Sesat Pikir Masyarakat dalam Pemilu 2019

Sesat Pikir Masyarakat dalam Pemilu 2019

Blangko E-KTP Kosong Dijual Bebas, Kriminalitas atau Politis
Dr Hufron dalam talkshow Ranah Publik di Suara Muslim Surabaya93.8 FM, Senin (10/12/2018)

Suaramuslim.net – “Tindakan yang benar hanya mungkin bila diawali dengan berpikir yang benar” (Tenzin Gyato, Dalai Lama Ke-14).

Dalam beberapa kesempatan mengikuti acara sosialisasi “Gerakan Ayo Nyoblos” di kalangan pemilih pemula atau pemilih milenial, disampaikan beberapa contoh sesat pikir masyarakat dalam konteks Pemilu 2019. Karena sesat pikir (fallacy) tersebut, bila tidak diluruskan akan meracuni dan menyesatkan bagi calon pemilih pemula yang akan menggunakan hak pilihnya pada perhelatan pemilu Rabu besok, 17 April 2019.

Bahkan dalam batas tertentu apabila salah dalam penerapannya, akan mencederai tujuan mulia pemilu yaitu mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas (fair and integrity electoral).

Berintegritas baik pada proses pemilu maupun hasil pemilu, terutama integritas para penyelenggara pemilu. Sehingga penyelenggaraan pemilu bukan sekadar seremoni atau selebrasi demokrasi, melainkan mewujudkan demokrasi yang lebih substansial (demokrasi substansial), luber, jurdil dan berintegritas.

Adapun beberapa contoh sesat pikir masyarakat terkait pemilu akan dibahas pada uraian berikut ini.

1. Sesat pikir yang pertama, ada sebagian masyarakat mengatakan: “pemilu adalah pesta demokrasi, karena pesta suasananya harus senang dan menggembirakan, tidak boleh ada rasa takut untuk menggunakan hak pilihnya. Tapi yang namanya pesta maka perlu ‘sesajian dan sesajen’, agar meriah dan semarak”.

Sesat pikir tersebut, pada awalnya dirasakan sebagai sesuatu yang wajar dan masuk akal. Namun, apabila cara pikir tersebut tidak diluruskan atau dibiarkan, akan memunculkan penyelenggaran pemilu yang penuh dengan money politics. Bahkan pada sebagian masyarakat sering terdengar istilah ‘NPWP”, Nomer Piro Wani Piro (Nomor Berapa Yang Minta Dicoblos, dan Berani Bayar Berapa?) Atau dalam bahasa anak muda disebut “ no food, no election” (tidak ada makanan/sembako, tidak ada pemilihan umum).

Sesat pikir ini boleh jadi dipengaruhi ungkapan yang acapkali kita dengar dalam dunia politik, “tidak ada makan gratis dalam politik”, artinya dibalik kebaikan yang diberikan, tentu ada kepentingan politik terselubung yang diharapkan.

Menurut hemat saya, ungkapan yang lebih tepat, pemilu adalah pesta demokrasi, sehingga suasananya harus senang dan menggembirakan, tidak boleh ada ancaman, paksaan atau intimidasi, dan bebas rasa takut untuk menggunakan hak pilih sesuai keyakinan politiknya. Namun, tidak perlu dikaitkan dengan politik uang (money politics), karena hal itu akan mencederai tujuan pemilu yang adil, berintegritas dan berkeadaban.

2. Sesat pikir yang kedua, “pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.” Pernyataan tersebut seolah tepat, padahal terdapat kontradiktori dan membahayakan cara pikir masyarakat. Karena hal tersebut seolah menganjurkan kepada pemilih untuk memilih pemimpin, meskipun bukan yang terbaik. Akan lebih tepat apabila cara pikir tersebut diubah menjadi: “pemilu adalah memilih calon pemimpin yang terbaik di antara yang baik-baik, dengan maksud untuk mencegah yang terburuk berkuasa.” Maka kenali calonnya dengan baik, cermati rekam jejaknya; kompetensi, dedikasi dan integritasnya, baru pilih sesuai dengan akal sehat dan keyakinan politik Anda.

3. Sesat pikir yang ketiga, kerapkali dalam masyarakat terdengar ungkapan, “ambil uang dan sembakonya, jangan pilih orangnya.” Pernyataan ini seolah lumrah dan wajar. Sejenak jika direnungkan, sesat pikir ini bila dibiarkan terus-menerus berlangsung di tengah-tengah masyarakat, akan mendorong pemilu berlumuran dengan politik uang (money politics) dan itu bertentangan dengan tujuan pemilu yang berintegritas. Seharusnya pernyataan yang tepat adalah adalah “tolak uang dan sembakonya, jangan pilih orangnya, laporkan ke Bawaslu atau polisi, pilih calon pemimpin yang memiliki kompetensi, dedikasi dan integritas yang baik.”

4. Sesat pikir yang keempat, tidak jarang kita mendengar uangkapan, “pemilu dan politik itu urusan elit dan pemerintah, kita orang kecil tidak usah ikut-ikutan urusan pemilu dan politik, dan nyoblos itu hak, bukan kewajiban. Nyoblos dan tidak nyoblos itu urusan pribadi masing-masing.”

Pernyataan yang lebih tepat adalah: “Pemilu dan politik itu urusan elit dan pemerintah, tetapi keberhasilan pemilu sangat tergantung kepada partisipasi masyarakat sebagai warga negara yang baik dan tanggung jawab. Maka jangan biarkan nasib bangsa Anda ke depan diputus oleh orang lain, tanpa Anda terlibat di dalamnya.”

5. Sesat pikir yang kelima, pada sebagian kawan mengatakan: “Pemilu kegiatan rutin lima tahunan, dan tidak berpengaruh apa-apa untuk kehidupan saya dan keluarga, kami tetap begini-begini saja, untuk apa saya memilih?”

Ungkapan tersebut lebih tepat jika dirumuskan; “Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat berlangsung lima tahun sekali, dan secara umum akan berpengaruh untuk kehidupan saya dan keluarga, maka saya akan memilih untuk menentukan nasib bangsa kami lima tahun ke depan.”

Contoh, golput adalah urusan pribadi Anda dan Anda merasa tidak bertanggungawab kepada siapa pun, akan tetapi itu tetap menjadi masalah Anda. Karena akibatnya berdampak kepada kehidupan Anda, jika pemerintahan dipegang oleh pemimpin yang berwatak buruk, otoriter dan koruptif serta tidak kapabel, sangat mungkin akhirnya menjadi tanggung jawab Anda pula.

Hal ini sejalan dengan pendapat sastrawan Amerika, Cheryl Strayed, “This is not your responsibility, but it is your problem” (mungkin ini adalah bukan tanggung jawab Anda, tetapi pada akhirnya itu masalah Anda juga).

Selanjutnya berkaitan dengan isu golput yang belakangan muncul dan menyeruak, menurut saya perlu dilakukan rethinking atau cara berpikir ulang terkait kenapa sebaiknya kita harus milih pada pemilu 2019. Setidaknya ada tiga alasan kenapa warga masyarakat harus memilih dalam pemilu Pilpres dan Pileg 2019.

1. Pertama, masyarakat yang telah memiliki hak pilih sebaiknya menggunakan hak pilihnya. Karena semakin besar partisipasi pemilih, maka akan semakin tinggi basis legitimasi dan legalitas pemilu kita. Dengan basis legitimasi dan legalitas pemilu yang kuat akan melahirkan pemerintahan yang kuat pula. Dalam konteks inilah menurut saya tepat tagline pemilu seretentak 2019, “Pemilih Berdaulat, Negara Kuat”.

2. Kedua, perlu diingat bahwa siapa pun kandidat yang mendapatkan suara terbanyak, seburuk apapun karakter dan tabiatnya, akan tetap terpilih dan menjadi pemimpin yang kelak akan membawa arah perubahan bangsa. Oleh karena itu masyarakat sebaiknya memilih pemimpin yang terbaik di antara yang baik-baik, guna mencegah atau menghindari yang terburuk berkuasa.

3. Ketiga, Anda golput? Andai Anda golput, pemilu, pemerintahan dan politik tetap jalan terus, maka sebaiknya Anda memilih, dengan begitu Anda akan dapat mewarnai dan menentukan jalannya pemerintahan yang lebih baik. Karena 10 (sepuluh) menit Anda datang dan menggunakan hak pilih Anda di TPS, akan menentukan nasib pemerintahan 5 (lima) tahun atau bahkan 10 (sepuluh) akan datang.

Itulah beberapa catatan sederhana terkait dengan beberapa sesat pikir (fallacy) masyarakat dalam pemilu yang perlu mendapat perhatian dan kajian ulang bersama, agar tidak menyesatkan dan meracuni cara pikir generasi milenial dalam menggunakan hak pilihnya secara benar dan bertanggungjawab pada pemilu 2019, guna mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas.

Sebagaimana dikutip pada awal tulisan ini, kita diingatkan pepatah Tiongkok Kuno, yang disampaikan oleh Tenzin Gyato, pada Dalai Lama Ke-14 bahwa “Tindakan yang benar hanya mungkin bila diawali dengan berpikir yang benar.” Tindakan datang ke TPS pada tanggal 17 April 2019 dan menggunakan hak pilih dengan benar, hanya mungkin apabila diawali dengan cara pikir yang benar. Bagaimana pendapat Anda?*

Penulis: Dr Hufron (Dosen Pasca Sarjana Untag Surabaya dan Wakil Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jatim)

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment