Suaramuslim.net – Keniscayaan akan berkembangnya industri kreatif mulai dirasakan oleh masyarakat. Karena era digitalisasi mulai merambah hingga ke daerah pedesaan. Ini menjadi peluang menarik bagi masyarakat yang ingin berbisnis.
Hal ini menimbulkan dampak positif bagi masyarakat yang ingin melakukan sesuatu lebih, terutama dalam masalah bisnis. Karena, dengan kehidupan yang serba digitalisasi, gaya hidup masyarakat (lifestyle) lebih cenderung ke arah yang simple, praktis, serba ada dan serba guna, dan mampu menyelesaikan permasalahan (solve the problem).
Dampak dari digitalisasi ekonomi ini, adalah industri-industri yang ada kali ini mulai mengalami penurunan secara drastis. Tergantikan oleh industri-industri berbasis digital yang sekarang marak dilakukan oleh masyarakat. Apalagi, masyarakat Indonesia kini telah tumbuh menjadi masyarakat kelas menengah, dalam artian tingkat pendapatan (income) mereka kurang lebih sekitar US$ 19.794.
Menyikapi era digitalisasi ekonomi kini salah satu yang dilakukan oleh masyarakat sekarang ialah mereka menerapkan sistem industri kreatif. Sebagai contoh yang marak di Indonesia ialah Grab, Go-Jek, Go-Car, Go-Pay, Lazada, Shopee dan lain sebagainya.
Fadjar Hutomo, Deputi II bidang akses permodalan BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) Republik Indonesia yang menjadi pembicara dalam Business to Business yang digelar Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Sabtu (16/12) di Hotel Orchid Baru Malang itu mengatakan bahwa di masa kini masyarakat prospektif bisnis seperti ini berkembang karena masyarakat mulai sadar akan bisnis yang mampu menjawab semua permasalahan mereka. “Di mana ada masalah, disitu ada bisnis,” ujarnya.
Ia mencontohkan salah satunya yaitu Go-Jek. Bisnis kreatif seperti Go-Jek berkembang di tempat dan di era masyarakat mulai membutuhkan sesuatu “problem solving” yang serius. Di Jakarta terjadi kemacetan di mana-mana, masyarakat pasti membutuhkan sesuatu yang lebih simple dan praktis.
Yang kedua yang disinggung oleh Fadjar mengenai masalah Go-Jek di atas ialah “intangible asset”. Ia mengapresiasi betapa hebatnya Go-Jek yang hadir tanpa aset yang memadai tetapi mampu menghasilkan “income” yang luar biasa. Suatu yang tidak terpikirkan, bagaimana seorang tukang ojek mampu membeli “smartphone”? Fadjar kemudian menunjukkan ilustrasi bagaimana persebaran driver Go-Jek di Jakarta.
Kolaborasi Industri Kreatif dan Produk Dalam Negeri
Yang kedua, yang disinggung oleh fadjar mengenai industri ini ialah masalah industri film. Karena industri film itu mempengaruhi “lifestyle” (gaya hidup) masyarakat. Ia mencontohkan Korea. Dulu, lanjut dia, masyarakat kita jepang oriented. Maksudnya, semua barang elektronik yang berkualitas harus buatan Jepang, belum terpikir menggunakan produk-produk seperti dari Korea semacam LG, Samsung dan lain-lainnya. Karena kurang laku, industry kreatif di Korea mulai berpikir, bagaimana industri kreatifnya bisa mendukung produk-produk dalam negerinya.
“Kemudian Korea mulai mengimpor film-film mereka secara gratis yang di dalamnya diselipkan produk-produk dari Korea, keren bukan?” Kemudian dari film-film Korea itu kemudian masyarakat mulai terpikir untuk mengikuti lifestyle para artis-artis Korea. Mulai dari cara ia berpakaian, cara ia makan dan lain sebagainya. Masyarakat kita belum pernah terpkir untuk makan “bulgogi” atau yang semacamnya itu. Dari situlah kemudian mereka mulai melihat produk-produk yang dipakai oleh artis yang mereka senangi ujarnya.
Lebih lanjut lagi, industri film ini mampu mendongkrak sektor pariwisata. Ia mencontohkan bagaimana Bangka Belitung yang tadinya tandus, gersang, miskin dan lain sebagainya, orang mulai berdatangan ke Bangka Belitung dengan adanya film “Laskar pelangi” hanya untuk berfoto selfie di bebatuan pantai. “Film 5 CM, orang tidak akan pernah terpikir untuk naik ke semeru kalau tidak lihat film itu,” ujarnya.
Kontributor: Abby Fadhilah Yahya
Editor: Muhammad Nashir