mushaf ini tetap di tangan Abu Bakar sampai ia meninggal, kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khattab dan tetap berada di sana selama pemerintahannya. Sesudah Umar wafat, mushaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah, puteri Umar, istri Rasulullah sampai masa mengumpulkan dan menyusun Al Quran di masa Khalifah Utsman.
Membukukan Al Quran di Masa Utsman r.a
Kondisi Al Quran itu tetap seperti pada masa Abu Bakar, artinya dituliskan dalam satu naskah yang lengkap, di atas lembaran-lembaran yang serupa, ayat-ayat dalam suatu surat tersusun menurut tertib urut yang ditunjukkan oleh Nabi. Lembaran-lembaran ini digulung dan diikat dengan benang, disimpan oleh mereka yang disebutkan di atas.
Di atas telah disebutkan bahwa di permulaan pemerintahan Khalifah Abu Bakar terjadilah riddah (pemberontakan orang-orang murtad). Yang kemudian dapat dipadamkan Abu Bakar. Maka setelah Jazirah Arab tentram kembali, mulai lah Abu Bakar menyiarkan Islam ke negeri-negeri yang berdekatan.
Pada masa beliau tentara-tentara Islam telah memasuki kota Hirah dan Anbar (di Mesopotamia) dan telah sampai di sungai Yarmuk di Syria, dan di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, kaum muslimin telah menaklukan Bactriane dekat sungai Ayax (Amu Daria) di sebelah timur, dan Mesir di sebelah barat.
Di masa Khalifah Utsman bin Affan, pemerintahan Islam telah sampai ke Armenia dan Azerbaijan di sebelah timur, dan Tripoli di sebelah barat. Dengan demikian kaum Muslimin di waktu itu telah terpencar-pencar di Mesir, Syiria, Irak, Persia, dan Afrika.
Ke mana mereka pergi, dan di mana mereka tinggal, Al Quranul Karim tetap jadi imam mereka, di antara mereka banyak yang menghafal Al Quran. Pada mereka ada naskah-naskah dari Al Quran, tetapi naskah-naskah yang mereka punya itu tidak sama susunan surat-suratnya.
Begitu juga terdapat di antara mereka pertikaian tentang bacaan Al Quran. Asal mulanya pertikaian bacaan ini ialah karena Rasulullah memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab di masanya, untuk membaca dan melafazkan Al Quran itu menurut lahjah (dialek) masing-masing. Kelonggaran ini diberikan Nabi supaya mereka mudah menghafal Al Quran.
Tetapi kemudian perbedaan tentang bacaan Al Quran ini kalau dibiarkan, akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan kaum Muslimin.
Orang yang mula-mula memperhatikan hal ini seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman. Ketika dia ikut dalam pertempuran membebaskan Armenia dan Azerbaijan dalam perjalanan, dia mendengar pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al Quran, dan mendengar perkataan seorang Muslim kepada temannya: “Bacaan saya lebih baik dari bacaanmu.”
Keadaan ini mengagetkan Hufaizah, maka saat kembali ke Madinah, ia segera menemui Utsman bin Affan. Ia bercerita apa yang dilihatnya mengenai pertikaian kaum muslimin tentang bacaan Al Quran, seraya berkata: “Satukanlah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al-Kitab, sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani.”
Khalifah Utsman bin Affan pun minta kepada Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al Quran yang ditulis di masa Khalifah Abu Bakar dahulu, yang disimpan Hafsah, untuk disalin. Hafsah pun memberikan lembaran-lembaran Al Quran itu kepada Khalifah Utsman bin Affan.
Utsman membentuk satu panitia, terdiri Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin Haritsah bin Hisyam. Tugas panitia ini ialah membukukan Al Quran, yakni menyalin dari lembaran-lembaran tersebut menjadi buku.
Panitia mengerjakan sampai selesai dan setelah itu, lembaran-lembaran Al Quran yang dipinjam dari Hafsah dikembalikan kepadanya.
Al Quran yang telah dibukukan itu diberi nama “Al Mushaf” dan panitia menulis sebanyak lima buah Al Mushaf. Empat buah di antaranya dikirim ke Mekkah, Syria, Basrah, dan Kufah, agar mushaf disalin di masing-masing tempat, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan “Mushaf Al-Imam.”
Sesudah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan Al Quran yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Dari mushaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum Muslimin di seluruh dunia menyalin Al Quran.
Adapun perbedaan bacaan, sampai sekarang masih ada, karena bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi terus dipakai oleh kaum Muslimin dan bacaan-bacaan tersebut tidak berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushaf-mushaf yang ditulis di masa Utsman.
Di samping itu Nabi Muhammad sangat menganjurkan agar para sahabat menghafal ayat-ayat Al Quran. Karena itu banyak sahabat yang menghafalnya baik satu surat, ataupun menghafal Al Quran seluruhnya. Kemudian di zaman setelah sahabat, yaitu tabi’in, tabi’it tabi’in dan selanjutnya usaha-usaha menghafalkan Al Quran ini dianjurkan dan diberi dorongan oleh para Khalifah sendiri.
Pada zaman sekarang di Mesir, di sekolah-sekolah awaliyah diwajibkan menghafal Al Quran. Kalau mereka hendak menamatkan pelajaran di sekolah-sekolah awaliyah dan hendak meneruskan pelajaran ke sekolah-sekolah Muallimin, maka hafalan mereka tentang Al Quran itu selalu diuji, sehingga pelajar-pelajar sekolah Muallimin telah hafal Al Quran seluruhnya dengan baik.
Untuk mengambil ijazah sekolah persiapan Darul Ulum, pelajar-pelajar diuji dalam hafalan Al Quranul Karim. Di tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah pada Al-Azhar pun diwajibkan menghafal Al Quran. Begitu pula halnya di negara-negara Arab yang lain, kegiatan menghafal Al Quran itu dapat dilihat dengan jelas.
Di Indonesia, di pondok-pondok, di surau-surau, pesantren-pesantren, rangkang-rangkang, dan madrasah-madrasah sampai perguruan tinggi terdapat pula usaha-usaha menghafal Al Quran.
Di Indonesia biasa diadakan musabaqah (perlombaan) membaca Al Quran yang dilakukan baik oleh anak-anak ataupun dewasa dari tingkat kelurahan sampai tingkat nasional.
Dengan usaha-usaha yang disebutkan di atas terpeliharalah Al Quranul Karim itu, dan sampailah kepada kita sekarang dengan tidak ada perubahan sedikit juga dari apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.