Inilah Tata Cara Itikaf Sesuai Tuntunan Rasulullah SAW

Inilah Tata Cara Itikaf Sesuai Tuntunan Rasulullah SAW

Inilah Tata Cara Itikaf Sesuai Tuntunan Rasulullah SAW
Ilustrasi laki-laki itikaf. (Ils: PENS/Elmanita Kirana)

Suaramuslim.net – Itikaf seringkali menjadi menu favorit dalam ibadah yang yang dipilih untuk menutup Ramadhan. Berikut ini penjelasan tentang itikaf dan praktik itikaf yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aktivitas ini mendadak menjadi aktivitas yang banyak dilakukan oleh umat muslim saat Ramadhan. Terlebih pada sepuluh hari terakhir, setiap muslim berbondong bondong beri’tikaf di masjid demi mendapatkan malam kemuliaan “lailatul qadr”. Namun, apa saja yang dilakukan dalam itikaf? sudahkah beri’tikaf sesuai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Simak uraian berikut ini.

Itikaf yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah pada Allah di malam-malam Ramadhan. Itikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan khusus yang membatasi waktu minimal Itikaf.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, Itikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan itikaf, baik dilakukan dalam waktu singkat atau pun lama. Karena tidak ada dalil dari Al Quran maupun As Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu atau menetapkannya dengan waktu tertentu.

Banyak umat Islam yang mengupayakan waktunya untuk melakukan itikaf. Misal, malamnya itikaf di masjid dan siangnya kembali bekerja. Hukum melakukan seperti itu adalah di perbolehkan. Jumhur ulama berpendapat minimal waktu itikaf adalah lahzhoh, yaitu hanya berdiam di masjid beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.

Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid. Berdiam di sini boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir.”

Allah berfirman, “Sedang kamu beritikaf dalam masjid.” (QS Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beritikaf dalam ayat ini. Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.

Kemudian di dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beritikaf.”

Artinya tak ada hadis, maupun firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berisikan waktu tetap untuk beritikaf di masjid meskipun hanya sesaat, namun diniatkan itikaf maka sudah dapat disebut itikaf.

Cara Itikaf Ala Rasulullah SAW

Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata, “Apabila telah masuk hari kesepuluh, yakni sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengencangkan kain sarungnya dan menghidupkan malam-malam tersebut serta membangunkan istri-istrinya.” (Muttafaq Alaihi)

Di dalam hadis tersebut Aisyah menjelaskan bahwa Rasulullah pada malam i’tikaf melakukan beberapa hal yaitu :

Pertama, “mengencangkan kain sarungnya” yang dimaknai bahwa Rasul tekun beribadah, mencurahkan waktu untuknya dan bersungguh-sungguh di dalamya. Ada yang berpendapat, yang dimaksud dengannya ialah menjauhi wanita untuk menyibukkan diri dengan peribadatan.

Kedua, Rasulullah “menghidupkan malamnya”. Rasulullah menghidupkan seluruh malam dengan begadang untuk melakukan shalat dan selainnya, atau menghidupkan sebagian besarnya.

Ketiga,  “membangunkan keluarganya” yakni membangunkan mereka dari tidur untuk beribadah dan shalat. Diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata, ”Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melakukan i’tikaf, beliau mengerjakan shalat Shubuh, baru kemudian masuk ke tempat i’tikafnya. (Muttafaq Alaihi)

Pernyataannya, “shalat Shubuh” yakni pada pagi 21 Ramadhan. Maksudnya beliau terfokus dan menyepi di dalamnya setekah shalat shubuh. Bukan berarti bahwa itu dimulainya waktu i’tikaf. Bahkan waktu i’tikaf dimulai sebelum maghrib pada malam ke-21 dalam keadaan beri’tikaf lagi berdiam di masjid secara umum. Ketika setelah selesai shalat Subuh beliau menyendiri.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam An Nawawi. takwil ini harus dilakukan untuk mengkompromikan antara hadits ini dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana hadits ini.  (muf/smn)

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment