Suaramuslim.net – Pernahkah Anda bertemu dengan tokoh-tokoh yang Anda kagumi? Jawabannya tentu tidak selalu.
Pernahkan Anda bertemu dengan Soekarno? Presiden RI pertama. Pernahkah Anda bertemu KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah? Pernahkah Anda bertemu dengan KH Hasyim Ashari, pendiri NU? Pernahkah Anda bertemu dengan Tan Malaka yang pikiran-pikirannya mempengaruhi cara Anda berdialektika. Pernahkan Anda bertemu Buya Hamka, dan lain-lain sederet tokoh yang secara jarak usia dan tempat berbeda? Jawabannya tentu bergantung apa yang Anda alami, baik itu secara jarak waktu maupun jarak usia serta jarak tempat.
Lalu dari manakah kita bisa mengenal mereka? Jawabannya adalah membaca karya-karya mereka, baik itu karya tulis, karya kreatif maupun karya sosial. Melalui karya, kita bisa mengenal mereka. Mengenal secara fisik maupun mengenal secara pikiran. Karya merupakan sesuatu yang penting apabila kita berharap orang lain mengetahui maupun mengenal kita.
Menjembatani Masa dengan Tulisan
Setiap orang pasti punya gagasan, setiap orang pasti punya catatan perjalanan. Setiap orang pasti diharapkan bisa berbagi sesuatu untuk yang lebih baik. “Sesuatu yang menjadi catatan akhir merupakan bagian terbaik berbagi kebaikan”, begitulah makna yang tersurat dari pesan Allah bahwa yang akhir itu lebih baik.
Setiap perjalanan pasti ada awal dan ada akhir, di antara awal dan akhir itu pasti ada proses. Agar proses-proses yang sudah kita lakukan menjadi sebuah inspirasi bagi yang jauh jarak kehidupannya dengan kita, maka menuliskan adalah sebuah keharusan.
Menulis adalah sebuah lompatan peradaban agar masa lalu dan masa kini bisa terangkai menjadi pelajaran dan gagasan baru untuk masa depan. Menulis juga bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, karena setiap orang dibekali dengan keterampilan menulis sebagaimana orang dibekali dengan keterampilan berbicara.
Bagaimana mungkin kita bisa mengetahui sejarah besar masa lalu kalau kita tak membaca tulisan-tulisan sejarah masa lalu? Pentingnya sebuah dokumen masa lalu ditulis, atau pentingnya dokumen masa kini dicatat, agar kelak anak cucu kita bisa belajar dari apa yang terjadi pada masa lalu dan masa kini untuk merangkai kehidupannya di masa depan.
Nah kawan… Sesungguhnya menuliskan apa yang kita yakini hari ini sebagai sebuah kebaikan, merupakan sumbangsih kita terhadap peradaban masa depan. Sehingga menulis merupakan rangkaian membentuk ingatan panjang kita “long term memory”.
Bukankah sekarang ini, kita menghadapi perubahan zaman yang serba cepat, sehingga mendokumentasikan apa yang kita alami merupakan cara kita agar segala sesuatunya bisa diingat. Bayangkan kalau hanya kita ucapkan tanpa tulisan, apakah kita masih ingat?
Menuliskan apa yang kita kerjakan artinya tulislah apapun yang Anda lakukan dalam perjalanan hidup, sehingga segala sesuatunya bisa terukur dan bisa dijadikan pelajaran.
Kerjakan apa yang kita tulis, merupakan pesan agar kita jangan membuat hal-hal baru di luar rencana yang sudah dibuat. Karena membuat rencana baru di luar yang tertulis akan menjadi beban baru, bahkan akan mengaburkan rencana yang sudah ada. Mengapa? Karena yang disebut dengan ketidak terencanaan merupakan sebuah variabel pengganggu dalam mencapai kepastian yang sudah tertulis.
Kebesaran cerita peradaban masa lalu tak akan bisa sampai ke kita kalau para penjaga masa depan saat itu tak mau menuliskan.
Mengutip apa yang disampaikan oleh Anies Baswedan, bahwa pendidikan abad 21 harus dirancang sebagai blue print peradaban masa depan, karena dalam pendidikan masa depan itu dibutuhkan karakter (karakter moral dan karakter kinerja), kompetensi (kritis, kreatif, kolaboratif dan komunikatif), serta literasi (menulis, membaca, berbudaya dan keuangan).
Semoga Allah menjauhkan diri kita dari keegoisan sejarah dengan tidak mau menuliskan apa yang kita anggap baik.
*Ditulis di Surabaya, 26 April 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net