Suaramuslim.net – Es-nya orang Belanda dan Eropa adalah es krim, sedangkan pribumi kelas atas adalah es poeter. Lalu, es seperti apa yang diperuntukkan pribumi kebanyakan (rakyat biasa) ? Es Gronjong lah favoritnya.
Es gronjong dari segi rasa, tidak kalah dengan es poeter dan yang lebih hebat lagi harganya sangat bersahabat (murah tapi bukan murahan). Perlu diketahui es poeter dan es gronjong merupakan sedikit dari minuman khas Soerabaia tempo doeloe yang sekarang jarang kita temui lagi. Termasuk makanan dan alat transportasi tempo dulu sudah jarang bisa kita lihat dan rasakan. Keberadaan makanan dan minuman yang berbau tradisional tergerus oleh makanan dan minuman cepat saji. Kalau toh ada, biasanya muncul pada momen-momen tertentu. Misalnya Hari Ulang Tahun kota Surabaya, pasar rakyat, atau festival makanan dan minuman tradisional dan lainnya. Kita dibuat penasaran, kenapa dinamakan es gronjong? Mau tahu saja, atau mau tahu banget? Inilah jawabannya.
Dahulu, tepatnya tahun 1960-an, tidak banyak pilihan minuman yang tersedia. Es belum beraneka ragam seperti sekarang. Ada es campur, es cendol, es oyen, es cincau dll. Yang ada hanya es gronjong. Rasanya manis, tidak ada flavor atau rasa macam-macam seperti rasa es sekarang ini. Dinamakan es gronjong, karena es batu yang dipecah kecil-kecil lalu dicampur dengan sirup warna merah dan air santan sehingga menjadi pink. Kemudian bahan-bahan tersebut dimasukkan dalam tong besar, berdiameter 40 cm (bisa kurang, bisa pula lebih).
Ketika ada pembeli, maka penjual akan mengaduk-aduk es dalam tong tersebut terlebih dahulu, agar antara es, santan dan air lebih campur. Dari adukan penjual tadi, menimbulkan irama yang indah, akibat benturan antara es dengan es dan es dengan dinding tong. Suara tersebut terdengar dengan nyaring yaitu “GRONJONG … GRONJONG … GRONJONG“. Suara itu akan terdengar lagi ketika ada pembeli dan begitu seterusnya. Maka seketika itu orang-orang menyebutnya dengan es gronjong.
Agar lebih nikmat dan terasa sekali enaknya es gronjong, maka ada sahabat karibnya yaitu roti goreng yang pembuatannya masih tradisional dan warna roti gorengnya sedikit gosong (pahit-pahit tapi nikmat). Caranya roti goreng dicelupkan dalam gelas es, agak ditahan sebentar, lalu diangkat dan siap dimakan. Enak sekali dan membuat orang ketagihan.
Cara berjualannya sama, yaitu menggunakan rombong yang dipikul, seperti penjual es poeter, tetapi ada juga yang menggunakan rombong dengan cara disurung (didorong) keluar masuk perkampungan untuk menjajakan dagangannya, tetapi kadangkala mangkal di alun-alun, terminal, stasiun, pasar dan sekolahan. Konsumen es gronjong kebanyakan adalah para abang becak, kusir dokar (delman) dan kami anak sekolah yang memang uang sekolahnya terbatas.
Terakhir, apa yang berbau tradisional sekarang ini sulit dan bahkan tidak dapat kita jumpai, rasakan lagi keberadaannya. Oleh karena itu sebagai pemerhati masalah-masalah sosial, ingin urun rembuk. Diantaranya adalah:
Warga kota Surabaya terlebih pemerintah kota harus merawat, melestarikan hal-hal yang bersifat tradisional sebagai warisan budaya.
Hendaknya secara periodik, diadakan kegiatan atau apapun namanya. Yang tujuannya untuk mengenalkan kembali kepada generasi jaman milenial akan warisan leluhur yang nilainya tidak kalah dengan hal-hal yang modernis.
Perlu dibuatkan sentra-sentra khusus di beberapa titik di kota Surabaya yang khusus menyediakan menu makanan atau minuman tradisional dan prosedur untuk menempatinya harus dipermudah.
Diadakan pelatihan, cara pembuatan makanan atau minuman tradisional. Sekaligus sebagai sarana untuk membuka lapangan pekerjaan bagi warga kota Surabaya.
Demikian sekelumit tentang es poeter dan es gronjong. Penulis yakin masih banyak versi lain. Semoga kita menjadi warga kota yang tidak hanya pandai menagih apa hak kita, tapi juga berkewajiban untuk merawat dan melestarikan peninggalan para leluhur kita. Semoga Surabaya ke depan semakin maju dan berkeadilan sehingga tercipta masyarakat yang nyaman.
Oleh: Washil Bahalwan*
Editor: Oki Aryono
*Penulis adalah pemerhati sosial