Suaramuslim.net – Ketika hukum diperalat untuk membungkam orang-orang kritis, bukan hanya membunuh generasi baru yang kreatif dan kritis, tetapi akan melahirkan generasi-generasi baru yang bisanya hanya membenarkan segala hal yang menyimpang dari norma dan aturan hukum yang berlaku. Implikasi lanjutannya, hukum yang tegak adalah hukum rimba di mana mereka yang kuat, khususnya yang dekat dengan kekuasaan, akan menindas dan menistakan kaum yang lemah.
Tulisan ini mengajak untuk melihat realitas UU ITE disalahgunakan sebagai alat untuk membungkam kelompok yang kritis, dan di sisi lain UU itu tidak berlaku bagi kelompok yang menguntungkan kekuasaan. Inilah realitas yang kontras. Era demokrasi modern namun praktik hukum rimba justru yang mengemuka. Hukum rimba lebih mengedepankan siapa yang kuat kekuasaannya, dialah yang menentukan perjalanan sejarah bangsa. Hal ini bukan hanya mematikan demokrasi tetapi akan membunuh nalar kritis yang sudah bersemai dengan baik.
UU ITE Sebagai Alat Politik
Beberapa orang yang dianggap kritis dan bersinggungan dengan rezim saat ini harus terjerat dengan hukum. Mereka dijerat hukum karena telah melakukan ujaran kebencian. Penjerat orang-orang kritis itu menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menteralibesikan lawan politiknya.
Apa yang disasarkan kepada Buni Yani merupakan sebuah contoh. Dia dianggap telah menyebarkan video pidato Basuki Thahaja Purnama (Ahok) sehingga menimbulkan kegaduhan sosial. Akibatnya Buni Yani harus menjalani proses hukum. Demikian pula tuntutan penjara terhadap Ahmad Dhani yang dituduh telah melakukan ujaran kebencian terhadap publik. Bahkan yang terhangat, apa yang menimpa Rocky Gerung yang dituduh menistakan agama karena mengatakan “Agama Fiksi.” Mereka bertiga harus berurusan dengan hukum, dengan delik melanggar UU ITE. Mereka dianggap melakukan ujaran kebencian dan menimbulkan gejolak atau polemik di tengah masyarakat.
Hal ini berbeda dengan mereka yang melakukan hal yang sama, yakni ujaran kebencian terhadap kelompok lain. Bahkan ujaran kebenciannya bernilai sejenis atau lebih keras dari ketiga orang di atas. Namun pengujar kebencian itu tidak terseret dengan UU ITE itu. Apa yang dilakukan oleh Viktor Laiskodat yang menuduh empat partai (Gerindra, PAN, PKS, dan Demokrat) sebagai pendukung khilafah sehingga membahayakan negara. Apa yang dikatakan oleh Seno Samdoro, Bupati Boyolali yang menyebut Prabowo dengan “Asu” juga aman-aman saja. Apa yang dikatakan Menkominfo dengan “Yang gaji kamu siapa” jelas-jelas merupakan ujaran kebencian. Tiga contoh ini juga tidak diproses secara hukum.
Adanya kasus yang sama dengan akibat yang berbeda menunjukkan adanya interpretasi yang berbeda terhadap UU ITE. Namun benang merahnya terlihat bahwa ujaran kebencian itu akan selamat dan aman bila tidak berkaitan dengan kritik terhadap penguasa. Sebaliknya bila kritik itu menyinggung terhadap penguasa, maka akan berujung pada penjara, atau minimal akan berurusan dengan hukum dan peradilan.
Contoh lain bisa menjadi contoh empirik dimana sejumlah bupati dan kepala daerah tidak dipersoalkan ketika menguntungkan Petahana. Sementara mereka yang membahayakan atau kritis terhadap Petahana harus mengalami pemeriksaan. Apa yang dilakukan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta ketika mengangkat tangan dan melakukan salam dua jari, merupakan contoh. Begitu ada laporan tentang pelanggaan Anies, maka pihak berwenang segera memprosesnya secara hukum.
Melihat realitas di atas bisa dikatakan bahwa UU ITE benar-benar dimanfaatkan sebagai alat untuk melemahkan atau menghantam lawan kubu Petahana, yang kebetulan saat ini sedang mencalonkan diri sebagai calon presiden. Penggunaan UU ITE ini setidaknya, bisa memberikan shock terapy terhadap orang lain yang dianggap kritis agar tidak melakukan hal yang sama.
UU ITE dan Pilpres 2019
Suasana Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 turut membentuk munculnya pemanfaatan terhada UU ITE itu. Pada hakikatnya, UU ITE tidak lain sebagai instrumen untuk menciptakan ketenangan publik dan mengurangi ketegangan yang berasal dari ucapan dan tindakan orang lain. Namun hal itu disalahgunakan oleh mereka yang memiliki akses langsung dengan kekuasaan, dan mempergunakannya untuk menopang kekuasaan. Kubu Petahana memiliki sejumlah fasilitas dan akses untuk menafsirkan UU ITE guna memperoleh dukungan politik.
Kelompok kepentingan dan petahana memiliki cara pandang yang sama dalam memanfaatkan momentum dengan menggunakan UU ITE. Petahana memiliki alat-alat negara, seperti kepolisian, kementerian hukum dan perundang-undangan, serta jaksa untuk bekerja maksimal guna membelanya. Salah satu bentuk pembelaan dari alat-alat negara itu dengan memproses secara cepat siapa pun yang dianggap melakukan ujaran kebencian terhadap petahana. Sementara mereka yang melakukan ujaran kebencian yang mendukung petahana dibiarkan dan tidak diproses meskipun melakukan pelanggaran yang sama.
Kita berharap bahwa UU ITE bisa dipergunakan untuk menciptakan ketenangan dan kenyamanan publik, dan aparat penegak hukum bisa bersifat netral dalam mengaplikasinya. Hal ini akan memberi kontribusi positif dalam menopang suksesnya Pilpres 2019. Penafsiran yang cenderung subjektif, karena adanya kelompok kepentingan yang bemain di satu sisi, dan di sisi lain aparat penegak hukum yang tak netral lagi. Hal inilah yang membuka peluang bagi pihak-pihak yang ingin mememanfaatkannya untuk menangguk keuntungan.
Ketika UU ITE dijadikan sebagai alat politik, bukan saja menciptakan konflik tetapi melahirkan hantu politik. Menciptakan konflik karena masyarakat akan sibuk dengan pertengkaran dan konflik yang tak berkesudahan. Melahirkan hantu politik bagi mereka yang kritis dan mereka yang mengedepankan akal sehat.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net