Tanya Jawab Fikih Puasa, Waktu Pembayaran Fidyah

Tanya Jawab Fikih Puasa, Waktu Pembayaran Fidyah

Suaramuslim.net – Fidyah secara bahasa berarti harta atau semacamnya untuk menebus tawanan atau semisalnya agar bisa terbebas dari kondisi yang sedang dialaminya. Lalu, bagaimanakah pembayaran fidyah itu dilakukan? Berikut ulasannya.

Tanya

Assalamualaikum Ust Jun, mohon pencerahannya untuk masalah tidak berpuasa karena hamil atau menyusui. Perlu qadha dan bayar fidyah atau bayar fidyah saja. Dan cara bayar fidyahnya apa bisa langsung diserahkan sebulan atau harus per hari? Kalau diuangkan perhitungannya seperti apa ya?

Jawab

Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuh

بِسْـــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــمِ

Banyak sekali pertanyaan yang masuk ke saya terkait tidak puasanya ibu hamil dan menyusui. Sungguh hal itu sudah saya jelaskan berkali-kali, bahwa hal tersebut adalah ikhtilaf (berbeda pendapat di kalangan ulama), sebab ikhtilaf dikarenakan hal di atas tidak disebut secara spesifik di dalam Al Quran dan hadis.

Yang disebut dalam Al Quran dan hadis hanyalah orang sakit, musafir dan orang yang tidak mampu puasa (di antaranya seperti orang yang sudah sepuh). Adapun wanita hamil dan menyusui tidak disebut, nah disinilah muncul perbedaannya.

Apakah keduanya (ibu hamil dan menyusui) masuk kategori orang sakit, yang harus qadha’. Ataukah masuk kategori orang tua dan sakit yang menahun yang boleh tidak puasa dan wajib bayar fidyah saja. Atau dibedakan antara hukum ibu hamil dan menyusui, terkait kekhawatiran terhadap janin dan dirinya. Disinilah para ulama fiqh berbeda ijtihad.

Sebagian besar ulama Fiqh memang berpendapat bagi keduanya sama dengan orang yang sakit, yang boleh tidak berpuasa dan wajib qadha’. Dalam hal ini pun mereka berbeda apakah qadha’ saja atau tambah fidyah?

Mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat tetap diwajibkan qadha’ dan fidyah berdasarkan Surah Al Baqarah ayat 184-185.

Apabali ada udzur syar’i, wanita hamil atau menyusui, apabila ia tidak berpuasa sebab mengkhawatirkan kondisi bayinya, yang wajib ia lakukan adalah qadha sekaligus fidyah. Akan tetapi bila ia mengkhawatirkan dirinya saja, atau mengkhawatirkan dirinya dan juga bayinya, maka yang harus ia lakukan adalah membayar qadha’ tanpa fidyah.

Tapi kalau Mazhab Hanafi cukup qadha’ saja.

Adapun pendapat dari kalangan Sahabat Nabi seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, serta dari kalangan Tabi’in seperti Ibnu Jubair, Al Qasim bin Muhammad, Qatadah dan Ibrahim.

Telah meriwayatkan Abdur Razzaq dalam kitabnya; “Ibnu Umar pernah ditanya tentang perempuan hamil terkait puasa Ramadhan. Beliau menjawab; ‘dia boleh berbuka dan memberikan makan setiap harinya kepada orang miskin (fidyah)”.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia memerintahkan anak perempuannya yang lagi hamil, untuk tidak puasa di bulan Ramadhan, seraya berkata;

انت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ،فافطري و اطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة

“Kamu berposisi sebagai orang yang sepuh yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan setiap hari (kepada orang miskin) setengah sha’ gandum”.

Ibn Jubair berkata;

تفطر الحامل التي في شهرها و المرضع التي تخاف علي ولدها، تفطران و تطعم كل واحدة منهما كل يوم مسكينا و لا قضاء عليهما

“Wanita hamil boleh tidak puasa, wanita menyusui yang khawatir terhadap anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa, dan membayar fidyah, serta tidak perlu qadha’.

Bahkan Ibn Katsir pun mengungkap perbedaan terkait wanita hamil dan menyusui;
Boleh tidak berpuasa, dan bagi keduanya qadha dan fidyah.
Boleh tidak berpuasa, bagi keduanya hanya fidyah saja.
Boleh tidak berpuasa dan bagi keduanya hanya qadha saja.
Boleh tidak puasa, dan bagi keduanya tidak ada qadha dan fidyah (lihat Ibn Katsir jilid 1/215) dan lebih jelasnya silakan baca Fiqh Ash Shiyam karya Dr. Yusuf Al Qaradhawi.

So… Sungguh perbedaan itu rahmat, janganlah sebuah ijtihad dibatalkan dengan ijtihad lainnya karena itu justru menumbuhkan fanatisme yang berlebihan sehingga saling menyesatkan.

Pemberian fidyah diberikan kepada satu orang miskin untuk satu hari dikalikan sebanyak hari puasa yang ditinggalkan, sebagaimana hadis berikut:

عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: رُخِّصَ لِلشَّيْخِ اَلْكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ. رواه الدارقطني و الحاكم

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata, ”Telah diberikan keringanan buat orang tua renta untuk berbuka puasa, namun dia wajib memberi makan untuk tiap hari yang ditinggalkannya satu orang miskin, tanpa harus membayar qadha’. (HR Ad-Daruquthny dan Al-Hakim).

Para ulama berbeda pendapat mengenai besaran fidyah, ada yang menyebut satu mud dan adalagi satu sha’.

Satu Mud, Imam An-Nawawi berpendapat dalam Kitab Al-Majmu’, satu mud sekitar 675 gram.

Satu Sha’, mazhab Hanafiyah berpendapat satu sha’ atau setara dengan empat mud, sama dengan jumlah zakat fitrah lebih kurang 2, 176 gram atau 2,7 liter. Atau kalau berupa uang sekitar 15-20 ribu per fidyah. Dan bisa dibayar sekaligus sebanyak hari tidak puasanya.

Wallahu A’lam

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment