Veto AS dan Paradoksnya Demokrasi Di PBB

Veto AS dan Paradoksnya Demokrasi Di PBB

Veto AS dan Paradoksnya Demokrasi Di PBB
Sidang Dewan Keaman PBB (Foto: Moslemtoday)

Oleh: Khairul Amin

Suaramuslim.net – Sebagai organisasi International terbesar (193 negara) pasca perang dunia ke II (1939-1942), PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), didirikan dengan membawa misi kerjasama Internasional dan stabilitas dunia. Didirikan pada 24 oktober 1945 PBB sebagai kelanjutan dari Atlantic Charter dan UN Conference (San Francisco), organisasi ini memiliki beberapa tujuan. Salah satu tujuan terpenting adalah menjaga perdamaian dan keamanan dunia (Peacekeeping and security function).

Namun pada perjalanannya PBB ditengarai hadir sebagai perpanjangan tangan “pemenang” perang dunia, terlebih jika dilihat dari diskurs post-colonial. Hal ini mengakibatkan munculnya suara-suara kritis pemimpin dunia. Salah satunya Presiden Indonesia, pada tahun 1960-an kemudian Mahathir Mohammad. Bahkan sejak awal kemunculannya, diantaranya oleh John Birch Society yang mengkampanyekan “get US out of the UN” pada tahun 1959, menuduh tujuan PBB adalah mendirikan “One World Government” atau Pemerintah Seluruh Dunia.

Naiknya Donald Trump sebagai pemimpin AS ke-45, seakan-akan mentasbihkan kenyataan tersebut. Dimulai kampanye rasial, hingga hingga pada titik klimaks pernyataan soal Yerussalem. Setelah ditentang 57 Negara OKI dalam KTT Luarbiasa (13/12) yang dipimpin Turki lewat Reccep Tayyib Erdogan, AS berhasil mengalahkan 14 pemegang suara draft resolusi DK PBB dengan vetonya (18/12). Sebagaimana dilansir situs resmi PBB, hanya AS yang abstain dengan veto, hingga akhirnya resolusi dibatalkan. Tindakan AS ini pun menjadi kecaman dunia di berbagai penjuru dunia termasuk dari dunia Barat, diantaranya Theresa May (UK) dan Emanuel Macron (Prancis).

Veto memang merupakan paradoks. Menurut Robert J. Spitzer (1988) dalam The presidential veto: touchstone of the American presidency, konsep utama veto berasal dari  tradisi konsul dan mimbar parlemen Romawi. Veto merupakan  istilah dari bahasa latin yang  berarti  “saya melarang” (I forbid). Veto didefinisikan sebagai kekuatan secara unilateral untuk menghentikan sebuah aksi ofisial, khususnya pembuatan undang-undang. (A veto – Latin for “I forbid” – is the power (used by an officer of the state, for example) to unilaterally stop an official action, especially the enactment of legislation).

Jika dikaitkan dengan demokrasi yang lantang disuarakan Barat, terlebih AS, maka akan didapati semacam paradoks level “dewa”. Kalau asas dasar demokrasi adalah dari rakyat (dunia) oleh rakyat (dunia) dan untuk rakyat (dunia), maka jelas secara sadar kita dihadapkan semacam “kemunafikan tingkat dunia” plus “new-real imprealism. Pada akhirnya PBB tidak lebih menjadi alat “pemenang perang”. Maka benar perkiraan proklamator kita dahulu, Soekarno. Sehingga muncul KTT non-blok sebagai tanggapan perang dingin.

Lantas muncul pertanyaan, bagaimana selanjutnya? Sebab yang terjadi paradoks level “dewa” maka gerakan kesadaran di dunia ketiga bisa menjadi sangat luarbiasa. Aksi demo sedunia, termasuk bumi Indonesia membahana. Tak dinyana, jika terus berlanjut bisa menjadi cikal bakal hal yang paling dihindari warga dunia, World War III. Namun secara potensial, modal konflik di tingkat internasional sudah cukup untuk memicu genderang perang.Timur Tengah (Palestina, Suriah, Yaman), Iran, Laut Cina Selatan, Korea Utara, Afrika Tengah, dan konflik lainnya, merupakan bukti shahih soal potensi itu.

Lalu jika rezim Trump menarik pernyataannya, apakah demokrasi di PBB tetap paradoks atau berubah? Apakah perang dunia ke III bisa dihindari? Untuk pertanyaan pertama mungkin tidak, sebab masih ada hak veto yang sebenarnya paradoks. Untuk pertanyaan kedua mungkin iya, tapi lebih tepatnya ditunda sebab ditengah arus kesadaran dunia ketiga akan “imprealisme baru”  Negara pemenang dunia ke II lewat organisasi internasional, sewaktu-waktu dapat terjadi kondisi tidak terduga. Mungkin tesis Samuel P. Huntingthon dalam The Clash of Civilizations bisa termanifestasikan menjadi secara fisik. Waktulah yang akan menjawabnya.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment