Siasat Pers di Tengah Era Disrupsi

Siasat Pers di Tengah Era Disrupsi

Siasat Pers di Tengah Era Disrupsi
Ilustrasi pers (Ils: Freepik)

Suaramuslim.net – Industri media cetak hari ini banyak digembar-gemborkan orang tengah mengalami fase menuju sunset industry. Dengan merujuk pada semakin banyaknya jumlah penerbit media cetak di Indonesia yang tutup, atau bermigrasi hanya di media online, boleh jadi asumsi itu bakal menemui kenyataan. Tapi, entah kapan industri media cetak di negeri ini benar-benar lenyap, sangat sulit memprediksikannya.

Di tengah upaya untuk terus survive akibat kian menguatnya penetrasi digital di kalangan konsumen dan iklim bisnis yang disruptif, para penerbit media cetak harus makin pandai mengatur siasat untuk tetap eksis dan berkembang. Alih-alih hanya memikirkan kapan bakal bangkrut atau tutup, ada baiknya diskursus diarahkan kepada mencari inovasi dan gagasan kreatif apalagi yang bisa membuat media cetak tetap hidup di tengah masyarakat.

Jika penerbit media cetak tidak mau ketinggalan semakin jauh, perubahan-perubahan perencanaan menyangkut banyak hal -pemasaran, SDM, bahkan editorial- perlu dilakukan secara berkala dalam hitungan waktu yang tidak lama. Ini karena di era yang butuh kecepatan, respons industri media cetak juga diharapkan bisa segera dilakukan jika tengah menghadapi situasi perubahan.

Oleh sebab itu, tutup atau bangkrutnya sejumlah penerbit media cetak di tanah air dalam kurun satu tiga tahun terakhir, bisa menjadi pelajaran penting bagi industri media cetak. Bahwa penerbit media cetak tidak boleh terlambat mengantisipasi berbagai keniscayaan zaman yang sedang berlangsung. Mulai dari keniscayaan hadirnya versi digital yang harus dikelola sunggguh-sungguh, perubahan pola konsumsi pembaca, hingga kian membesarnya populasi generasi milenial (Gen Y) yang sama sekali tidak mengenal aktivitas membaca di media cetak.

Monetisasi Konten

Untuk menjalani transformasi platform dari cetak ke (sepenuhnya) digital, sejatinya juga bukan urusan sepele. Ada banyak tantangan yang dihadapi para penerbit media cetak.

Pertama, aspek sumber daya manusia (SDM). Menerjuni versi digital sama saja dengan mengubah budaya kerja pelaku industri media cetak. Cara pandang dan pola berpikir manual cetak (analog), sangat berbeda dengan cara berpikir digital. Budaya paperless, misalnya, hanya merupakan salah satu perubahan kultur yang terjadi dalam transformasi dari cetak menuju digital.

Kedua, aspek konten. Gaya penyajian konten pada media cetak jelas berbeda dengan di media online atau digital. Perbedaan gaya ini membuat budaya jurnalisme pun berubah. Jurnalisme digital membutuhkan budaya kerja yang lebih cepat dengan penyajian konten pendek-pendek, tidak berpanjang lebar sebagaimana terjadi pada jurnalisme media cetak. Meskipun ruang bagi konten pada jurnalisme digital jauh tidak terbatas. Ini selaras dengan pola pembaca media online yang justru menginginkan informasi selintas dan pendek-pendek. Apalagi konten yang diakses melalui perangkat bergerak (smartphones).

Ketiga, aspek sinergi kerja dan konten. Pengembangan versi digital tidak kemudian berarti serta merta menambah jumlah SDM sebanyak 100 persen dari jumlah awal. Justru sebaliknya, menjadikan kerja jurnalis dan awak media non redaksi menjadi ganda (multitasking).

Seorang jurnalis kini dituntut mampu mengolah kontennya menjadi dua produk; untuk versi cetak dan digital sekaligus. Bagi jurnalis konvensional, yang lama tunduk pada pakem berkarya hanya untuk satu platform, tentu sangat sulit menyesuaikan dengan situasi anyar ini. Namun mau tak mau, upaya ini harus dilakukan karena pada tahap-tahap awal, jurnalisme digital menghadapi tantangan yang sangat serius: monetisasi konten.

Kerja jurnalis yang multitasking, akan sangat membantu manajemen perusahaan pers melakukan efisiensi biaya produksi konten. Ini karena monetisasi konten bukanlah perkara mudah bagi para penerbit media cetak dan digital di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.

Berbagai sumber menyebutkan, termasuk yang pernah dirilis oleh World Association of Newsaper & News Publisher (WAN-IFRA) tahun 2017, volume pendapatan iklan media online (news portal) di seluruh dunia masih kurang dari 10 persen dibanding total volume iklan global. Angka ini diamini oleh para penerbit di Malaysia. Dalam sebuah kesempatan mengunjungi Harian New Straits Time (NST), 20 Juli 2017 lalu, penulis memperoleh informasi dari para petinggi di NST yang menyebutkan total volume iklan digital di NST Grup hanya sebesar delapan persen dari keseluruhan pendapatan iklan media di bawah grup NST.

Bagaimana dengan di Indonesia? Walaupun tidak tersedia data resmi, dari hasil diskusi dengan sejumlah pelaku industri periklanan dan media online, penulis mendapatkan informasi yang sama dengan angka-angka global yang dirilis WAN-IFRA.

Sungguh pun terlihat masih kecil, tren pertumbuhan iklan media online diyakini bakal kian meningkat dari tahun ke tahun, berbanding terbalik dengan tren penurunan iklan di media cetak. Ini lantaran, digital adalah sebuah platform masa depan yang penuh dengan keniscayaan. Sementara media cetak adalah platform yang penuh tanda tanya di masa depan. Jika demikian, tidak ada pilihan lagi bagi para pelaku media konvensional termasuk media cetak untuk melakoni versi digitalnya lebih serius.

Lanjut ke halaman 2

Penulis: Asmono Wikan
Sumber: Jurnal Dewan Pers edisi 15, November 2017, hlm. 11-17.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment