Agama Peneror?

Agama Peneror?

bom

Oleh: Yusuf Maulana (Penulis Buku Mufakat Firasat)

“Teroris tidak punya agama!”

Ungkapan di atas mudah ditemukan saban terjadi kejadian menghebohkan yang memakan korban jiwa, entah berupa pengeboman ataukah kekerasan lainnya. Meski niat di balik ungkapan itu “baik” dan bisa dipahami maksudnya, kalaulah disigi lebih jauh sebenarnya keliru. Tindakan meneror tak selalu lepas dari agama, atau tegasnya keimanan. Tak jarang suatu upaya meneror memang berangkat dari suatu keyakinan, sebuah sistem berpikir.

Lantas bagaimana bisa agama yang kononnya damai bisa melahirkan para pengganas? Pertanyaan ini bisa diajukan balik untuk menjawabnya. Bagaimana agama tersebut dalam ranah praktik: apakah semua pemeluknya pengganas, ataukah yang berbuat teror itu segelintir orang? Kalaulah pelaku atas nama agama itu tak banyak dan mendapat tentangan dai sekawan seperimanan, ditambah runtutan sejarah juga membenarkan demikian, berarti ada persoalan pada pemeluk yang mengganas itu. Letak persoalan menjadi tak adil bila ditudingkan pada dalil kitab suci atau yang dianggap sakral.

Di sinilah sistem berpikir atas ajaran atau nash agama mesti dibedakan dengan pesan agama. Pemahaman pengganas dengan perisai dalil harus diperiksa dengan nuansa dan khazanah yang ada pada sistem keimanan suatu agama. Dengan demikian, kita tak mudah gegabah menganggap kejadian teror sebagai perbuatan otomatis agama itu, walau sekuat apa pun klaim pelakunya yang “terinspirasi” ayat suci, misalnya.

Akan tetapi, kita pun tak perlu risih atau inferior untuk mengakui bahwa pengganas yang menghalalkan teror itu steril dari keanggotaan sebuah agama. Di sinilah kita mesti bijak menilai. Pemahaman pelaku teror dan nilai keagamaan tidak selalu menunjukkan kesejajaran atau kasualitas otomatis. Maksudnya, pesan dan, terutama, perintah di kitab suci tidak mesti jadi “sebab” dari tindakan; sebaliknya, tindakan meneror tidak serta-merta sebagai “akibat” dari adanya nash kitab suci.

Di sinilah “syubhat” bernama interpretasi beragama. Sikap yang sebenarnya silap membiaskan misi perdamaian agama terbuka lebar. Atau membelokkan nilai ketegasan beragam menjadi tindakan lebih keras yang justru mengarah pada upaya penindasan. Padahal, ada jarak antara pemahaman pengganas tersebut dengan pesan sebenarnya dari nash kitab suci.

Mereka yang mengganas sebenarnya berbeda jauh mengartikan pesan di balik dalil. Hanya karena kepercayaan diri tinggi ditambah militansi sedemikian menyala, mereka tampak kokoh melangkah sehingga mudah disikapi sebagai wajah agama tersebut. Yang menyedihkan, para pelaku itu seolah berada paling atas dalam maqam kebenaran setelah mendapati reaksi saudara seagamanya dalam menilai perbuatannya. Salah satunya menyebut mereka “biadab”, “tak beragama” gara-gara meneror.

Di benak mereka, ucapan atau tulisan saudara seagamanya itu aneh. Bukan menyokong tapi malah mengecam. Ini menguatkan militansi mereka yang kadung memegang doktrin: kebenaran dalam agama kami itu dipegang segelintir orang; bukan jamaah mayoritas! Pun sebenarnya mereka tak memerlukan dukungan dari saudaranya, lantaran mereka sejatinya sudah meletakkan sebagai kalangan “murtad” disebabkan menerima sistem setan atau anggapan semacamnya.

Pemahaman yang membelokkan dari misi kemanusiaan agama mestinya harus difokuskan untuk dihentikan. Ia bukan satu “agama”, melainkan ideologi. Ia memang mencoreng satu agama, namun imbasnya mengena semua kalangan lintas agama. Tidaklah adil kalangan lain di luar agama pengganas mencibir identitas umum bernama agama pelaku tadi.

Pemahaman yang ganas hadir dengan keyakinan tertentu dan dilandasi sebuah pemahaman tertentu. Ia tak mudah goyah karena menepati dengan harmoni hatinya untuk mencari kebenaran. Padahal, sudah tentu, jalan kebenaran itu bukan satu-satunya yang ditempuh saudara seagamanya. Hanya saja, mereka merasa paling sahih membuat putusan memilih titian ke puncak kebenaran. Repotnya, saat yang sama, menutup mata pada jejak langkah saudaranya di jalan lain.

Soal pemahaman radikal pengganas itulah pada akhirnya harus jadi fokus ketika ada ikhtiar meredam bahkan menindaknya. Akar sejarah hadirnya pengganas tak memadai didekati dengan soal ekonomi dan minimnya pendidikan. Mata rantai pemahaman militan yang terputus dari konsensus mayoritas sangat ahli ilmu di agama tersebut, hendaknya diakhiri dan disambungkan ke lajur sebenarnya.

Deradikalisasi dan upaya lainnya tak perlu dengan jalan sloganistis apatah lagi sarat stigma. Tak boleh lagi ada penistaan pada tahap awal kepada sistem pemahaman mereka. Ali Ibn Thalib ketika dimintai komentar soal Khawarij, dengan lugas menjawab, “Mereka saudara kita tapi salah melangkah.” Tak ada pengafiran balik walau Ali jadi musuh utama para pengganas utama dalam abad pertama Islam ini.

Demikian juga dengan Abdullah Ibn Abbas ketika berdebat dengan mereka. Bahkan pelajaran metode berpikir dilawan dengan metode berpikir, jadi pelajaran buat kita. Pemahaman pada kandungan dan maqashid syariah akan memunculkan mana yang berada di rel tauhid dan menghargai nyawa manusia sebenarnya.

Di sinilah kepintaran menghadapi perilaku teror mesti ditegaskan. Bukan soal menang atau kalah. Tak sampai diperparah dengan frasa “negara jangan sampai kalah oleh teroris” sebab sama artinya membuat pelaku teror di atas angin. Biasa saja menghadapi mereka; tanpa panik dan tanpa cerca. Menggandeng tangan sesama, atau sekarang dengan kampanye tagar di media sosial, silakan saja. Tapi perlu diingat, fokus pada melawan pemahaman ganas itu tak cukup dengan kampanye tidak takutlah, bersama melawanlah, atau semacam itu. Perlu otak cerdik tanpa merekayasa tentunya. Perlu otak dingin tanpa berpura-pura tegar.

Melawan teror, dengan demikian, mestinya fokus ke akar persoalan dengan publik pun diarahkan ke sana. Bukan memanaskan apalagi disangkutkan ke isu lain. Bagaimanapun juga situasi politik kadang membuat isu bersama seakan terbelah dalam dukungan di publik. Belum lagi bila di negara tersebut ada sejarah rekayasa intelijen terhadap para pengganas, maka terbuka lebar asumsi curiga. Ini wajar saja asal tidak gegabah bunyi. Karena itu, langkah terbuka dan adil aparat amat dinanti. Ternasuk tatkala meminta fatwa para alim hendaknya tidak malah memanaskan nyala kebencian dan nyali pengganas

 

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment