Takwa Perlu Proses, Bro!

Takwa Perlu Proses, Bro!

Ikhlas dalam Hijrah
Ilustrasi proses seseorang menuju puncak.

Suaramuslim.net – Ada ayat yang sangat familiar untuk dibaca dan didengarkan, yaitu QS Ali Imran 102;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”

Ayat ini memerintahkan kita untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa. Nah, takwa yang benar-benar itu kayak apa ya?

Takwa Sebenarnya

Ibnu Mas’ud berkata terkait haqqo tuqotihi (takwa yang sebenarnya) yaitu;

1. An Yutho’a fala Yu’sho; taat kepada Allah tanpa sedikit pun bermaksiat.

2. Wa an yudzkaro fala yunsa; selalu ingat Allah tanpa pernah lupa.

3. Wa an yusykaro fala yukfar; selalu bersyukur tanpa pernah ingkar terhadap nikmat Allah.

Ibnu Abbas juga mengomentari ayat tersebut dengan ungkapan; “Alla Yu’sho thorfata ‘ainin,” tidak bermaksiat sekejap mata pun. (Lihat Tafsir Al Munir karya Dr. Wahbah Az Zuhaili jilid 2 hal. 349).

Coba perhatikan definisi dua sahabat tersebut terkait takwa yang benar. Betapa beratnya kita menyelaraskan jiwa ini dengan definisi takwa yang seperti itu.

Untunglah ada ayat lain yang melegakan kita yaitu QS At Taghabun 16;

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…”

Pakar tafsir menganggap ayat tersebut sebagai penjelas dari Surat Ali Imron 102. Karena itu Nabi Muhammad bersabda;

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Jika kalian diperintahkan pada sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337 dari Abu Hurairah).

Dan di kalangan sahabat Nabi lainnya juga memahami kesulitan kalau takwa itu harus ingat Allah tanpa sedikit pun lupa. Seperti kisah yang dituturkan oleh Hanzhalah al Usaidi berikut ini.

Hanzhalah termasuk salah seorang juru tulis Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata:

Abu Bakr -radhiyallaahu ‘anhu- berjumpa denganku, ia menyapaku, “Bagaimana keadaanmu, wahai Hanzhalah?” Aku menjawab, “Munafik-lah Hanzhalah!” Abu Bakr terkejut seraya berkata, “Subhanallah! Apa yang kau katakan?”

Aku berkata, “Kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang mengingatkan kami mengenai neraka dan surga hingga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala kami. Akan tetapi ketika kami beranjak dari sisi beliau, kami kembali tersibukkan dengan istri-istri dan anak-anak kami, kami kembali melakukan perbuatan-perbuatan yang sia-sia dan kami banyak lalai.” Abu Bakr berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kami pun sering seperti itu.”

Maka bertolaklah aku dan Abu Bakr menuju kediaman Rasulullah hingga kami berdua memasuki kediaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aku berkata kepada beliau, “Munafik-lah Hanzhalah, wahai Rasulullah!” Rasulullah bertanya, “Apa yang kau maksud?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, kami pernah berada di sisimu ketika engkau sedang mengingatkan kami mengenai neraka dan surga hingga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala kami. Akan tetapi ketika kami beranjak dari sisimu, kami kembali tersibukkan dengan istri-istri dan anak-anak kami, kami kembali melakukan perbuatan-perbuatan yang sia-sia dan kami banyak lalai.”

Maka Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian menetapi perbuatan ketika kalian berada di sisiku dan ketika berzikir, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian dalam setiap bentang perjalanan hidup dan langkah-langkah kalian. Namun (ingatlah) wahai Hanzhalah! (Yang demikian itu akan kau dapatkan jika kau rutinkan) sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu.” Beliau mengucapkannya tiga kali.” (Sahih Muslim no. 2750).

Perhatikan seorang Handzalah mengaku munafik karena kesulitan untuk selalu ingat Allah setiap saat. Padahal Hanzhalah termasuk sahabat Nabi Muhammad mendapatkan gelar “Ghasilul malaikat” (orang yang dimandikan malaikat) pada waktu beliau mati sahid perang Uhud.

Apalagi kita, bisakah menjadi manusia yang bertakwa dengan sempurna?

Lanjut ke halaman 2

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment