Suaramuslim.net – Pernahkah Anda merasa galau? Kita kehilangan arah kemana langkah diayunkan. Tiba-tiba segalanya menjadi kacau. Hampir semua orang pernah mengalaminya. Ibarat air laut, hidup ini kadang pasang naik, kadang pasang surut. Ibarat samudera luas, kadang gelombangnya bergulung-gulung, kadang ia berubah sangat tenang. Di saat itulah kita membutuhkan pertolongan Allah. Di sinilah sekelumit 5 sikap manusia terhadap pertolongan Allah.
Lalu, apa arti dan rahasia dari semua itu? Banyak sekali. Yang mendasar di antaranya bahwa di balik siklus itu ada hubungan istimewa antara kita dengan Allah Swt. Antara hamba dan Sang Pencipta. Yaitu bahwa kita sangat lemah dan Allah Mahaperkasa. Bahwa kita membutuhkan pertolongan Allah. Menyikapi ketergantungan kepada Allah ini, setidaknya manusia terbagi menjadi lima macam. Ada 5 sikap manusia terhadap pertolongan Allah.
1. Merasa tidak perlu sama sekali
Orang-orang tipe ini tidak merasa perlu kepada Allah sedikitpun. Kalaupun ada saat-saat keti ia melihat kekuasaan Allah terjadi, ia tetap mencari pembenaran lain. Orang dengan tipe seperti ini sebenarnya telah mati sebelum ia mati.
Sejak dulu hingga kini tipe manusia ini banyak bertebaran. Bedanya, bila dulu lebih banyak karena jahil atau sombong, kini banyak yang merasa cukup dengan iptek. Dalam kapasitas pribadi maupun bangsa juga banyak tipe orang-orang seperti ini.
Tenggelamnya Titanic salah satu di antaranya. Kapal ini rancangan Thomas Andrews yang merupakan arsitek yang perfeksionis. Ketika diwawancarai tentang keamanan Titanic, bukannya berdoa untuk keselamatan pelayaran pertama, Thomas dengan sombong berkata bahwa keamanan kapal yang dibuatnya sangat aman bahkan Tuhan sekalipun tidak mampu menenggelamkannya.
Allah pun mengabaikan mereka. “…Lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. At Taghabun 6).
2. Merasa perlu hanya pada saat-saat sulit
Tipe kedua ini adalah orang-orang yang hanya merasa perlu kepada Allah ketika ditimpa kesulitan. Tapi pada saat lapang ia akan kembali lupa dan lalai. Tipe kedua ini banyak kita temukan. Mungkin kadang diri kita sendiri juga.
Ada yang hanya perlu kepada Allah pada saat ekeonomi sulit, baru mengadu kepada Sang Khaliq. Tapi ketika kehidupan telah makmur, ia lupa kepada Allah. “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu dari pada kamu, tiba-tiba sebahagian dari kamu mempersekutukan Tuhannya dengan (yang lain)” (QS An Nahl 53-54).
Firaun contoh paling jelas. Semula ia mengingkari Allah bahkan menganggap dirinya tuhan. Toh akhirnya ia menjadi pengecut pada detik-detik akhir kehidupannya. Di tengah hempasan gelombang laut, ia merengek seraya mengaku beriman. Tapi itu sia-sia. Sudah terlambat.
3. Merasa perlu tapi bersikap jual mahal
Tipe ini gamblang dicontohkan oleh orang-orang Bani Israil. Al Quran berkali-kali menggambarkan karakter Bani Israil yang kadang merasa perlu kepada Allah, tapi pada saat yang sama mereka enggan menampakkan keperluannya.
Dalam sebuah dialog akidah yang menjengkelkan, mereka selalu menyebut Allah sebagai Tuhannya Musa. Ketika diperintah menyembelih sapi, mereka bertanya macam-macam. “…Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu?” (QS Al Baqarah 68). Begitu seterusnya pada ayat-ayat berikutnya.
4. Merasa perlu tapi merasa tidak mampu
Ini dipraktikkan orang-orang jahiliyah. Itu pula yang menjerumuskan mereka kepada kemusyrikan. Mereka meyakini adanya Allah, tapi tak pernah mampu mencapai pengetahuan yang benar tentang Allah. Lalu muncullah ilustrasi fisik tentang tuhan berupa patung, gambar, atau segala kepercayaan musyrik lainnya.
“…Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya…’” (QS Az Zumar 3). Inilah logika berpikir kaum tipe ini. Ini tindakan salah, bahkan diharamkan.
Dalam perkembangan kehidupan modern, tipe keempat ini juga banyak menimpa masyarakat. Ada yang menggunakan perantaraan ramalan-ramalan, orang ‘pintar’, gunung, batu bertuah, tulisan di kertas, suara burung, penggunaan tanggal lahir, dsb. Mereka takluk dengan kepercayaan itu dan tak berdaya melawan. Hatinya resah dan merasa berdosa. Ada yang cuek. Tapi ada juga yang memendam kekecewaan. Dan hatinya tidak pernah tenang.
5. Merasa perlu dengan memadukan antara harapan dan kekhawatiran
Mereka ini tipe manusia yang sepenuh hati merasa perlu dan selalu bergantung kepada Allah. Sikap mereka seperti kata Sufyan bin Uyainah (107-198 H), ulama asal Kufah (kini Irak), “Segala sesuatu bila kamu takuti, maka kamu akan menjauhinya. Kecuali takut kepada Allah. Takut kepada Allah justru engkau harus mendekatinya” (majalah Tarbawi, edisi 10, Thn. II, Juli 2000).
Mereka memadukan antara sikap pengharapan dan kekhawatiran. Artinya sebagai seorang mukmin bisa menyeimbangkan sikap terhadap Allah, antara mengharap rahmat-Nya dan takut akan siksa-Nya. “…Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami” (QS Al Anbiya 90).