Upaya Menaikkan Reputasi dan Teori “Titik Balik”

Upaya Menaikkan Reputasi dan Teori “Titik Balik”

Upaya Menaikkan Reputasi dan Teori “Titik Balik”
Joko Widodo (Foto: Aktual.com)

Suaramuslim.net – Fenomena banyaknya jurus yang dikeluarkan tim sukses (timses) petahana, untuk memperoleh simpati warga masyarakat dan menggiring opini untuk memilih Jokowi-Ma’ruf Amin, menarik untuk dijelaskan. Gencarnya media sosial yang mengkritik secara kritis berbagai kebijakan Jokowi yang dianggap gagal mewujudkan janji-janji politiknya. Bisa jadi,  menjadi latar belakang dari gencarnya kebijakan yang sporadis belakangan ini.

Namun, di tengah gencarnya kebijakan negara yang seakan-akan peduli dengan rakyat ini, muncul analisis Eep Saefullah Fatah dengan teori “Titik Balik Jokowi.” Bila tiga realitas yang diketengahkan itu benar, maka sinyal negatif atas naiknya elektabilitas Jokowi. Yang menjadi sasaran dan fokus adanya titik balik itu adalah masyarakat akar rumput (grassroot) karena merasa tak terpenuhi hak-haknya.

Menurunnya Ekspektasi Publik 

Kelompok masyarakat yang terpinggirkan ini bisa menjadi kartu mati bagi rezim Jokowi bila tiga realitas ini terus membesar. Hal ini akan berujung bukan hanya semakin menurunnya elektabilitas sang petahana, tetapi akan menghancurkan reputasinya sehingga gagal terpilih menjadi presiden periode berikutnya. Fenomena “titik balik” petahana ini tidak lepas dari banyaknya kebijakan-kebijakan blunder yang justru akan melahirkan sikap anti terhadap rezim. Tiga realitas yang menjadi titik balik ini bisa dipaparkan sebagai berikut:

Pertama, fenomena “krisis otentisitas”, di mana ketika awal menjabat, Jokowi dianggap sebagai sebuah mitos yang tak terukur dan mampu memberi harapan besar bagi rakyat. Ketika satu periode berjalan, maka kinerjanya mulai bisa diukur sehingga bisa dinilai oleh siapa pun secara kritis. Ketika kampanye 2014, banyak yang mengelu-elukan dan berharap besar pada Jokowi, yang dinilai merakyat dan mampu mewujudkan mimpi bersama menjadi negara yang besar dan mandiri.

Seiring dengan berjalannya waktu, banyak yang menilai bahwa hal ini hanya sebuah pencitraan semata, dan jauh dari otentisitas dirinya yang dianggap merakyat. Kebijakan yang lahir justru dinilai elitis dan berdampak menyengsarakan rakyatnya. Impor bahan pangan, kenaikan harga listrik, dan impor tenaga kerja asing benar-benar jauh dari otentisitas Jokowi saat kampanye. Otentisitas Jokowi yang merakyat untuk menciptakan kemandirian bangsa benar-benar khayalan bukan kenyataan. Kesan merakyat dan menjadi dewa penyelamat bangsa terkikis berubah menjadi pencipta budak-budak bangsa.

Kedua, fenomena “Gagal kebijakan” di mana banyak dijumpai orang-orang yang lemah dan miskin semakin tak berdaya melihat kebijakan yang dijalankan rezim ini. Mereka semakin putus asa melihat realitas rezim yang berjanji akan “memberdayakan” kelompok masyarakat yang terpinggirkan, tetapi realitasnya juga “memperdayakan” mereka.

Kelompok warga miskin yang berjibaku, berkeringat untuk menyambung hidup, justru semakin terhimpit karena ekonomi yang semakin sulit dengan harga barang yang tak terjangkau. Tukang becak, sopir, buruh, dan kuli pasar bisa diambil sebagai contoh betapa semakin beratnya menghadapi kesulitan ekonomi empat tahun belakangan ini. Hal ini tidak lain sebagai wujud gagalnya rezim ini dalam mengawal janji-janjinya dalam bentuk kebijakan yang nyata.

Fenomena, “Krisis Representasi” di mana banyak orang yang merasa paling dirugikan oleh keadaan, tetapi tidak merasa dipihaki atau dibela oleh rezim ini. Mereka merasa bahwa kepentingannya tak diwakili dan mengalami pembiaran. Oleh karena tidak merasa dipedulikan, maka mereka akan menolak rezim ini secara militan, semilitan ketika mereka dulu mengelu-elukannya saat kampanye.

Ini sebuah ironisme sejarah, yang mana dahulu rakyat membayangkan sosok presiden dipersonifikasikan sebagai sosok yang merakyat dan akan berjuang untuk kepentingan rakyat. Namun dalam perjalanan sejarah, justru rezim ini tidak merepresentasi yang mengangan-angankan adanya perubahan hidup yang lebih baik. Maka tidak heran mereka ini yang akan menjadi “protest voters”. Mereka akan menjadi pemilih yang marah karena representasi mereka dianggap tidak ada.*

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment