Suaramuslim.net – Tidak gampang memang untuk bisa merajut kerjasama dalam hal kebaikan saat ini. Apalagi bila kebaikan tersebut memiliki banyak definisi. Bukan tanpa pamrih yang banyak diminati namun lebih yang berorientasi materi justru banyak digandrungi. Maka tidak heran bila banyak badan amal yang akhirnya tumbang karena kasus korupsi. Mereka kehilangan kepercayaan dan bahkan berubah orientasi. Sangat kontradiktif sebenarnya bila amal kebaikan dilaksanakan dengan prosedur yang tidak benar. Apalagi tujuannya tidak dibenarkan, namun hal ini tidak dapat dihindari apabila kebaikan yang diupayakan tidak disertai dengan kesepahaman yang sama untuk bertindak membuat koalisi kerjasama dalam hal kebaikan ini.
Tapi, mustahil bukan berarti mutlak tidak mungkin. Keberhasilan itu mungkin bisa terjadi bila kebaikan bisa dipahami secara logis dan menyangkut kebaikan bersama. Hal inilah yang perlu dilakukan pertama kali dalam upaya membentuk koalisi dalam kebaikan. Atau bisa jadi menjadikan seseorang sebagai definisi dari kebaikan tersebut. Dengan demikian, maka akan muncul kepercayaan dari orang-orang sekitar untuk berkerja sama. Tanpa mengesampingkan aspek prosedur yang harus ada, Islam telah memberikan panduan dalam memunculkan koalisi atau kerjasama dalam kebaikan. Apalagi perintah Islam dalam hal ini sangat jelas, yaitu Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar yang tidak akan terwujud kecuali dengan kerjasama yang baik.
Berbicara tentang wujud konkret pengamalan Al Quran dalam membentuk koalisi kebaikan, maka pastinya harus merujuk pada apa yang telah dilakukan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam Al Quran surat Al Ahzab ayat 21, Allah dengan tegas menjelaskan bahwa Rasulullah telah diutus untuk menjadi teladan yang baik bagi seluruh manusia. Artinya bahwa, Rasulullah telah dipastikan oleh Allah sebagai representasi dari kebaikan yang telah Allah ciptakan bagi umat manusia seluruhnya. Kepribadian Rasulullah ini adalah modal utama yang harus ada bila ingin membentuk satu kerjasama dalam apapun bentuknya.
Kenapa? Karena dalam kerjasama, aspek kepercayaan sangat penting untuk menjaga kerjasama tersebut bisa berjalan dengan baik. Maka bila kepercayaan terhadap seseorang tersebut tidak ada, mustahil kerjasama ataupun koalisi akan terbentuk. Seseorang harus mampu menjadi representasi dari tujuan kerjasama sehingga kepercayaan bisa datang dari orang-orang disekelilingnya secara utuh, tanpa maksud untuk mendatangkan keuntungan. Kecuali yang bersifat normatif seperti kepuasan spiritual dan kebahagiaan batin karena telah berhasil membuat suatu perbuatan baik yang bisa jadi berskala besar.
Seseorang yang telah menjadikan dirinya sebagai definisi dari kebaikan juga akan mampu mengatasi perbedaan. Ketika Rasulullah membangun masyarakat Madinah, beliau menjadikan dirinya sebagai kebaikan yang berwujud manusia bagi semua pihak. Beliau baik dan adil bagi umat Islam maupun umat beragama lain. Dalam bukunya, Dr Hasan Ibrahim Hasan menuliskan bahwa Rasulullah berhasil mampu menjadikan dirinya sebagai pengayom dan pemimpin semua lapisan masyarakat, di mana tidak ada satupun dari mereka yang merasa dirugikan.
Beliau telah berhasil mengatasi perbedaan dalam masyarakat melalui kepribadiannya. Oleh sebab itu, koalisi sosial yang bernama Madinah ini terus berkembang dan lebih lagi memunculkan orang-orang berkualitas super yang mampu menyebarkan kebaikan ke seluruh dunia. Kata Sayyid Quthb dalam Ma’alim fith Thoriq, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah adalah generasi emas, manusia paling super hasil didikan Rasulullah yang pernah ada dalam sejarah umat manusia.
Fakta inilah yang menjadikan Rasulullah tidak hanya sekadar membuat koalisi, tetapi lebih luas lagi, yaitu komunitas sosial yang disebut Madinah. Maka tidak heran bila beliau pun diakui kebaikannya oleh seluruh masyarakat Makkah waktu itu. Seperti yang diriwayatkan Abu Sufyan dalam Shahih Bukhori ketika Abu Sufyan ditanya utusan Romawi tentang kepribadian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua jawabannya menunjukkan bahwa Abu Sufyan mengakui keluhuran akhlaq Nabi. Bukan hanya waktu itu, bahkan banyak dari orang besar yang datang kemudian tidak mampu menolak kharisma kebaikan tersebut. Sehingga banyak yang menjadikan beliau sebagai representasi kebaikan tersebut.
Seperti Herbert George Wells, seorang penulis dan sejarawan Inggris mengatakan terdapat fakta yang bisa dibantah, bahwa Nabi Muhammad telah meletakkan asas kemasyarakatan yang baik, di mana kekejaman dan kezaliman telah dihapuskan. Maka boleh ditanyakan, sosok mana lagi yang tidak patut meneladani beliau?
Itulah pentingnya sosok representatif untuk melakukan upaya social kindness. Karena biar bagaimana pun, tidak mungkin seseorang akan mau ikut gabung berkerja sama bila tidak ada kepercayaan antara satu dengan yang lainnya. Lebih-lebih dalam lingkup yang lebih besar seperti dalam politik, seorang pemimpin akan terpilih secara aklamasi bila memang di dalam diri seorang kandidat ada sifat baik yang bisa dipercaya, seperti yang dijelaskan Rousseau dalam Kontrak Sosialnya.
Setelah itu, dalam menjalin hubungan sosial dan kerjasama secara sosial, sudah tentu pasti melibatkan orang terdekat dari seseorang yang ingin merajut kerjasama kebaikan tersebut. Karena, kepercayaan orang terdekat, apalagi keluarga, adalah modal utama dalam membentuk kepercayaan diri dan juga penilaian orang lain terhadap ajakannya. Bagaimana bisa orang lain mempercayai seseorang sedangkan keluarganya saja tidak mempercayainya.
Inilah kenapa Rasulullah memulai koalisi keimanan dari keluarganya, meskipun tidak semua keluarganya menyambut dengan baik, namun paling tidak, ada dari mereka yang mau mendukung dan mempercayai, apalagi dengan melihat sifat asli Nabi Muhammad yang sangat bisa dipercaya. Seperti Abu Tholib, paman beliau, meskipun tidak mengakui Islam sebagai agamanya, tapi tidak bisa dipungkiri kepercayaan Abu Tholib kepada Nabi. Ketika pihak keluarga dan sekaligus tokoh masyarakat mengakui kebenaran dan kebaikan Nabi, maka masyarakat pun akan mengapresiasi ajakan Rasul. Sehingga sedikit demi sedikit rekanan kerjasama itupun bertambah. Dan tentunya, semua potensi yang sangat dibutuhkan dalam upaya kebaikan sosial ini semakin mudah didapat.
Segala potensi dari orang-orang disekeliling Rasul pun tidak luput dari kejelian perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Harapannya adalah, potensi-potensi tersebut bisa dimanfaatkan untuk mendatangkan kebaikan bagi sesama. Kemampuan ini membutuhkan tingkat kecerdasan dan kemampuan komunikasi yang ulung. Inilah pula yang dicontohkan Rasulullah dengan doanya agar Allah bisa memberikan hidayah kepada Hamzah dan Umar ibn Khattab. Yang dengannya semakin menguatkan Islam, itulah yang menggetarkan kerasnya hati Umar, bahwa seseorang yang dibencinya malah mendoakan kebaikan untuk dirinya. Karena biar bagaimana pun setiap ada kebaikan selalu saja ada kejahatan yang ingin menghancurkan. Maka dengan adanya koalisi yang solid dan didukung dengan kerjasama yang kuat, setiap kejahatan tersebut tidak akan bisa merusak atau merubah tujuan dari kebaikan itu sendiri.
Inilah sedikit gambaran dari kejeniusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam merajut persaudaraan dalam bingkai ke-Islaman. Konsistensi beliau dalam kebaikan telah menjadi daya magnet untuk menarik simpati orang-orang di sekelilingnya untuk mau ikut aksi dalam misi. Kepiawaian beliau dalam berkomunikasi dan keluasan ilmu atas bimbingan Sang Ilahi Rabbi tidak hanya membuat masyarakat terbimbing, namun juga meningkatkan kualitas manusianya. Sehingga, koalisi yang semula hanya berjumlah segelintir orang, akhirnya mampu membentuk satu bentuk masyarakat sosial yang lebih besar dengan memiliki perangkat politik yang lengkap. Dan di masa-masa selanjutnya, koalisi tersebut telah menembus batas wilayah dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Wallahu a’lam bish showab