Suaramuslim.net – Suatu sore, ketika saya sedang menyapu dan mempersiapkan masjid untuk dipakai jamaah sholat maghrib, ada seorang jamaah yang tiba-tiba bertanya.
“Masih kuliah, Mas? Jurusan apa? Dimana?” Tanyanya beruntun.
“Masih, Bu. Jurusan Pendidikan Dokter di UGM,” jawab saya sambil tersenyum.
“Orang tuanya dokter juga, Mas?” Tanyanya lagi memastikan.
“Lho? Lha kuliahnya di Kedokteran, anaknya dokter, kok mau-maunya nyapu-nyapu masjid jadi marbot?” Protes beliau. Mungkin dalam bayangannya, saya tidak pantas jadi marbot.
Saya hanya tersenyum mengiyakan sambil berkata, “Tak apa-apa, kok Bu.”
Sejujurnya, secara formal saya menjadi marbot baru beberapa bulan terakhir. Dua tahun sebelumnya, saya hanya diperbantukan sebagai pengajar di Rumah Tahfidz. Cuma karena kebetulan tempatnya tepat di sebelah masjid. Ya saya selalu usahakan ketika luang membantu marbot ikut menjaga kenyamanan masjid. Jadi secara pekerjaan ya sudah hampir tiga tahun saya mengurusi masjid ini.
Namun, ada alasan yang saya baru sadari kenapa saya harus mencintai kegiatan ini. Bahkan, sayalah yang butuh pekerjaan ini. Kenapa? Karena bagi saya membersihkan masjid, mencuci keset masjid, mengosek kamar mandi masjid, dan kegiatan lainnya itu mampu mengikis bibit-bibit kesombongan yang tumbuh dalam hati.
Ya, saya sangat takut menjadi sombong, bahkan yang tanpa sadar. Secara bahwa profesi dokter adalah profesi yang dihormati bahkan sejak pendidikan. Pun begitu saya hidup di lingkungan yang terhormat pula, sebagai guru Rumah Tahfidz. Ditambah dengan kelebihan lain yang Allah swt ‘pinjamkan’ kepada saya. Praktis, saya menjadi sasaran empuk para setan dan bala tentaranya. Lebih tepatnya hati saya menjadi sasaran utama setan untuk menghancurkan akhlak dan keberkahan ilmu.
Maka, untuk mengikis setiap bibit penyakit hati yang tumbuh tadi, khususnya sombong, pekerjaan marbot-lah yang akan membantu menghilangkannya.
Saya merasakan betul bagaimana efeknya. Jika saya semakin jarang melakukan pekerjaan marbot, maka semakin sering pula saya meremehkan kebaikan, amalan sunnah mulai longgar, dan lainnya. Jika diteruskan lama-lama akan muncul sikap merendahkan orang lain. Sekalinya saya menekuni kembali, maka tiba-tiba beberapa hari kemudian saya seakan diringankan untuk kebaikan lainnya. Saya juga berusaha belajar dari dua kisah yang menarik berikut ini.
Diceritakan oleh Dr. Hasan Syafii, bahwa Syekh Muhammad Abduh setiap sebelum subuh, akan berjalan cepat menuju masjid Sayyidah Nafisah. Di sana beliau akan membersihkan kamar mandi masjid yang terkesan kotor dan jorok. Setelah itu, beliau kembali berangkat ke masjid Azhar untuk melaksanakan shalat Subuh sekaligus mengajar di sana. Padahal, jarak masjid Azhar dan masjid Sayyidah Nafisah cukup jauh, dengan berjalan bisa mengambil waktu 30 menit lebih. Beliau bercapek-capek pergi ke masjid Sayyidah Nafisah hanya untuk membersihkan kamar mandi, padahal rumah beliau tidak jauh dari masjid al-Azhar. Hal itu beliau lakukan hampir tiap hari.
Dr. Ahmad Umar Hasyim juga menceritakan dalam buku beliau, meriwayatkan dari Ahmad Mutawalli Sya’rawi, tentang ayahnya, Imam Asy-Sya’rawi, yang seorang mufassir dan dai. “Ayah pernah diminta mengisi acara besar sejenis ceramah umum di Universitas Cairo. Selesai acara, semua hadirin takjub dengan pemaparan beliau. Saat mau pulang, mereka mengerumuni beliau saat menuju mobil, bahkan mobilnya dikerumuni massa hingga gerbang kampus.”
“Setelah sampai di rumahnya di dekat masjid Husein, saat itu tiba waktu shalat, banyak orang yang masuk tempat wudhu dan kamar mandi. Mereka kaget luar biasa, karena mendapati ayah saya, Syekh Sya’rawi sedang membersihkan setiap sudut tempat wudhu dan kamar mandi.”
Mereka sontak bertanya kepada beliau, “Ada perihal apa sehingga beliau hingga melakukan hal itu?”
Syekh Sya’rawi menjawab, “Saya baru saja mengisi acara di Universitas Cairo. Setelah acara, para audiens mengerumuni mobil saya. Saya takut ada perasaan takjub terhadap diri sendiri. Saya hanya ingin menghilangkan perasaan takjub itu.”
Begitulah para ulama menjaga diri mereka dari bibit penyakit hati yang muncul. Saya yakin setiap orang memiliki caranya sendiri bagaimana menghilangkan bibit penyakit hati tersebut.
Saya memilih melakukan pekerjaan marbot sebagai cara saya untuk itu. Maka, jika mungkin kisah di awal tadi berulang, saya bisa menjawab atas alasan apa saya memilih untuk menjadi marbot.
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari segala bentuk penyakit hati, sombong, ‘ujub, riya, sum’ah, hasad, dan keburukan yang ditimbulkan olehnya.
Khoirul Fahmi (Hafidz Quran) Alumni MAN Insan Cendekia Serpong mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM.