Suaramuslim.net – Mestinya tidak perlu ada perdebatan yang berkepanjangan dalam melihat Isra Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, kalau kita melihat pada petunjuk di huruf ‘ba’ pada ayat berikut.
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Al Isra:1).
Huruf ‘ba’ pada kalimat ‘bi ‘abdihi’, masuk kategori huruf ilshoq (menempel) yang memberikan makna kebersamaan. Misalnya, ketika kita berucap basmallah di saat melakukan aktifitas apapun, maka seolah kita membersamai aktivitas kita dengan ‘ismillah’ nama Allah. Sehingga aktivitas kita jadi berkah.
Demikian pula ketika melihat Isra Mi’raj di ayat tersebut (Al Isra ayat 1), bahwa perjalanan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang dengan jarak dan kecepatan yang unlimited, namun ada percepatan yang unlimited juga sudah pasti hal itu terjadi karena bersama kekuasaan Allah. Hal itu bisa dilihat dari huruf ‘bi’ pada bi’abdihi. Sehingga kita harus memahami perjalanan tersebut terjadi bersama dimensi Allah, bukan bersama dimensi manusia.
Maka, jika dalam hidup ini selalu mengedepankan dimensi Allah sudah pasti akan ada percepatan pula sehingga semua urusan jadi mudah. Bukan mengharamkan penggunaan dimensi manusia, penting juga hal itu, tapi dasari dimensi manusia itu dengan dimensi Allah yaitu tawakkal kepada-Nya.
Bukankah Allah telah menjaminnya dalam firman-Nya di surat At Thalaq ayat 3;
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Demikian juga dengan anak-anak kita yang akan menghadapi ujian sekolahnya. Tidak usahlah panik, tertekan, khawatir yang berlebih. Karena takut yang berlebihan sebagai bukti terlalu bersandar dengan dimensi dunia, justru ini masalahnya.
Ayo para orang tua, semangati anak-anak kita dengan dimensi Allah. Warnai jiwa kita dan anak-anak kita dengan huruf ‘bi’ yaitu tawakkal kepada-Nya. Disamping sudah tentu dimensi manusia tetap harus dilakukan.
Jadi, dalam rangka menghadapi Ujian Nasional atau UNAS bagi anak kita, ada dua dimensi persiapan,
Persiapan Dimensi Zahir atau Lahir
Sudah belajar di sekolah bertahun-tahun, ditambah bimbel, ditambah try out, dan try on line dan sebagainya. Itu semua adalah usaha lahiriyah, benar-benar sudah optimal dan lebih dari cukup. Mestinya jika sudah optimal seperti itu tidak perlu galau dan panik.
Mestinya tenang dalam menghadapi UNAS, tidak perlu panik dan tertekan. Karena itu pekan-pekan jelang UNAS, harusnya usaha yang lebih fokus untuk dilakukan adalah yang kedua yaitu ikhtiar dimensi batiniyah.
Persiapan Dimensi Batiniyah, Huruf ‘bi’
- Ajak diri kita dan anak-anak untuk banyak istighfar.
– Setiap selesai sholat banyak istighfar
– Kalau perlu lakukan sholat taubat
Hal ini berdasarkan hadits Abu Bakr Ash Shiddiq, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ. ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ
“Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua raka’at kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.” Kemudian beliau shallallahu alaihi wa sallam membaca ayat ini: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (HR. Tirmidzi No. 406, Abu Daud No. 1521, Ibnu Majah No. 1395.)
Diceritakan oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, bahwasanya pernah Ibnu Taimiyah mengalami kesulitan dalam sebuah masalah, atau sulit memahami satu ayat. Beliau lalu datang ke sebuah tempat yang sepi di masjid, lalu mencecahkan keningnya di atas tanah (sujud) seraya berdoa kepada Allah berulang-ulang: “Wahai (Allah) yang Mengajari Ibrahim, pahamkanlah diriku.”
Ibnu Taimiyah juga pernah menceritakan: “Sungguh, pernah ada sebuah masalah atau keadaan yang mengganggu pikiran saya. Lalu saya istighfar (memohon ampun) kepada Allah lebih kurang seribu kali, hingga dada saya terasa lapang dan lenyaplah problem yang saya hadapi.” Hal ini beliau lakukan di pasar, masjid, ataupun madrasah.
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قَال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا ، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا ، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ )
“Barang siapa yang membiasakan istighfar maka Allah akan menjadikan bagi nya setiap kesulitannya ada jalan keluar, setiap kegalauannya ada penyelesaian, dan memberikan rezeki padanya dari sisi yang tidak terduga”. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Thabrani dan Al Baihaqi)
Nah, anak-anak kita (demikian juga kita) kan di sekolah maupun di luar sekolah, mata mereka suka jelalatan, mulut suka mengejek dan saling mencemooh teman-temannya. Ini dosa lho… Ajarkan istighfar kepada mereka sebagai jalan keluar dari perilaku itu.
- Ajak mereka minta ridho kita sebagai ibu dan bapaknya dan juga guru-guru mereka.
Dari Abdullah bin ’Amru radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (HR. at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thabrani dan al-Bazzar).
Termasuk orang tua adalah para guru.
ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama”. (HR. Ahmad).
Ridho kita, penghormatan kepada guru-guru mereka, itu adalah jalan kemudahan menuju tercapainya cita-cita yang agung.
- Berikutnya yang super penting adalah ajak diri kita dan anak-anak untuk terbiasa dengan doa.
Agar doa dikabulkan,
– Mengikuti aturan Allah dengan lempeng ibadah dan menjauhi maksiat
– Yakin dengan kekuatan Allah
Wallahu A’lam
*Disampaikan di Radio Suara Muslim Surabaya