2. Menghidupkan malam dengan salat (qiyam Ramadan)
Ramadan disamping disebut dengan syahrusshiyam juga disebut dengan syahrulqiyam, hal tersebut disebabkan karena adanya perintah Rasulullah saw untuk menghidupkan malam Ramadan dengan salat malam yang kemudian disebut dengan istilah salat tarawih. Rasulullah saw bersabda, artinya:
“Barang siapa yang menghidupkan malam (salat malam) di bulan Ramadan karena iman dan karena Allah (ikhlas), maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (Al-Bukhari dan Muslim).
Apa hukum salat tarawih, dan apakah harus dilakukan secara berjamaah di masjid?
Merupakan anjuran Nabi saw menghidupkan malam Ramadan dengan memperbanyak salat. Sebagaimana hal itu juga dapat terpenuhi dengan mendirikan tarawih di sepanjang malamnya. Fakta adanya pemberlakuan salat tarawih secara turun temurun sejak Nabi saw hingga sekarang merupakan dalil yang tidak dapat dibantah akan masyru’iyahnya. Oleh karenanya para ulama menyatakan konsensus dalam hal tersebut.
Rasulullah saw bersabda (yang artinya): Dari Abu Hurairah menceritakan, bahwa Nabi saw sangat menganjurkan qiyam Ramadan dengan tidak mewajibkannya.
Kemudian Nabi saw bersabda (yang artinya): ”Siapa saja yang mendirikan salat di malam Ramadan penuh dengan keimanan dan harapan maka ia diampuni dosa-dosa yang telah lampau.“ (Muttafaq ‘alaihi, lafazh imam Muslim dalam shahihnya: 6/40).
Pada awalnya salat tarawih dilaksanakan Nabi dengan sebagian sahabat secara berjamaah di masjid Nabawi, namun setelah berjalan tiga malam, Nabi membiarkan para sahabat melakukan tarawih secara sendiri-sendiri, sebagaimana diceritakan oleh Aisyah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim yang artinya:
“Suatu saat di tengah malam Rasulullah keluar untuk salat di masjid, maka beberapa sahabat pun bermakmum kepada Rasulullah. Berita tersebut kemudian menjadi pembicaraan di antara para sahabat di pagi hari, maka pada malam kedua jumlah sahabat yang bermakmum kepada Rasulullah bertambah lebih banyak dari sebelumnya. Berita tersebut kemudian menjadi pembicaraan di antara sahabat, maka pada malam yang ketiga jumlah yang bermakmum pun bertambah banyak.”
“Ketika jumlah jamaah pada malam keempat bertambah sehingga masjid tidak dapat menampungnya, Rasulullah pun tidak keluar untuk mengimami salat di malam tersebut hingga keluar untuk salat Subuh. Kemudian setelah selesai salat Subuh, Rasulullah menghadap kepada para shahabat dan bersabda:
“Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk salat bersama kalian, akan tetapi aku khawatir dianggap sebagai kewajiban, dan kalian tidak sanggup melaksanakannya.”
Hingga di kemudian hari, ketika Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena salat tarawih yang terpencar-pencar dalam masjid Nabawi, terbesit dalam diri Umar untuk menyatukannya sehingga terbentuklan salat tarawih berjamaah yang dipimpin Ubay bin Ka’ab. Sebagaimana terekam dalam hadits muttafaq alaihi riwayat Aisyah ( al-Lu’lu’ wal Marjan: 436).
Dari sini mayoritas ulama menetapkan sunnahnya pemberlakuan salat tarawih secara berjamaah. (lihat Syarh Muslim oleh Nawawi: 6/39).
Berapa jumlah rakaat salat tarawih?
Mengenai salat tarawih yang dilaksanakan Rasulullah saw, Aisyah ra berkata: “Rasulullah saw tidak pernah salat di malam Ramadan atau di selainnya lebih dari sebelas rakaat, tetapi beliau salat dengan panjang dan bagus.” (Al-Bukhari dan Muslim).
Adapun pada masa sahabat, setelah Rasulullah wafat dan tidak ada lagi kekhawatiran akan anggapan wajibnya salat tarawih, Umar bin Khatthab menghimpun umat Islam untuk salat -malam Ramadan- dengan berjamaah menunjuk Ubay bin Ka’ab dan Tamim bin Aus Ad Dari untuk menjadi imam. Dan ternyata Ubay dan Tamim mengimami salat dengan jumlah 21 dan 23 rakaat. Riwayat 21 rakaat terdapat di Mushanaf Abdurrozaq, dan riwayat 23 rakaat terdapat di Sunan Al-Baihaqi, keduanya dengan sanad yang shahih.
Lalu bagaimana kita menyikapinya?
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Sesungguhnya perbedaan jumlah rakaat tersebut adalah perbedaan variatif sesuai dengan kondisi dan kebutuhan, di satu waktu mereka salat 11 rakaat, di waktu lain mereka salat 21 rakaat dan dalam kesempatan lain mereka salat 23 rakaat, sesuai dengan semangat dan kemampuan mereka. Jika mereka salat 11 rakaat, mereka salat dengan sangat panjang sehingga mereka bertumpu pada tongkat, dan apabila mereka salat 23, maka mereka salat dengan bacaan yang pendek sehingga tidak memberatkan jamaah.“
Mayoritas ulama –termasuk empat Imam mazhab- berpendapat bahwa salat malam/tarawih, termasuk salat sunnah yang tidak ada batas maksimal jumlah rakaatnya, meskipun sebagian mengatakan bahwa ada jumlah tertentu yang lebih utama dari jumlah yang lain.
Sesungguhnya persatuan, kebersamaan, kelembutan hati, kesucian hati adalah tujuan dari disyariatkannya ibadah, termasuk salat, yang telah disepakati para ulama, sementara jumlah rakaat tarawih adalah hal yang diperselisihkan. Untuk itu mestinya kita harus lebih mengedepankan kebersamaan dan persatuan -yang merupakan tujuan dari salat- daripada sibuk untuk saling berbantah tentang jumlah rakaat tarawih yang masih diperselisihkan, yang karenanya justru berpotensi munculnya perpecahan dan saling membenci.
Kenyataan adanya perbedaan antar ulama dalam jumlah rakaat tarwih tersebut, mestinya justru harus kita terima sebagai suatu bentuk “keleluasaan” bagi umat Islam, untuk dapat memilih mana yang lebih kondusif baginya sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, dan hal itulah barangkali termasuk yang dikehendaki oleh cucu Abu Bakar Imam Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar ketika berkata:
“Sesungguhnya perbedaan pendapat para sahabat Rasulullah saw (dalam cabang ibadah) itu adalah rahmat.”
Dan untuk itu, semestinya kita tidak terpancing dengan mudah menyalahkan saudara kita yang kebetulan berbeda dalam jumlah rakaat dalam salat tarawih. Justru yang semestinya harus kita perhatikan adalah bagaimana kita harus berupaya untuk membantu saudara-saudara muslim yang belum mau salat agar mau salat bersama kita.