Suaramuslim.net – Konsep kota suci (dan kesucian lainnya) ada di semua agama. Kalau dikaji secara sekular, misalnya seperti kata Durkheim, kesucian sesuatu itu sematan komunitas terkait belaka, demi memenuhi kepentingan-kepentingan fungsional, terutama solidaritas. Jadi, kesuciannya memang fakta, tetapi fakta sosial, bukan fakta pada dirinya. Individu yang tak ikut menyucikan obyek tersebut akan dikucilkan dari komunitasnya, dan kehilangan segala akses ke komunitas, padahal akses itulah yang banyak memberikan fungi-fungsi atau manfaat-manfaatnya pada si individu.
Tapi apa kita harus menurut saja waham Durkheim yang diperolehnya dari kajian terhadap suku Aborigin itu, lalu menerapkannya pada sekumpulan saudara kita di Palestina sana, yang ibu kotanya hendak direbut oleh negara penjajah mereka sejak abad lalu? Jika pembelaan kita terhadap Palestina dikurung oleh isu kemanusiaan belaka, sehingga latarnya adalah rasa kasihan tanpa komitmen apa-apa terhadap kesucian Yerusalem yang ditentukan oleh dalil yang haq, kita sesungguhnya -sadar atau tidak- telah mengamini waham Durkhemian di atas.
Mengapa demikian? Seperti sudah disinggung barusan, keterangan akan kesucian Yerusalem datang dari dalil yang haq, Al-Qur’an dan Sunnah, bukan dari hawa nafsu seorang bernama Muhammad di masa lalu yang menyucikan tanah tersebut supaya dimiliki oleh umatnya saja. Justru di saat Yerusalem dalam kepemilikan Islam saja, seperti kisah termasyhur tentang Umar bin Khattab dan Shalahuddin al-Ayyubi itu, umat beragama lain yang juga percaya kesucian kota itu bisa leluasa berziarah di sana.
Maka jika sekumpulan manusia terlaknat hendak merebut Yerusalem sebagai ibu kota negaranya, pembelaan kita harus diisi dengan ghirah. Diplomasi tanpa henti yang dilakukan pemerintah negara kita adalah satu usaha, di antara usaha lain yang telah, sedang, dan akan terus dilakukan, seperti doa dan sumbangan, yang bernilai jihad. Sekali lagi: jihad. Toh, pencaplokan Yerusalem oleh mereka juga bukan tanpa semangat kesucian, bahkan sebenarnya adalah manipulasi atas kesucian itu sendiri. Seorang profesor sejarah dari Universitas Tel Aviv, Shlomo Sand, dalam “The Invention of the Land of Israel: from Holy Land to Homeland” dengan jujur dan kritis mengakui bahwa, konsep tanah suci dalam benak Yahudi telah dimanipulasi sedemikian rupa, oleh ideologi sekular bernama Zionisme, menjadi konsep tentang tanah air bagi negara bangsa modern, dengan batas wilayah, pemerintahan berdaulat, dan warga negara yang tetap, bernama israHell.
Eh, salah ketik.