Tradisi Masyarakat di Indonesia Jelang Ramadhan

Tradisi Masyarakat di Indonesia Jelang Ramadhan

tradisi jelang ramadhan
Petani Kopi Kembangsari Gelar Tradisi Nyadran (Foto: Medcom.id)

Suaramuslim.net – Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat. Di dalamnya terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Mayoritas penduduk Indonesia dihuni oleh umat Islam.

Meski demikian, proses akulturasi antara budaya peninggalan jaman Hindu-Budha dengan ajaran Islam tidak bertentangan. Justru Islam berhasil mengawinkan budaya dengan menghapus ritual syirik dan diganti dengan kegiatan bermanfaat.

Salah satu kebiasaan yang masih dilestarikan adalah perayaan menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan. Hampir tiap daerah di Indonesia memiliki ritual atau kebiasaan berbeda jelang memasuki puasa.

Meski berbeda-beda, akan tetapi semangatnya tetap sama. Yaitu ungkapan rasa syukur serta kegembiraan umat Muslim akan datangnya bulan suci nan penuh berkah dan pengampunan. Sehingga sebelum menginjak puasa, diharapkan agar kita menyucikan jiwa dan raga dari segala kesalahan, agar bisa menjalankan ibadah Ramadhan dengan sempurna.

Seperti apa bentuk tradisi yang dimiliki oleh suku atau budaya di Indonesia? Berikut sebagian ulasannya:

Tradisi Munggahan dari suku Sunda

Orang Sunda terkenal sebagai suku yang memegang teguh ritual dan tradisi yang berasal dari para pendahulunya. Satu diantaranya adalah tradisi Muggahan. Tradisi ini merupakan bentuk syukur akan datangnya bulan Ramadhan. Sehari sebelum berpuasa, warga Sunda melaksanakan Munggahan.

Kata Munggahan berasal dari “munggah” yang berarti naik. Dalam Kamus Umum Bahasa Sunda, munggah juga memiliki arti sebagai hari pertama puasa pada tanggal 1 Ramadhan. Ketika memasuki Ramadhan, masyarakat pada dasarnya naik ke bulan yang luhur derajatnya. Sehingga diharapkan mereka menjadi pribadi yang lebih baik seiring dengan tibanya bulan suci Ramadhan.

Kegiatannya berupa kumpul bersama anggota keluarga, sanak saudara, kerabat dekat, dan tetangga di pegunungan, sawah, dan bukit-bukit. Biasanya mereka akan bersilaturahmi sambil makan bersama-sama atau dikenal dengan sebutan “botram”, doa bersama, bahkan sahur bareng. Ada juga yang memilih untuk mengunjungi tempat wisata dengan keluarga atau mengadakan acara resmi keagamaan. Sebagian yang lain berziarah ke makam wali, kuburan orang tua, syekh atau ulama yang menyebarkan agama Islam di suatu daerah.

Sementara bagi warga yang berada di perantauan pun akan kembali ke tempat asalnya untuk menjalankan tradisi Munggahan. Selain acara makan-makan atau bepergian, tradisi ini merupakan sebuah sarana dalam menjaga keharmonisan dan kedekatan yang ada di antara anggota keluarga.

Tradisi Nyorog suku Betawi

Warga Betawi punya tradisi Nyorog jelang Bulan Ramadhan. Nyorog adalah bagi-bagi bingkisan kepada sanak keluarga. Biasanya bungkusan berisi bahan makanan mentah, daging kerbau, ikan bandeng, kopi, susu, gula, sirup, dan lainnya.

Ada juga yang diisi makanan khas Betawi yang dibawa menggunakan rantang, seperti masakan sayur gabus pucung. Yaitu, ikan gabus yang dimasak dengan berbagai aneka bumbu seperti cabai merah, jahe, dan kunyit.

Tradisi nyorog pada masyarakat Betawi memiliki makna sebagai tanda saling mengingatkan bahwa bulan suci Ramadhan akan segera datang. Selain itu, tradisi nyorog juga sebagai pengikat tali silaturahim sesama sanak keluarga.

Tradisi Padusan di Jawa Tengah

Untuk masyarakat yang tinggal di Provinsi Jawa Tengah sebenarnya punya banyak tradisi unik di masing-masing daerah. Mulai dari Ruwahan, Nyadran, dan Padusan. Namun dari ketiganya, yang populer dan banyak dilakukan di beberapa tempat adalah tradisi padusan. Acaranya adalah mandi untuk menyucikan diri sebelum memasuki bulan puasa.

Biasanya upacara padusan diawali dengan kirab budaya. Bahkan di beberapa daerah seperti Klaten, acara padusan sengaja diadakan di lokasi wisata seperti pemandian Jolotundo, sumber air ingas, ponggok, lumban tirto. Pengunjung yang datang jumlahnya mencapai ribuan. Ada yang ikut melakukan penyucian diri, ada juga yang hanya menonton gelaran upacara.

Tradisi Pacu Jalur Provinsi Riau

Pacu jalur adalah tradisi yang ada di kabupaten di Provinsi Riau tepatnya di Kabupaten Kuantan Singingi, sekitar 3 jam perjalanan darat dari Kota Pekanbaru. Tradisi unik yang disebut “Pacu Jalur” yang berarti Lomba Perahu Dayung sudah ada pada jaman penjajahan Belanda.

Pacu Jalur juga merupakan salah satu event nasional unggulan provinsi Riau yang dilaksanakan pada bulan Agustus. Ritual ini biasanya digelar untuk memperingati hari tertentu, seperti hari Raya Idul Fitri dan menjelang Ramadhan.

Jalur atau perahu yang dipakai terbuat dari batang pohon utuh dengan panjang 25-40 meter serta diameter 1 meter. Batang pohon biasanya dipilih secara sakral oleh seorang Pawang. Kemudian proses pembuatan jalur dikerjakan secara bergotong royong dengan upacara ritual magis. Hal ini sangat penting dilakukan sebelum jalur (perahu) diperlombakan.

Jalur biasanya diisi awak perahu sekitar 40-60 dengan tugas masing-masing seperti tukang kayu, tukang concang (komandan, pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), tukang onjai (pemberi irama di bagian kemudi) dan tukang tari yang membantu tukang onjai memberi tekanan yang seimbang sehingga jalur (perahu) teratur dan berirama.

Sebelum perlombaan mulai, wasit akan terlebih dahulu membunyikan meriam sebagai tanda dimulainya perlombaan. Mengapa menggunakan meriam? Iya, agar terdengar oleh peserta lomba, hal ini karena luasnya arena pacu ditambah dengan hiruk pikuknya penonton yang menyaksikan perlombaan. Dentuman bunyi meriam yang keras akan membuat penonton langsung berteriak menyemangati para peserta lomba.

Tradisi Nyadran Tradisi suku Jawa

Nyadran biasanya dilakukan pada hari ke-10 di bulan Rajab. Acaranya diawali dengan doa bersama yang dipimpin sesepuh desa setempat. Dalam doa tersebut, mereka bersama-sama memanjatkan doa untuk kakek, nenek, bapak, ibu, serta sanak saudara yang telah meninggal dunia.

Setelah berdoa, seluruh warga menggelar genduren (kenduri) atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelar banyak tikar dan daun pisang. Uniknya, warga harus membawa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, mangut, sambar goreng ati, urap sayuran dengan lauk rempah, tempe tahu bacem, perkedel, dan lain sebagainya.

Tradisi “Nyadran” / “Sadranan” berasal dari kata “Sodrun” yang artinya adalah gila atau tidak waras. Sebelum walisongo menyebarkan agama Islam, masyarakat di Pulau Jawa kebanyakan menyembah pohon, batu, bahkan binatang, dengan membawa sesaji dan membaca mantra-mantra.

Hingga kemudian para wali sanga mengenalkan nilai-nilai Islam namun tidak menggeser kebiasaan warga saat itu. Justru yang dilakukan para wali adalah mengganti mantra dengan doa-doa sesuai tercantum dalam Al Quran dan hadits Nabi. Semantara untuk sesajinya diganti menjadi makanan yang bisa dinikmati oleh warga setempat.

Tradisi Megengan di Surabaya dan sekitarnya

Konon ceritanya kebiasaan megengan bermula dari kawasan Ampel, di sekitar Masjid Ampel, Surabaya. Perayaan ‘Megengan’ biasanya ditandai dengan makan apem, semacam serabi tebal terbuat dari tepung beras berdiameter sekitar 15 senti.

Nama kue apem sebenarnya diambil dari bahasa Arab yaitu afwan, yang berarti maaf. kegiatan makan apem dimaknai sebagai wujud permintaan maaf kepada sesama saudara, kerabat, dan keluarga.

Mulanya warga berkumpul untuk melakukan doa bersama. Usai dzikir dan mengirimkan doa untuk kerabat yang sudah meninggal, mereka akan disuguhkan hidangan apem, pisang raja dan makanan lain. Apem dan pisang juga dibagikan kepada semua keluarga dan tetangga dekat.

Kontributor: Siti Aisah*
Editor: Oki Aryono

*Lulusan S1 Ilmu Komunikasi Unair

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment