Sertifikasi Halal MUI Tergantikan?

Sertifikasi Halal MUI Tergantikan?

Sertifikasi Halal MUI Tergantikan
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Ketua BPJPH Kementerian Agama Ir.Sukoso mengadakan konferensi pers peresmian BPJPH (Foto. Tribunnews.com).

SURABAYA (suaramuslim.net) – Terhitung sejak Rabu (11/10) Pemerintah resmi menggantikan MUI dalam penerbitan sertifikasi halal dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Ranah Publik Suara Muslim Radio Network Edisi Juma’at (13/10) mengulas lebih jauh tentang BPJPH bersama Ustadz Ainul Yaqin S.Si., M.Si. Sekretaris Umum MUI Jawa Timur.

Kelahiran Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH merupakan tindak lanjut pemerintah atas pelaksanaan UU no 33 tahun 2014 terkait Jaminan Produk Halal, yang menyatakan bahwa proses pertanggungjawaban Sertifikasi Produk Halal berada di bawah pengawasan Pemerintah, di bawah Menteri Agama, dan akan berjalan efektif oleh BPJPH.

Ainul mengatakan MUI menyambut positif kehadiran BPJPH dan mendukung kebijakan Pemerintah.

“Dengan adanya BPJPH menjadi bukti kedekatan pemerintah dan negara dengan MUI untuk mengawasi pelaksanaan penerbitan Sertifikasi Produk Halal” kata Ainul.

Sertifikasi Halal Sebelum BPJPH

Sebelum BPJPH hadir, Setifikasi Produk Halal sudah dilakukan MUI sejak 1991 melalui Lembaga Pengawas Obat dan Makanan (LPOM) bekerjasama dengan MUI pada waktu itu. Kemudian LPOM, yang nantinya akan menjadi cikal bakal dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sekarang ini, yang kemudian melanjutkan untuk mengeluarkan ijin. Sejak saat itu, MUI pun membentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) yang memiliki standar tersendiri untuk penanganan sertifikasi halal ini, dan sudah banyak dipakai di negara-negara lain.

Sertifikasi halal awalnya bersifat sukarela, kecuali perusahaan mau mencantumkan label halal pada produknya. Namun, karena kebutuhan zaman, maka sertifikasi halal ini berubah sifatnya menjadi wajib. Sebab Sertifikasi Halal begitu penting karena seringnya produk olahan makanan bercampur dengan barang-barang yang terindikasi kandungannya haram, dan disangsikan kehalalannya.

Ainul Yaqin menjelaskan sebelumnya agar sertifikasi halal bisa mendapatkan kekuatan hukum, MUI perlu melobi pemerintah, melalui Kementrian Agama dan BPOM. Maka demi efisiensi MUI berupaya agar sertifikasi halal ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah.

“Sebelumnya sudah ada kepastian hukum melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan perusahaan jika ingin mencantumkan label halal dan wajib bertanggung jawab terhadap produk dan kemasannya. Namun, karena hanya bersifat sukarela, maka Undang-Undang ini kurang mendapatkan perlindungan hukum, dan masih sering terdapat pelanggaran. Nah adanya Undang-Undang terkait jaminan produk halal, membuat produk halal menjadi tegas di mata hukum” ungkap Ainul.

BPJPH dan UU Jaminan Produk Halal

Ainul mengatakan sebelumya Pemerintah belum memberikan perhatian terkait sertifikasi halal. Sejak adanya BPJPH, sertifikasi halal menjadi terkait dengan pencantuman ijin label halal.

Ainul mengatakan BPJPH akan mengadopsi sistem dan standar dari MUI untuk mengawasi proses dan standarisasi sertifikasi halal sebelum mengeluarkan jaminan halal.

“Jaminan halal tidak bisa hanya memeriksa produk akhirnya saja, namun harus melalui proses-proses yang halal ataupun tidak, seperti penyembelihan sapi secara halal atau tidak. Ada kolaborasi dimana MUI membuat sistem jaminan halal, yang kemudian dijalankan BPJPH” terang Ainul.

MUI kedepan masih berperan dalam konteks sertifikasi halal karena berkaitan dengan urusan ibadah yakni dalam rangka melindungi umat Islam dari produk-produk yang tidak halal. Sementara yang akan mengeluarkan maupun mencabut ijin dan sertifikasi halal, serta proses pemeriksaan, administrasi, dan sanksi adalah BPJPH, namun tetap merujuk pada Fatwa MUI.

Dalam prosesnya nanti, BPJPH akan menjadi sentra pengelola, dibantu bersama dengan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) dan Lembaga Fatwa MUI. LPH bisa dibentuk perguruan tinggi maupun organisasi islam, dan tercatat terakreditasi oleh BPJPH.

Pro-Kontra BPJPH

Dalam konteks Undang-Undang terkait BPJPH terjadi pro dan kontra. Pihak yang menginginkan agar negara tidak ikut terlibat dalam sertifikasi halal. Sementara Menteri Kesehatan juga kontra dan menolak BPJPH dengan alasan agar obat tidak masuk dalam sertifikasi halal, karena menurutnya bersifat darurat, sehingga menyulitkan.

Penolakan-penolakan tersebut tidak menyurutkan penerbitan Undang-Undang tersebut, sehingga ketika dikeluarkan semua pihak akhirnya bisa menerima.

Di sisi lain, Implementasi Undang-Undang Jaminan Produk Halal oleh BPJPH secara tidak langsung menjadikan MUI lepas dari kontroversi yang kerap menyebut MUI memonopoli sertifikasi halal.

Perlu Keterlibatan Masyarakat

Ainul berharap semua pihak peduli ataupun terlibat dalam penanganan terkait produk halal.

“Adanya Undang-undang ini akan mengikat seluruh warga, dan memberikan kepastian hukum dan adanya akses keadilan, serta transparansi dalam pembuatan produk halal untuk dikonsumsi, baik makanan, obat-obatan, maupun kosmetik. Masyarakat harus ikut mengawal pemerintah untuk mengimplementasi Undang-Undang JPH, termasuk asas efektivitas dan asas efisiensi” jelas Ainul.

Ainul menghimbau agar semua pihak ikut memantau dan mengawal perkembangan BPJPH dan tidak memandang negatif kebijakan Pemerintah terkait Sertifikasi Halal.

“Kita harus kawal agar prosesnya akan tetap berada ada jalur yang sesuai dengan Undang-Undang. MUI juga ingin mendorong masyarakat untuk mendukung pemerintah khususnya BPJPH. Proses sederhananya yang sekarang adalah fatwa halal-haram tetap berada di tangan MUI, namun pemerintah melalui BPJPH menangani administratifnya, sehingga masyarakat jangan memandang kalau pemerintah mengambil alih secara total sertifikasi halal” pungkas Ainul.

Penulis : Vicio Rizky
Editor : Ahmad Jilul Qur’ani Farid

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment