Adab-Adab Berutang dalam Islam

Adab-Adab Berutang dalam Islam

Tumpukan uang koin. Foto: Pixabay.com

Suaramuslim.net – Membahas segala macam kehidupan manusia seperti tidak ada habisnya. Manusia dengan segala dinamikanya hidup bergantung satu sama lain. Tidak jarang ada orang-orang yang lebih mementingkan gengsi dibandingkan hidup sederhana. Sehingga beberapa di antara manusia rela mengikuti gengsi tanpa melihat standar kemampuan. 

Inilah yang menjadi pemicu ketidakseimbangan yang pada akhirnya pengeluaran ekonomi lebih besar daripada pemasukannya. Kita biasanya menyebut dengan lebih besar pasak daripada tiang.

Ya begitulah manusia. Mereka yang mengutamakan gengsi dan sekadar mengikuti keinginan, melakukan segala cara agar keinginannya tercapai. Berutang adalah jalan yang banyak dipilih orang-orang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.

Utang harus dipersaksikan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya.

Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.

Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.

(Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”  (Al-Baqarah: 282).

Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya menyatakan: “Ayat ini adalah ayat yang agung dalam muamalah yang menerangkan beberapa poin tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih).”

Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dari Allah untuk hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermuamalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah telah mengingatkan: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan.”

Firman Allah: “Maka tulislah …

Maksudnya adalah tanda pembayaran untuk mengingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan lupa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyariatkan untuk melakukan pembukuan utang dan mendatangkan saksi.”

“Maka tulislah…”

Secara zahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat perkara utang-piutang ini diangkat kepadanya.

Adab-adab berutang

1.Dilansir dari hidayatullah.com, orang yang ingin berutang hendaklah benar-benar karena terpaksa. Sebab menurut Rasulullah, utang merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari.

Bahkan beliau pernah menolak menyalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah bersabda, “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (Muslim).

2. Orang yang berutang hendaknya ada niat yang kuat untuk mengembalikan. Orang yang memiliki niat seperti ini akan ditolong oleh Allah.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya), maka Allah akan membinasakannya.” (Al-Bukhari).

3. Harus ditulis dan dipersaksikan. Dua pihak yang melakukan transaksi utang piutang hendaknya menulis dan dipersaksikan oleh orang lain.

Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 282. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini sebagai petunjuk dari Allah jika ada pihak yang bermuamalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlah, waktu dan lebih menguatkan saksi.

3. Pemberi utang tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang.

Hal ini karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya, bukan mencari kompensasi atau keuntungan. Bahkan dianjurkan memberi penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo.

Hal ini berdasar firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 280 serta sabda Rasulullah yang berbunyi,”Barangsiapa ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan utang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan utangnya.” (Ibnu Majah).

5. Orang yang berutang hendaknya segera melunasi utangnya jika sudah mempunyai uang dan memberikan hadiah kepada yang memberi pinjaman. Rasulullah bersabda, “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezaliman.” (Al-Bukhari).

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment