Suaramuslim.net – Di Indonesia zakat tak hanya diatur oleh agama, tetapi juga sudah diserap dalam hukum negara. Lalu, bagaimana hukumnya seseorang membayar zakat fitrah dengan uang? Simak penjelasannya berikut ini.
Tanya
Ustadz, di medsos rebut-ribut, bahwa zakat pakai uang tidak sah, karena menyalahi pendapat jumhur, benarkah demikian?
Jawab
Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
بِسْـــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــم
Memang akhir-akhir ini banyak sekali pesan broadcast yang beredar di medsos seolah menyatakan bahwa zakat fitri dengan uang tidak sah. Sehingga menjadi keresahan tersendiri. Maka tulisan ini ingin memberikan pembanding agar semua orang bisa legawa dan dewasa dalam melihat perbedaa tsb.
1. Dalam urusan Fikih perbedaan itu biasa terjadi, dan tidak perlu saling menyalahkan. Karena dalam Fikih perbedaan itu sah dan bisa ditolerir. Ijtihad seorang mujtahid, salah pun masih mendapatkan pahala.
إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala”. (H.R Al Bukhari dan Muslim)
Bahkan Imam An-Nawawi rahimahullah menukilkan ijma’ ulama, beliau berkata:
قال العلماء : أجمع المسلمون على أن هذا الحديث في حاكم عالم أهل للحكم ، فإن أصاب فله أجران : أجر باجتهاده ، وأجر بإصابته ، وإن أخطأ فله أجر باجتهاده
“Ulama berkata, kaum muslimin bersepakat bahwa hadis ini mengenai hakim yang menguasai hukum Islam. Jika ia benar mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaran. Jika salah maka hanya mendapat satu pahala yaitu pahala ijtihadnya”. (Al-Minhaj Syarh Muslim 12/14, Dar Ihya’ At-Turast, 1392 H, cet. 2, syamilah)
2. Masalah zakat fitrah dengan menggunakan “qimah” (nilai dengan uang), sudah terjadi perbedaannya di kalangan ulama sejak ratusan tahun yang lalu, bukan hal yang baru sekarang terjadi. Ratusan tahun yang lalu sudah banyak yang membolehkannya.
Sejak Imam Abu Hanifah, Hasan Al-Bisri, Sufyan Ats-Tsauri, bahkan Umar bin Abdul Aziz sudah membincangkannya, mereka termasuk orang-orang yang menyetujuinya. Ulama hadis seperti Al Bukhari ikut pula menyetujuinya, dengan dalil dan argumentasi yang logis serta dapat diterima (Lihat di As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83 dan juga di Fiqh Az Zakah, Dr. Yusuf Al Qardhawi).
Bahkan ada sebagian ulama Syafi’iyah yang berpendapat zakat fitrah dengan uang;
Keterangan dari kitab Ghayatu al-Talhishi al-Murad 112
أفتى البلقيني بجواز إخراج الفلوس الجدد المسماة بالمناقر في زكاة النقد والتجارة قال إن الذي اعتقده وبه اعمل وإن كان مخالفا بالمذهب الشافعي والفلوس انفع للمستحقين وليس فيها غش كما في الفضة المغشوشة ويتضرر للمستحق إذا وردت عليه ولا يجد بدلا أه ويسع المقلد تقليده لأنه من أهل التخريج والترجيح لاسيما إذا راجت الفلوس وكثرة رغبة الناس فيها.
“Imam al-Bulqini telah berfatwa tentang bolehnya mengeluarkan mata uang yang baru yang dinamakan dengan al-Munaqir dalam hal zakat mata uang dan perdagangan. Pengarang kitab berkata: “Sesungguhnya sesuatu yang aku (pengarang) telah meyakininya, aku mengerjakannya meskipun hal itu bertentangan dengan Mazhab Asy-Syafi’i. Dan uang lebih bermanfaat bagi orang yang berhak menerima zakat sedangkan di dalamnya tidak ada unsur penipuan sebagaimana yang terjadi di dalam permalsuan (percampuran) perak yang bisa merugikan bagi pemiliknya ketika hal itu sampai padanya sedangkan orang tersebut tidak mendapatkan penggantinya (selesai perkataan pengarang). Dan pengikut mempunyai toleransi terhadap yang diikuti karena dia termasuk golongan ahli at-Tahrij dan at-Tarjih. Apalagi ketika uang itu yang diharapkan dan manusia (masyarakat) lebih suka dengan hal tersebut.”
3. Yang berpendapat zakat fitri dengan uang itu sah dengan dasar sebagai berikut;
a. Firman Allah
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”. (QS. at-Taubah: 103)
Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (maal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang (karena sifat ayat ini umum, bisa zakat maal dan bisa zakat fitri). [Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4]
b. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
أغنوهم عن الطلب في هذا اليوم
“Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri)”. (H.R Daruquthni dan Baihaqi)
Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitri dapat terwujud dengan memberikan uang (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).
Bayangkan kalau semua orang miskin hanya menerima beras di hari raya, mereka akan kesusahan untuk membuat opor ayam yang merupakan makanan khas lebaran di Indonesia. Makna hadis ‘ughnu hum’ (cukupkan mereka) di hari raya ini jadi tidak terpenuhi.
c. Kenapa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam secara eksplisit tidak menganjurkan dengan uang? Ada jawaban cerdas Dr. Yusuf Qardhawi dalam Kitabnya “Fiqh Az Zakah” jilid 2 hal 1004;
Pertama
Karena uang di masa itu agak kurang banyak beredar bila dibandingkan dengan makanan. Maka membayar zakat langsung dalam bentuk makanan justru merupakan kemudahan. Sebaliknya, di masa itu membayar zakat dengan uang malah merepotkan.
Kedua
Karena nilai uang itu tidak stabil, selalu berubah tiap pergantian zaman. Hal itu berbeda dengan takaran makanan yang sifatnya sebatas kebutuhan mendasar seseorang yang relatif terbatas.
d. Berapa nilai uangnya? Apakah harus mengikuti mutlak keseluruhan pendapat Imam Abu Hanifah? Nggak haruslah, mengikuti pendapat Abu Hanifah sebatas bolehnya berzakat fitri dengan uang, itu aja. Adapun takarannya apakah harus takaran gandum atau kurma, ya tidak harus.
Pendapat Dr. Yusuf Qardhawi menyatakan;
و الذي اختاره؛ ان يدفع قيمة صاع من غالب قوت البلد،من اوسط الاصناف فان كان اجودها فهو احسن
“Menurut pendpat yang saya pilih adalah menyerahkan (uang) seharga satu sha’ makanan pokok dari negeri tinggal, dari jenis yang medium, namun jika mau yang bahan makan pokok yang lebih berkualitas, itu jauh lebih baik”. (Fiqh Az Zakah jilid 2/1005)
So… Bisa ikut yang pertengahan dengan harga yang senilai takaran 3 kg beras sekitar 35 – 40 ribu. Majelis Ulama Indonesia pun menetapkan demikian sekitar 3 Kg.
Saudaraku, ini hal khilafiyah (perbedaan pendapat ulama) yang akan terus berlangsung hingga zaman ini berhenti alias kiamat. Tidak usah saling menyalahkan. Capek jiwa ini kalau konflik terus dalam persoalan fiqhiyah.
Semuanya kembali kepada kondisi kemanfaatan bagi si fakir miskin. Jika memang lagi langka beras karena paceklik, maka berzakat dengan bahan makanan itu lebih utama. Sebaliknya, apabila dengan uang lebih manfaat bagi si fakir miskin, maka berzakat dengan uang adalah lebih utama (lihat Fiqh Az Zakah jilid 2 hlm 1006).