Pola Bisnis Baru
Pola bisnis industri media cetak dan online di Indonesia memang telah berubah. Penerbit media cetak yang adaptif terhadap perubahan dan kreatif menyiasatinya, niscaya akan mampu survive di era disruptif ini. Apa pun itu bentuk perubahan dan penyesuaian yang dilakukannya. Setidaknya, penulis mengidentifikasi empat pola perubahan bisnis media cetak dan media online hari ini dan masa depan.
Pertama, industri media cetak dan online akan semakin terkristalisasi. Hanya penerbit media cetak dan online yang kuat secara konten dan pasar saja yang akan bertahan di sebuah wilayah pasar.
Pandangan tentang kristalisasi pasar ini sejak lebih dari lima tahun lalu telah disampaikan Dahlan Iskan dalam berbagai kesempatan. Menurutnya, di sebuah wilayah pasar, hanya akan ada satu sampai tiga penerbit media cetak saja yang bertahan hidup dan tetap tumbuh. Di samping itu, juga akan semakin musykil sebuah penerbit media cetak mampu menguasai pasar nasional.
Mempertajam pandangannya, dari sisi pasar psikografis hal serupa juga bakal terjadi. Penerbit media cetak dan online yang memiliki karakteristik konten relevan dengan pasar psikografislah yang akan tetap tumbuh. Misalnya, majalah komunitas untuk profesi tertentu. Atau media online yang memiliki kedalaman informasi dan kekayaan data. Pembaca atau publik tidak lagi semata-mata bakal diikat dari pendekatan proksimitas geografis saja melainkan juga psikografis.
Kedua, memperkuat versi cetak yang masih diterbitkan dan positioning yang dimiliki. Media cetak harus diakui telah memberikan pendapatan begitu banyak (dari iklan maupun sirkulasi) bagi para penerbitnya selama beberapa dekade terakhir. Menjadi absurd jika tiba-tiba menghentikan penerbitannya dan berubah begitu saja ke media online, manakala versi cetak tetap mampu menghasilkan pendapatan, dan versi online masih kecil kontribusinya bagi perusahaan.
Posisi setiap media yang telah dimiliki; sebagai koran daerah, koran bisnis, majalah komunitas profesi, dan seterusnya; justru harus semakin diperkuat dengan menggunakan pendekatan jurnalisme berkualitas. Ini karena pembaca loyal media cetak akan terus ada akibat ikatan kedekatan dan relevansi konten, bukan semata-mata kedekatan daerah.
Ketiga, kembali mengutip pendapat Dahlan Iskan yang ia sampaikan di Surabaya, 1 November 2017, media cetak dan online akan berkembang menjadi semacam clearing house. Di tengah gempita hoax dan fake news yang berkembang di mana-mana, publik bakal rindu informasi yang akurat, kredibel, dan berkualitas. Informasi semacam ini hanya ada di media arus utama, baik media cetak maupun online.
Situasi ini yang justru menguntungkan bisnis media cetak, karena publik tidak bakal mendapatkan informasi yang utuh dan akurat hanya dari informasi selintas di media sosial. Sebagai clearing house, akan menempatkan media cetak dan media online menjadi kanal informasi utama yang valid bagi publik.
Keempat, penerbit media cetak akan dituntut untuk memperkuat platform digital yang telah dirancang dengan menyajikan konten yang lebih mendalam dan berkualitas. Dalam kasus ini, apa yang dilakukan Tempo dengan fokus ke pelanggan berbayar, Bisnis Indonesia lewat penguatan data bisnis, dan Kompas dengan konten premium, patut menjadi contoh bagi penerbit pers yang lain.
Kelima, dari sisi bisnis, bakal semakin banyak pengiklan yang membutuhkan narasi story telling ketimbang iklan hard sales. Sejumlah penerbit media cetak dan online malah kemudian mengembangkan native advertising, sebuah konsep iklan bertutur yang mirip dengan narasi pemberitaan. Walaupun masih kerap mengundang perdebatan panjang, namun model iklan semacam ini justru akan cukup lama menjadi tren di dunia bisnis media cetak dan media online.
Pada hakikatnya dinamika industri media di seluruh dunia akan terus berubah dan menemukan keseimbangan-keseimbangan baru. Jika hari ini media cetak mendapatkan tekanan dari media online karena aspek kecepatan pemberitaan, maka sesungguhnya media online sedang mendapatkan tekanan juga dari media sosial. Dan kelak, media sosial justru yang akan ganti mendapat tekanan dari platform baru yang muncul belakangan entah apa pun namanya. Begitu dan seterusnya keseimbangan baru akan terus tercipta tiada akhir.
Situasi seperti inilah yang penulis sebut dengan era post social media, yang telah diidentifikasi para pakar media dan marketing sejak 2014 di berbagai forum maupun tulisan-tulisan tentang media. Era sosial media yang menempatkan pengalaman (experiences) sebagai hal baru untuk menciptakan engagement dengan publik (customer), bakal digeser lagi oleh tren anyar yang dikembangkan platform post social media. Kebenaran yang dibangun oleh generasi media sosial juga akan berubah pemaknaannya di era pasca sosial media nantinya.
Implikasinya bagi bisnis media cetak dan online malah menjadi semakin jelas. Kedua platform media (klasik) ini akan tetap ada dan dibutuhkan oleh segmen pasar yang sengaja ingin mencari kualitas, kredibilitas, dan kedalaman informasi yang disampaikan.
Jadi, fenomena media sosial maupun post social media santai saja kita tanggapi. Perusahaan pers cetak dan online tak perlu terlalu heboh oleh gempuran media sosial di tengah era digitalisasi yang sangat disruptif. Kalaulah kemudian tetap saja ada penerbit media cetak dan online yang menyusul tutup alias bangkrut, kesimpulannya kembali bisa kita kutip dari pernyataan Dahlan Iskan: “Itu karena kesalahan dari manajemen perusahaan pers bersangkutan. Bukan karena faktor digitalisasi maupun disrupsi.”*
Penulis: Asmono Wikan
Sumber: Jurnal Dewan Pers edisi 15, November 2017, hlm. 11-17.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net