Sindrom Ke-raja-raja-an

Sindrom Ke-raja-raja-an

Sindrom Ke-raja-raja-an
Joko Widodo (Foto: suaranasional.com)

Suaramuslim.net – Barangkali karena lahir dan besar di Solo serta belajar di UGM (Yogyakarta), tidak aneh bila Jokowi, seperti saya, kagum dengan keraton dan juga kagum pada kehidupan raja-raja Jawa.

Dalam hal memuliakan ajaran Islam, para Pakubuwono di Keraton Surakarta dan para Hamengkubuwono di Keraton Yogyakarta kiranya tidak perlu kita ragukan. Dua keraton itu menghadap ke utara, di depannya ada alun-alun yang di tengahnya ada ringin kurung dan di sebelah barat alun-alun ada Masjid Besar atau Masjid Gedhe.

Bahwa para raja Solo dan Jogja pada acara-acara tertentu melakukan kirab dengan menaiki kereta kencana dengan barisan para punggawa keraton yang menabuh genderang dengan tabuhan khas keraton, bagi masyarakat Solo dan Jogja dipandang sangat wajar. Bahkan ditanggapi oleh rakyat dengan rasa bangga. Justru tradisi itu perlu dipelihara untuk mengingatkan generasi sekarang supaya tidak pernah lupa akan sejarah mereka.

Akan tetapi saya mengamati ketika Jokowi usai dilantik jadi Presiden, pada 20 Oktober 2014, dia melakukan kirab dengan mengendarai kereta kencana dari bundaran HI menuju istana, sambil menyapa ribuan rakyat yang mengelu-elukannya. Waktu itu saya berpikir agaknya dalam diri Jokowi ada sindrom keraja-raja-an. Menyukai kereta kencana. Pengamatan saya itu menjadi benar ketika dia ngunduh mantu, apalagi ketika mengawinkan anak perempuannya, Jokowi benar-benar bergaya bak seorang raja, bukan gaya presiden sebuah republik.

Surat edaran Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) yang berisi larangan bagi pejabat untuk menggelar resepsi pernikahan secara mewah dan tidak boleh mengundang lebih dari 400 undangan, tidak berlaku bagi Jokowi. Jokowi mengundang 8000 orang di samping katanya, ada ribuan lagi relawan yang akan datang tanpa undangan.

Sindrom ke-raja-raja-an Jokowi nampak jelas ketika dia, bersama para menteri yang jadi panitia acara perkawinan anak laki-lakinya, mengadakan perhelatan (pesta) pernikahan 3 hari berturut-turut di Medan, Sumatera Utara. Tujuh kereta kencana, 14 kuda poni, 23 kusir dan kru didatangkan dari Solo. Bagaikan cerita klasik, setiap raja yang mengawinkan anaknya biasanya mengadakan pesta 7 hari 7 malam. Karena hanya “seperti raja”, pesta pernikahan yang digelar Jokowi hanya 3 hari 3 malam. Lumayaaan!

Saya bukan nyinyir. Dua hal mencocok pikiran saya. Pertama, katanya menganjurkan hidup sederhana. Kok kenyataannya suka kemewahan. Tiga hari tiga malam. Pemborosan uang dan pemborosan waktu. Kata Fahri Hamzah (Wakil ketua DPR RI), kalau hanya untuk mengumumkan pernikahan, bisa lewat twitter, vlog dan lain-lain. Saya kira betul, tidak perlu hura-hura. Kecuali kalau berpikir aji mumpung, semampang jadi presiden. Lantas kapan lagi?

Mentalitas Absolut Raja

Yang kedua, yang membuat saya lebih gusar, jangan-jangan mentalitas yang dikembangkan Jokowi untuk dirinya adalah mentalitas ke-raja-raja-an. Mengenai para raja, ada 3 hal yang tidak boleh dilakukan terhadap raja. Pertama, ojo didhisiki, jangan didahului. Kedua, ojo diungkuli, jangan dilampaui. Dan ketiga, ojo diwarahi, jangan digurui.

Mentalitas raja yang kurang arif atau kurang bijak pada umumnya menganggap diri paling benar, tidak mau disalahkan, dan cenderung berpikir absolut. Juga tidak ingin terlihat punya kekurangan. Ingin berpenampilan serba bisa.

Misalnya, jelas-jelas tidak mampu jadi imam shalat, memaksa diri jadi imam. Akhirnya jadi bahan olok-olok. Tidak bisa menyanyi kasidah, memaksa diri juga. Yang mestinya berbunyi: zayyinuddin yahtirom dinyanyikan zainudin naciro. Lagi-lagi jadi bahan banyolan masyarakat.

Kelihatan sindrom ke-raja-raja-an ini sudah masuk ke hal-hal yang strategis dan dapat membahayakan masa depan bangsa. Sebagai misal, nekat membangun infrastruktur secara over-ambitious yang jelas-jelas memasukkan Indonesia ke perangkap utang Tiongkok.*

Dikutip dari e-book karya Prof. M. Amien Rais berjudul “Hijrah; Selamat Tinggal Revolusi Mental Selamat Datang Revolusi Moral.”

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment