Setelah Aku Mengenal Kemaksiatan

Setelah Aku Mengenal Kemaksiatan

Ilustrasi hijrah, foto: Ana/Suaramuslim.net

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Dalam sebuah kehidupan, gelap adalah sebuah sisi lain dari terang, samar, buta, dan identik dengan masa lalu yang kelam. Sebuah kisah yang dimulai dari masa kecil saya, diri ini terlahir sebagai anak tunggal, termasuk dalam kaum Nasrani dan tentunya dengan keluarga yang bahagia.

Tak terbesit apa pun di dalam pikiran ini, hingga saat diri ini berumur 7 tahun. Bayang – bayang kebahagiaan itu seakan sirna ketika sosok yang kusebut “papa” perlahan mulai hilang.

Pertengkaran bahkan berujung dengan perceraian mulai membentuk awal dari sisi gelap yang akan kujalani. Diri ini semakin tersiksa tak kala secara langsung melihat perempuan yang kupanggil “mama” menangis bergelimpangan di lantai rumah.

Pikiran yang polos perlahan mulai terbelenggu dengan dendam adalah rasa yang timbul, di kala diri ini masih butuh sosok kedua orang tua. Tak terkecuali dengan keyakinanku saat itu, “Bapa kami yang ada di surga, diutuskanlah namamu datanglah kerajaanmu, jadilah kehendakmu di bumi seperti di dalam surge.” “Dalam nama Allah, Bapa, Putra dan Roh kudus.” Siapa Allah? Siapa Bapa? Siapa Putra? Siapa Roh Kudus? dan Siapa Yesus Kristus itu?”

Sebuah pertanyaan yang menjadi ambiguitas dalam diri hamba yang masih secuil jagung kala itu. Samar, buta dan tak tau arah, Diri ini hanya bisa pasrah dan mencoba yakin akan ada terang setelah gelap.

Banyak hal yang kutemui di dalam proses hijrah di kehidupan ini, namun sedikit dari hal itu baik bagi diri ini. Aku mencoba membiasakan diri, belajar mengamati sesuatu dan mulai mensyukurinya. Melihat beberapa anak yang beruntung, tumbuh berkembang dan masih memiliki kedua orang tua.

Aku bersyukur, karena aku dapat merasakan rasa sakit di kala diri ini masih kecil, dan berjanji kelak ketika aku telah menjadi kepala keluarga, anakku dan keluargaku tidak akan kubiarkan bernasib sama seperti diriku dulu.

Tak Menaati 10 Perintah Allah

Lambat laun tak terasa diri ini mulai beranjak remaja, diri ini mencoba melaksanakan perintah dengan pemahaman agama yang kutekuni saat itu, “Jangan Mencuri” adalah salah satu kutipan yang diambil dari 10 Perintah Allah pada agamaku dulu, namun itu semua hanya wacana bagi diri ini.

Semakin terjerumus dalam sisi gelap, uang tabungan hasil lelahnya bekerja seorang diri demi anaknya ini, dengan sengaja aku ambil dan menggunakannya untuk urusan pribadiku dengan kesenangan virtual (game).

Kali kedua Aku melihat mama menangis, tapi lain halnya dengan yang dulu.

“Lek kamu kayak gini ke mama, gimana nanti kedepannya nak, percuma mama kerja berangkat jam 6 pulang jam 9 minggu ga libur buat kamu sekolah tapi gini balasanmu, mama salah apa ke kamu”. Katanya.

Kata-kata yang menusuk hati yang gelap ini, sekalipun aku melakukan hal buruk dan entah kelak akan menjadi karma bagi diri ini. Aku mencoba bersyukur, menyadari betapa besarnya cinta seorang ibu untuk anak semata wayangnya ini. Karena kebahagiaan seorang orang tua adalah ketika bisa melihat dan merasakan anaknya bahagia, begitu juga sebaliknya.

“Jangan Berzina” juga termasuk ke dalam salah satu kutipan yang diambil dari 10 Perintah Allah pada agamaku dulu, sekali lagi itu menjadi wacana saja bagi diri ini. Nafsuku semakin menjadi-jadi saat diri ini mulai mengenal berbagai macam dunia pornografi, menjadi budak dari nafsuku sendiri, begitu banyak hal yang kulakukan dan bahkan melampaui batas kewajaran. Tak semua aku ceritakan karena diri ini benar-benar malu dengan apa yang telah lakukan.

Hingga secara tak sengaja mulai terasa dampak dari keburukan yang kulakukan sendiri. Rasa risau dan ragu muncul, akankah diri ini mendapat pengampunan atas segala dosa yang telah terjadi. Akankah diri ini akan terjebak selamanya dalam sisi gelap, dan berakhir bahkan mati dengan keadaan buruk ini,

Aku mencoba bersyukur, menyadari betapa seorang manusia sangat rentan sekali berbuat kesalahan, yang berujung dengan dosa, namun tidak semua kesalahan berujung dengan dosa. Karena kita terpastikan berbuat salah, tetapi tak terjanjikan melakukan dosa, asal diri ini mau sadar dan mohon ampun kepada-Nya.

Tak terasa umur telah menginjak tahun ke 17, pikiran ini semakin penasaran, atas apa yang aku kerjakan, yang kulakukan, dan kuyakini selama ini. Memang 10 Perintah Allah itu baik, sama seperti ajaran agama lain yang mengajarkan arti kebaikan.

Tetapi “Siapa yang menurunkan perintah itu? Siapa Tuhanku sebenarnya? Apakah Allah? Tuhan? Roh Kudus? Ataupun Yesus Kristus?” Aku berada pada posisi di mana tak ada yang membimbingku.

Mama adalah seorang yang telah murtad setelah menikah, sedangkan papa telah menghilang, tak memberi kabar satu pun pada diri ini. Semua terlihat samar, hati ini buta, dan aku mencoba bertahan dari ketidakjelasan ini.

Mendapat Hidayah

Hingga setahun kemudian, mama mengajakku dan mempertemukanku dengan seorang Tionghoa, sekaligus mualaf. Beliau mulai mengajakku berbincang dan berdiskusi perihal agama Islam dan menjadi seorang muslim.

2 kalimat syahadat adalah kali pertama diri ini mengerti tentang kebenaran, bahwasanya aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah.

Seperti terang di dalam gelap, semua yang samar menjadi jelas, tak terarah menjadi terarah, yang buta menjadi terlihat, tak berwujud namun sangat terasa, dan seperti ini rasanya ketika seseorang mendapatkan sebuah hidayah.

Di mana pun Allah, jika diri ini mengingat Allah, maka Allah berada dekat. Beliau juga membantu meyakinkan. Sekalipun hati ini terlahir dalam keadaan musyrik, hati ini tidak mau mati dalam keadaan yang sama. Sebuah rasa syukur yang amat besar ketika diri ini telah menjadi seorang muslim.

Sekarang adalah tantanganku yang sebenarnya, bagaimana diri ini melanjutkannya, apakah iman ini kuat dan bertahan dalam fase istiqamah. Jika kita yakin kepada Allah, maka Allah akan mempermudah segala urusan kita. Tidak ada suatu kejadian yang terjadi tanpa sepengetahuan Allah.

Bukan kehidupan yang menjadikan kita terasa sulit, tapi kita sendiri yang terkadang membuat kehidupan terasa sulit. Diri ini juga tidak luput dari namanya “kesalahan”, jadi janganlah takut untuk bersyukur dan belajar dari “kesalahan” itu sendiri. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang mau berhijrah. Sebuah proses dengan tujuan adalah satu, yaitu menggapai ridha dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kisah hijrahku tidak lebih dari cerita masa lalu, tentang bagaimana caraku memandangnya, merasakannya, bukan menolaknya, namun dengan mensyukurinya. Rasa syukur yang mengajarkan cara melihat dari sudut pandang berbeda. Memahami sebuah kesalahan untuk mendapatkan sebuah keberakahan. Menikmati gelap untuk memaknai terang.

Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment