Seteru Dua Kawan Lawas, Soekarno dan Buya Hamka – Bagian 3

Seteru Dua Kawan Lawas, Soekarno dan Buya Hamka – Bagian 3

Dua Kawan Lawas - soekarno hamka

Suaramuslim.net – Awalnya mereka saling mengagumi. Apalagi satu nama besar mempersaudarakan keduanya. Sampai akhirnya bentangan perbedaan membuat perkawanan disapu benci.

Pagi-pagi tanggal 4 April 1944, Hamka berangkat ke Medan. Ia naik kereta api dari Stasiun Tanah Abang jurusan Pelabuhan Merak. Ayahnya dan ibu tirinya mengantarkan ke stasiun. Turut pula para kawan Hamka yang ada di Jawa semisal Aoh Kartahadimaja dan Zein Jambek.

Sepuluh menit sebelum peluit petugas kereta api dibunyikan, terjadi kegaduhan. Semua mata mengarahkan pandangannya ke satu sosok: Sukarno!

Tanpa disangka-sangka Sukarno tiba dengan mobilnya. Ia menepati janjinya di tengah kesibukannya berjuang bagi bangsanya.

Sejenak berbincang di waktu tersisa, Hamka berkata pada kawannya itu, “Ayah kita, Bung!”

“Jangan khawatir, Saudara!” balas Sukarno.

Setahun sebelumnya, Haji Rasul diundang makan ke rumah Sukarno di Pegangsaan Timur. Sang tamu tanpa berbasa-basi memberikan nasihat. “Janganlah terlalu mewah, Karno! Kalau hidup pemimpin terlalu mewah, segan rakyat mendekati!”

Hamka mengenang kejadian itu dalam Ayahku, dengan menuliskannya, “Beliau tidak segan memberikan nasihat yang terus terang kepada orang yang disangkanya mau menjunjung tinggi nasihatnya.”

Dan ketika itulah Bung Karno diangkatnya menjadi anaknya! Sambung Hamka. Ketika Sukarno datang ke Maninjau pada 1948, di hadapan ribuan rakyat, ia menggelegarkan suaranya, “Saya adalah anak kehormatan orang Maninjau! saya adalah anak angkatnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah!”

Dan kondektur melambaikan perantinya, peluit berbunyi, kereta pun beranjak pergi. Hamka dilepas dengan lambaian tangan orang-orang yang ia cintai dan mereka pun mencintainya. Takdir peluit pula yang menjadi batas akhir ia bersua dengan sang ayah, yang tak sempati disuainya lagi sampai tersiar kabar wafatnya pada sehabis subuh pada 2 Juni 1945, atau sehari setelah pidato bersejarah Sukarno yang di dalamnya tersebutkan lima asas sebagai dasar negara atau Pancasila.

Kesempatan untuk bertemu lagi sebetulnya pernah terbuka. Sukarno, sekali lagi, terlibat di dalam cerita ini.

Panggilan sang ayah kembali hadir. Rupanya, perpisahan terakhir di peron kereta belum terhapus dari benak Haji Rasul. Ia meminta putranya untuk berpindah ke Jawa, Jakarta tepatnya. Kehadiran Hamka di sisinya begitu penting. Kepada Sukarno, yang sudah dianggap seperti anak sendiri keinginan itu pernah disampaikannya pula. Tapi Hamka, punya rencana lain. Kesibukannya menjadi bagian dari penguasa kolonial Jepang mulai dinikmati, dengan segala pelik dan dilema yang tetap harus diatasi.

“Saudara Hamka Medan, sudikah Saudara pindah ke Jakarta? Bekerja di pusat pejabat Hokokai. Lekas jawab. Sukarno.”

Kawat dari Sukarno itu mengejutkannya, sekaligus mengundang tanya: apakah ini jawaban atas isi hatinya untuk menuruti keinginan sang ayah?

Di Kenang-kenangan Hidup III, Hamka menyebut badannya langsung bergemetaran begitu menerima telegram Sukarno.

“Akan terlepaslah dia dari tekanan-tekanan jiwa di Medan ini? Terbayang bagaimana kemerdekaan diri jika tinggal di Jawa,” tulis Hamka.

Sudah tentu, sebagai pegawai Jepang, Hamka mesti melapor ke sang atasan. Tyokan terheran bercampur kagum, mendapati Hamka akrab dengan Sukarno.

“Bagaimana hubungan Tuan dengan dia?” tanyanya.

“Sahabat,” jawab Hamka lugas.

Sebelum tiga hari yang dijanjikan, Hamka dipanggil untuk bertemu Tuan Usagane. Hasilnya, Hamka tidak diperkenankan meninggalkan pos tugasnya. Ia masih diperlukan oleh Tyokan Kakka di Sumatera Timur. Situasi yang masih berperang pun menjadi alasan berikutnya.

Hamka bersiap dengan putusan yang berkebalikan dengan keinginannya untuk pindah ke Jawa. Tapi Usagane belum selesai memaparkan semua instruksi Tyokan Kakka.

“Tadi malam ada kawan dari Saiko Sakikan, menyatakan akan dibentuk Sumatera Tyuo Sangi In seperti di Jawa. Tyokan akan memajukan Tuan seorang di antara Giin dari Sumatera Timur. Dari Kerajaan ialah Tengku Ottoman sendiri!”

Informasi terakhir Usagane direspons berbeda oleh Hamka. Apa ia salah mendengar? Sebuah posisi yang membuatnya termenung beberapa waktu.

“Tuan boleh bawa pulang dulu berpikir!” Si Jepang mengerti kerisauan Hamka.

Tepatnya, kerisauan untuk enggan mengelak dari tawaran menggiurkan itu.

Di rumahnya Hamka berhitung-hitung. Ia menuliskan suasana perang batinnya, “Anak lima bagaimana sulit mengangkut ke Jawa, jalan darat! Di Jawa tentu tidak jadi Giin, hanya ‘pegawai’ Hokokai. Kalau tetap di Sumatera dapat kedudukan yang tinggi; anggota terhormat.”

Ajakan Sukarno, yang dianggapnya saudara sekaligus sebagai pemimpin rakyat, ditepiskan. Dengan begitu, permintaan ayahnya untuk berkhidmat di sisinya yang tengah sakit terabaikan jua. Tanpa ragu dikirimnya kawat ke Sukarno,

“Bung Karno Hokokai Jakarta. Sangat banyak kewajiban yang harus dilakukan. Belum dapat pindah ke Jawa.”

Yang tidak diketahui Hamka, sampai bertahun kemudian ada orang yang menyampaikannya, isi jawaban pada telegram itu sudah cukup membuat Haji Rasul meneteskan airmata. Airmata lara.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment