Siasat Pers di Tengah Era Disrupsi

Siasat Pers di Tengah Era Disrupsi

Siasat Pers di Tengah Era Disrupsi
Ilustrasi pers (Ils: Freepik)

Tantangan dalam Monetisasi Konten

Ada dua tantangan monetisasi yang kini menghinggapi para pelaku bisnis media cetak dan online di tanah air. Pertama berasal dari kompetisi yang “tidak sehat” melawan raksasa-raksasa digital dunia sekaliber Google, Fabebook, dan Twitter. Jamak dipahami, provider mesin pencari dan aplikasi sosial media itu berhasil melakukan monetisasi konten dari upaya mereka “menyedot” jutaan konten gratis yang berasal dari para user.

Bayangkan Facebook di Indonesia memiliki 100 juta pengguna aktif. Jika setiap hari para pengguna itu memposting satu kali konten, maka Facebook otomatis akan memperoleh 100 juta konten per hari tanpa harus keluar keringat mencari sendiri. Lewat mekanisme mesin yang dimiliki, baik Google dan Facebook, akan memilah konten tersebut secara segmentatif sesuai karakter user, lalu memonetisasinya menjadi keuntungan berlipat ganda. Sebuah proses bisnis yang tidak mungkin dilawan oleh sebuah media online besar di Indonesia. Apalagi oleh penerbit media cetak.

Tantangan kedua, adanya kecenderungan pengiklan lokal dan multinasional di Indonesia untuk juga beriklan di Facebook dan Google. Sulit membendung keinginan para pengiklan untuk tidak beriklan di kedua platform digital raksasa itu. Dengan harga iklan yang jauh lebih murah ketimbang beriklan di media konvensional dan memiliki penetrasi pasar yang sangat besar dan luas, jauh lebih luas dibanding media online lokal, maka sudah jamak media online di tanah air akan kehilangan potensi iklan yang signifikan.

Tentu kita masih ingat dengan kehebohan pemerintah yang ingin memungut pajak dari Google beberapa waktu lalu. Kalau pun akhirnya upaya itu berhasil, industri periklanan nasional tetaplah yang bakal dirugikan. Karena lebih dari 70 persen potensi iklan di media online atau digital lari ke luar (capital outlflow).

Bagaimana Menahan Penetrasi Google dan Facebook?

Dua tantangan tersebut dalam hemat penulis telah menjadi praksis keseharian di kalangan para penerbit pers cetak yang telah merambah ke versi digital. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk “melawan” penetrasi Facebook dan Google, sekaligus memperkuat pasar media online di Indonesia?

Dari sisi penerbit media cetak dan online yang telah melakukan konvergensi, upaya pertama yang paling konkret adalah menciptakan konten-konten yang semakin relevan bagi target pasar yang dibidik. Memberikan kedalaman informasi pada konten yang diterbitkan. Hal ini bisa menjadi pembeda dengan jutaan konten yang dihirup secara gratis oleh para raksasa aplikasi digital.

Kedua, memperkuat sajian konten dengan ramuan data yang kuat. Data yang disajikan dengan gaya jurnalisme berkualitas, akan memberi pembeda bagi penerbit media cetak maupun online, di tengah gempuran platform sosial media kepada publik.

Para penerbit media cetak dan online hari ini dalam hemat penulis tidak perlu lagi membayangkan mampu mengelola begitu banyak konten untuk begitu banyak konsumen (publik). Era seperti itu sudah berlalu. Kita harus mengakui, pola publikasi konten semacam itu hanya bisa dilakukan Facebook dan Google. Sebagai gantinya, penerbit di Indonesia kini hanya perlu fokus pada segmen pasar utama mereka saja.

Era bermain-main dengan jumlah halaman yang tebal adalah masa lalu bagi penerbit media cetak. Sebagai gantinya, cukup menyajikan beberapa rubrik yang benar-benar dibaca masyarakat. Sebagai konsekuensinya, kue bisnis setiap penerbit di Indonesia bakal terus berkurang karena semakin banyak penerbit yang hanya fokus pada konten untuk melayani segmen pasar tertentu.

Suka atau tidak suka, tanpa melakukan penyesuaian fokus pasar, pendapatan bisnis para penerbit di Indonesia kian hari kian menurun. Sejumlah penerbit media cetak, baik majalah, tabloid, dan surat kabar pun tutup alias tidak terbit kembali. Sungguh pun mereka juga memiliki versi online.

Fokus pada pasar utama dengan segmentasi yang jelas menurut saya akan membantu penerbit pers untuk menyiasati zaman digitalisasi. Ongkos produksi jelas akan berkurang. Energi kreatif sebaliknya semakin bisa dipertajam untuk mencari hal-hal baru terkait konten maupun pemasaran yang bisa bermanfaat bagi perkembangan bisnis perusahaan.

Lanjut ke halaman 3

Penulis: Asmono Wikan
Sumber: Jurnal Dewan Pers edisi 15, November 2017, hlm. 11-17.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment