Refleksi Pemikiran Kebangsaan Gus Sholah di Hari Santri

Refleksi Pemikiran Kebangsaan Gus Sholah di Hari Santri

Program Ranah Publik membahas refleksi kebangsaan Gus Sholah bersama Dr Agus Moefad dan Prof Fasich (Dok Suara Muslim)

SURABAYA (suaramuslim.net) – 22 Oktober kemarin, merupakan hari yang diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Terkait santri, selalu dihubungkan dengan pesantren dan NU. Sementara NU tidak lepas dari nama K.H. Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim sekaligus pendiri pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur, yang saat ini dipimpin oleh cucu Kyai Hasyim, yaitu K.H. Sholahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah.

Gus Sholah saat ini dianggap sebagai tokoh nasional bahkan internasional, yang juga aktif menulis tentang persoalan bangsa. Kumpulan dari essai-essai keindonesiaan dan keislaman karya Gus Sholah ini diterbitkan menjadi sebuah buku yang dibedah dalam program Ranah Publik (20/10) Suara Muslim Radio Network. Hadir sebagai narasumber Prof. Dr. Fasichul Lisan (Rektor Unair 2006-2015) dan Dr. Agus Moefad Sekjen Ikatan Alumni Pesantren Tebu Ireng.

Fasichul Lisan memuji dan mengapresiasi kepiawaian dan pemikiran Gus Sholah. Dengan caranya sendiri, Gus Sholah mencoba membedakan pengajaran dan pendidikan. Ia juga mengangkat pendidikan dalam bukunya dan menginspirasi orang untuk menyelesaikan masalah berat yang dihadapi umat Islam di Indonesia. Fasich menyatakan, bahwa kehidupan dan kebangsaaan di Indonesia, akan selalu berubah, sehingga perlu adanya redefinisi ataupun perubahan pemikiran terkait dengan relasi antara Islam dan kebangsaan, agar umat muslim Indonesia bisa bergerak maju. Hal ini dikarenakan banyaknya perbedaan dan keberagaman, sehingga pasti muncul adanya pergumulan, namun umat muslim harus pintar menyikapinya. Umat Islam di Indonesia memiliki nilai konvergen, dan perlu adanya pendekatan intelektual. Inilah yang berusaha dilakukan oleh Gus Sholah dalam tulisan-tulisan dan tindakannya.

Sementara itu, Agus Moefad menyebutkan, adanya kesamaan pikiran antara Gus Sholah dengan kakaknya, almarhum Gus Dur terkait kemajemukan dan pluralitas. Untuk memahami Indonesia, kakak beradik ini tampak punya kemiripan dan kesamaan, sehingga bisa memberikan solusi terkait perbedaan kebhinnekan bangsa dengan harmonis dan tenang.
Adanya komunikasi harmonis dalam pemikiran yang berbeda, seperti membangun konstruksi opini, Gus Sholah berusaha mencari jalan tengah melalui perluasan dua jalur pemikiran, yakni pemikiran keagamaan dan kebangsaan, dan menyajikannya dalam konteks sejarah, sehingga menutup adanya resiko jika hanya mengutamakan satu jalur pemikiran saja.

Menurut Agus, terobosan pemikiran dalam pendidikan yang dilakukan Gus Sholah, dirasakannya berdampak besar. Pemikiran Gus Sholah terkait pesantren, harus bisa melahirkan birokrat, bukan semata hanya menjadi ulama atau kiai, sangat dikagumi Agus Moefad. Selain itu, dari segi politik, pemikiran Gus Sholah, dilihatnya sangat santun dan pendekatan yang harmonis.

Sejalan dengan pendapat Agus, Prof. Fasich yang juga pernah duduk di PP Muhammadiyah menyebut politik Gus Sholah adalah dengan mencintai sesama. Politik tidak saling memukul, namun harus saling merangkul, dan politik harus bisa mensejahterakan. Gus Sholah menginginkan pemimpin lahir dari pesantren, yang paham dengan pemahaman intelektual dan keummatan. Pemahaman intelektual dan keumatan itu kemudian melahirkan keshalehan sosial, yang awalnya merupakan wujud keresahan Gus Sholah akibat adanya ketidakseimbangan, dan merumuskan resep cinta sesama, dan diwujudkan dengan perjuangan di bidang politik. Pendekatan sejarah bagi umat muslim juga menjadi penting agar tidak terjadi penyimpangan dan kemelut nasional.

Penulis : Vicio Rizky

Editor : Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment