Suaramuslim.net – Siapa yang tidak kenal dengan Ibnu Katsir. Meskipun karyanya tidak hanya di bidang tafsir Al Quran, ulama yang satu ini sangat akrab di telinga umat Islam sebagai muffasir. Siapa dan bagaimana beliau?
Bagi seorang muslim, mengenal para ulama adalah keniscayaan. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam Al Quran surat Fathir ayat 28, “Sesungguhnya orang yang lebih takut kepada Allah dari hambanya ialah ulama.” Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para Nabi.”
Seperti yang sudah diketahui, Ibnu Katsir adalah ulama yang terkenal malang melintang dalam jagad dunia keilmuan Muslim. Karya-karya yang dimiliki olehnya sangat relevan untuk dikaji bagi orang-orang yang “haus” akan ilmu, baik itu ilmu Al Quran dan tafsirnya, ilmu hadits, maupun sejarah.
Ibnu katsir memiliki nama lengkap Abu Fida Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi. Beliau lahir di kota Basrah dekat Damaskus pada tahun 700 Hijriyah atau 1301 M. Abu Fida Ibnu Katsir Ad Dimasyqi merupakan anak dari Shihabuddin Abu Hafsh Amar Ibnu Katsir Ibnu Zara Al Quraisyi. Ayah Ibnu Katsir merupakan seorang ulama ahlussunnah terkenal di masanya. Tetapi, ayah Ibnu Katsir wafat semasa Ibnu Katsir masih kecil sehingga ia diasuh oleh kakaknya.
Damaskus kala itu berada di bawah kendali dinasti Abbasiyah dan dinasti mamluk. Para khalifah dari dinasti-dinasti tersebut menaruh perhatian lebih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah biasanya memfasilitasi orang-orang pencari ilmu dengan Kita bisa mengenal “bayt al-hikmah” yang memiliki ribuan karya-karya ilmu pengetahuan yang sangat lengkap. Bahkan, zaman itu telah berdiri universitas Nizamiyyah yang merupakan salah satu universitas tertua di dunia setelah universitas Al-Qarawiyyin yang berada di Maroko.
Ibnu Katsir menimba ilmu beliau dari beberapa ulama terkenal di masanya. Ia menimba ilmu dari Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari kemudian dari Syaikh Isa bin Muth’im, Syaikh Ibn Asakir seorang faqih ahlussunnah, Syaikh Ibnu Syairazi, Syaikh Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, syaikh Abdullah Shamsuddin adz-Dzahabi, seorang ulama Al Quran dan hadits serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang sangat gigih dalam membela sunnah dan tauhid. Kemudian Ibnu Katsir juga belajar ke Jamaluddin Al-Mizzi, seorang ulama hadits terkemuka di Suriah pada masanya. Kelak, karena kasih sayang Jamaluddin Al-Mizzi kepada Ibnu Katsir, sehingga ia menikahkan salah satu putrinya kepada Ibnu Katsir.
Setelah ia menimba ilmu dari beberapa orang ulama tersebut, ia mulai “menularkan” semangat keilmuannya dengan mengajar di masjid Umayyah di Damaskus dan berkarya. Ibnu Katsir banyak memiliki murid. Murid-murid beliau pun kemudian melanjutkan perjuangan beliau dalam menyebarluaskan ilmu-ilmu keislaman guna tegaknya aturan syariat dan akidah Islam.
Komentar Para Ulama tentang Ibnu Katsir
Karena itulah para ulama memiliki persaksian tersendiri mengenai Ibnu Katsir dalam kiprah keilmuannya khususnya dalam bidang Al Quran, hadits, dan sejarah. Sebagaimana dikatakan Manna Qathhan, “Ibnu Katsir merupakan pakar fiqih yang dapat dipercaya, pakar hadits yang cerdas, sejarahwan ulung, dan pakar tafsir yang paripurna.”
Al-Imam adz-Dzahabi salah seorang gurunya mengatakan, “Beliau adalah seorang ahli fikih, seorang pemberi fatwa dan ahli hadits yang memiliki banyak keutamaan.” Kemudian Ibnu Hajar Asqalani, salah seorang Muhaddits mengatakan, “Beliau selalu menyibukkan diri dengan hadits, beliau adalah orang yang memiliki hafalan yang banyak, kecerdasan yang bagus, memiliki banyak karya tulis semasa hidupnya dan telah memberikan manfaat yang sangat banyak kepada orang-orang sepeninggal beliau.”
Komentar muridnya pun demikian. Salah satu murid Ibnu Katsir Shihabuddin bin Hajji berkata, “Beliau adalah seorang yang paling kuat hafalannya yang pernah aku temui tentang matan (isi) hadits, dan paling mengetahui cacat hadits serta keadaan para perawinya. Para sahabat dan gurunya pun mengakui hal itu. Ketika bergaul dengannya, aku selalu mendapat manfaat (kebaikan) darinya.”
Tetapi, dari sekian banyak gelar tersebut, para ulama terdahulu maupun kontemporer menggelarinya al-hafidzh. Ini dikarenakan karyanya yang shahih dan kualitas hadits Ibnu Katsir yang tidak pernah mengalami cacat.
Karya-karya Ibnu Katsir masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Dalam bidang Al Quran dan tafsir kita mengenal Tafsir Ibnu Katsir yang merupakan tafsir “bil ma’tsur” tersahih dan tafsir “bil-ayat” dengan mengkaitkan ayat-ayat yang berkaitan dan berkesinambungan.
Karya Ibnu katsir ini banyak menjadi rujukan ulama sepeninggal beliau semisal Tabari, Qurthubi. Bahkan almarhum buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dalam menulis tafsir Al-Azhar banyak mengambil rujukan dari tafsir Ibnu Katsir.
Kemudian dalam bidang hadits dapat kita temui Jami al-Masanid wa As-Sunan yang berisi nama-nama sahabat yang banyak meriwayatkan hadis dan kutubus-sittah. Kemudian karya Al-madkhal ila kitab wa sunnah.
Dalam bidang sejarah dapat kita temui Al-Bidayah wan An-Nihayah, karya historiografi terlengkap yang memuat sejarah pra-Islam, sejarah Islam mulai zaman Nabi Muhammad hingga zaman kekhalifahan berikut periwayat-periwayatnya. Dan Qisasul Anbiya yang memuat riwayat hidup Nabi-Nabi Allah.
Setelah menjalani kehidupan selama 72 tahun lamanya, Ibnu katsir kembali kepada sang pencipta. Ibnu katsir wafat pada bulan Sya’ban tahun 774 H atau tepatnya 1373 masehi karena sakit yang ia derita. Di akhir hayatnya ia menyusun kitab Al-Ijtihad fi Talab al-Jihad (Ijtihad Dalam Mencari Jihad) dan wafat dalam keadaan Husnul Khatimah.
Kontributor: Abby Fadhilah Yahya
Editor: Muhammad Nashir