Waspadai Politik Lebensraum Tiongkok

Waspadai Politik Lebensraum Tiongkok

Waspadai Politik Lebensraum Tiongkok
Presiden Joko Widodo bertemu Presiden Xi Jinping di Beijing, 9 November 2014. (Foto: cnnindonesia.com)

Suaramuslim.net – Setelah Uni Soviet bubar pada 1991, posisinya sebagai negara adi daya (super power) digeser oleh RRT dan kini pertarungan antara RRT dan AS untuk mencapai supremasi atau hegemoni global berlangsung sangat ketat. Pertarungan di bidang ekonomi, teknologi, militer sampai perlombaan di arena tanpa batas, yakni di ruang angkasa, mencapai tahapan neck and neck. Pada 2 Januari lalu misalnya, Tiongkok berhasil mendaratkan pesawat tanpa awak ke permukaan bulan, dan merancang akan membuat stasiun di bulan mendahului Amerika.

Kita perlu mencermati pertumbuhan Tiongkok, tidak saja di bidang ekonomi tetapi juga di bidang persenjataan yang sangat pesat. Tiongkok pasti mempunyai strategi global untuk mencapai hegemoni dunia. Tujuan mencapai supremasi global itu didengungkan terutama oleh Xi Jinping yang memegang 3 posisi penting, setidaknya sampai 2023 yaitu sebagai Presiden, Sekjen PKC dan Ketua Koordinasi PKC dan Angkatan Perang Tiongkok.

Kini sudah melihat bukti bahwa di bawah Xi Jinping, Tiongkok tidak mau mematuhi hukum internasional. Keputusan ICJ di Den Haag sebagai lembaga sangat penting PBB yang memutuskan bahwa Laut Tiongkok Selatan adalah perairan internasional, ditolak oleh Tiongkok. Beberapa pulau yang ada dalam batas-batas nine-dashed lines atau sembilan garis terputus-putus diaku sebagai milik Tiongkok. Keputusan ICJ ditolak secara resmi.

Singkat kata, banyak para pengamat yang meyakini bahwa hakikatnya Tiongkok menyembunyikan ambisi politik lebensraum-nya, yakni dalam rangka memperluas ruang hidupnya. Secara pelan-pelan Tiongkok mengincar negara-negara tetangga untuk pada saat dan alasan (excuse) yang tepat diduduki. Apalagi ada doktrin baru dalam politik luar negeri Tiongkok bahwa bangsa Tionghoa merupakan bangsa yang satu, termasuk mereka yang ada di luar batas-batas teritorial RRT. Dengan kata lain, Tionghoa diaspora yang ada di seluruh pelosok dunia kini merupakan bagian tak terpisahkan dari bangsa Tionghoa yang satu.

Sebelum Xi berkuasa, Beijing tidak melakukan intervensi kalau ada masyarakat Tiongkok di luar RRT menghadapi masalah apa pun, karena mereka dianggap warga negara asing, warga negara di mana mereka hidup. Bukan warga negara Tiongkok. Kini berbeda sama sekali. Kalau ada masalah yang dihadapi diaspora di mana saja, Tiongkok akan membela nasib mereka dan berhak melakukan intervensi politik. Hal ini menimbulkan masalah pelik, karena layak intervensi atau tidak sepenuhnya berdasarkan opini dan pikiran Beijing. Akan tetapi kita tidak perlu khawatir.

Pertama, para pemimpin bangsa sejak dulu sampai sekarang, saya yakin, tidak ada yang terlintas untuk memperlakukan diskriminasi kepada semua minoritas yang hidup di Indonesia. Kedua, berdasarkan realisme politik, mustahil ada bangsa luar yang berani melakukan intervensi, campur tangan masalah dalam negeri kita, selama kita kuat dan bersatu. Ada sebuah adagium yang berlaku dalam hubungan antar bangsa, yakni tidak ada negara yang berani mengintervensi urusan negara lain, selama negeri itu kuat, kokoh, dan rakyatnya bersatu. Sebaliknya, setiap kelemahan, pasti mengundang intervensi.

Lihatlah seluruh invasi yang dilakukan oleh sebuah negara ke negara lain, pasti karena negara yang diinvasi terbukti lemah. Indonesia tidak akan bermusuhan dengan negara mana pun juga, termasuk dengan Tiongkok yang kata beberapa pengamat akan meniru Jerman dengan politik Anschluss atau pencaplokannya.

Negara-negara super power mempunyai gairah pencaplokan kalau melihat negara-negara di sekelilingnya sangat lemah. Kita tidak boleh lemah. Pak Jokowi, sekarang ini kita sangat lemah. Ketergantungan Indonesia ke Tiongkok sudah terlalu berbahaya. Konstitusi kita dan politik bernegara sejak kita merdeka tahun 1945, tidak melarang Indonesia untuk bekerjasama dengan semua negara. Termasuk dengan Republik Rakyat Tiongkok. Namun satu hal harus kita ingat, tidak boleh kita menggantungkan atau menggadaikan kedaulatan Indonesia ke negara mana pun juga. Tidak ke Timur tidak ke Barat, tidak ke Utara dan tidak ke Selatan.*

Dikutip dari e-book karya Prof. M. Amien Rais berjudul “Hijrah; Selamat Tinggal Revolusi Mental Selamat Datang Revolusi Moral.”

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment