Ali Zainal Abidin; mutiara dari rumah cahaya

Ali Zainal Abidin; mutiara dari rumah cahaya

Begini Sejarah Pengumpulan Al Quran

Suaramuslim.net – Ali Zainal Abidin bisa disebut sebagai bintangnya ahlul bait (keluarga Nabi) pada masanya. Dia adalah keturunan Rasulullah dari pihak ayah dan keturunan Kisra Persia di sisi ibu yang waktu itu status awalnya adalah tawanan perang.

Di sinilah kita memahami bagaimana Islam memiliki nilai luhur dalam memperlakukan manusia. Ada 3 putri Kisra Persia jadi tawanan dan nasibnya dimusyawarahkan oleh Umar dan Ali selaku Amirul Mukminin dan penasihatnya.

Dengan sikap seperti ini, kelompok yang dikalahkan dalam perang memandang bahwa kaum muslimin yang menaklukkan mereka tidak merendahkan tokoh atau bangsawan mereka.

Begitulah perang dalam Islam, tidak merusak tatanan dan kota, tidak membawa dendam dan keangkuhan, apalagi merendahkan orang yang dikalahkan.

Hukum yang berlaku secara internasional saat itu, pihak yang kalah jadi tawanan perang. Islam juga mengikutinya tapi hanya sampai di situ, selesai. Sisanya Islam membawa rahmat kepada tawanan dan kota yang ditaklukkan.

Umar dan Ali berdiskusi, mereka pikir tidak layak putri-putri Kisra diperlakukan seperti tawanan, mereka ingin memberi kesempatan kepada orang-orang mulia untuk membeli putri-putri ini dan memerdekakannya. Ringkasnya 3 putri Kisra ini kemudian dinikahi oleh 3 orang terpandang dalam Islam.

Dinikahi Husain bin Ali bin Abi Thalib dan melahirkan Ali Zainal Abidin.

Dinikahi Muhammad bin Abu Bakar dan melahirkan Al-Qasim bin Muhammad.

Dinikahi Abdullah bin Umar dan melahirkan Salim bin Abdullah.

Ketiganya muncul menjadi bintang-bintang yang bersinar terang di Madinah, jadi top of the top generasi tabi’in Madinah. Itulah hasil dari bagaimana Islam menghargai dan menghormati manusia.

Potret Ali Zainal Abidin

Nama lengkap Ali Zainal Abidin adalah Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib. Disebut juga Ali Al Ashgar karena dia punya kakak yang bernama Ali juga dan disebut Ali Al Akbar.

Lahir di Madinah tahun 38 H dan wafat di Madinah tahun 94 H di usia 56 tahun.

Dia adalah satu-satunya anak lelaki Husain yang selamat dari peristiwa Karbala karena waktu itu sedang sakit dan masih kecil, sehingga tidak ikut rombongan. Maka, semua keturunan Husain (laki-laki) yang ada sampai saat ini berasal dari Ali Zainal Abidin.

Dia berguru kepada para sahabat besar; ummul mukminin, keluarga Umar, keluarga Utsman, keluarga Abu Bakar, dll. Uniknya lagi, dia menamai anaknya “Umar.”  Ini adalah isyarat bahwa tidak ada masalah apalagi permusuhan antara keluarga Ali dan keluarga Abu Bakar, Umar dan Utsman seperti yang selama ini dihembuskan pemecah Islam.

Kesaksian ulama terhadap Ali Zainal Abidin

Ibnu Syihab Az-Zuhri: “Aku tidak menjumpai orang Quraisy yang lebih utama daripada Ali bin al-Husain.” (Ibnu `Asakir, Tarikh Dimasyq).

Az-Zuhri: “Aku sangat sering bermajelis dengan Ali bin al-Husain. Aku tidak mendapati orang yang lebih menguasai ilmu daripadanya. Hanya saja ia sangat sedikit meriwayatkan hadis.” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam An-Nubala).

Zaid bin Aslam: “Aku tidak mendapati ahlul bait yang lebih baik dari Ali bin al-Husain.” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam An-Nubala).

Malik bin Anas: “Di antara ahlul bait tidak ada orang yang lebih baik daripada Ali bin al-Husain. Padahal ibunya adalah seorang budak.” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala).

Yahya bin Sa`id: “Ali Zainal Abidin pernah berkata, ‘Wahai penduduk Iraq, cintailah kami sebagaimana diajarkan Islam. Jangan mencintai kami seperti cinta kepada berhala. Cinta kalian kepada kami itu lama-lama membuat kami tercela.” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala).

Memuliakan ilmu

Ali sangat menghargai ilmu tanpa melihat apakah yang memberinya itu orang mulia atau pelayan. Ini adalah penawar fanatisme dalam menuntut ilmu. Mengejar manfaat dari ilmu guru bukan mengejar siapa gurunya. Begitu salah satu kecerdasan Ali dalam berguru.

Ali Zainal Abidin bergaul begitu dekat dan berguru kepada Aslam maula (bekas budak) Umar. Ketika seseorang menyoal kebiasaannya itu dan berkata, “Engkau menghindari tokoh-tokoh besar Quraisy dan menjalin kedekatan dengan budak Bani Adi?!”

Ali Zainal Abidin menjawab, “Seseorang harus duduk (bermajelis) di mana dia mendapatkan manfaat.” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala, dari Ibnu Sa`ad).

Keteladanan dalam khusyu’ dan takut

Abdullah bin Abu Sulaiman berkata: “Setiap kali Ali Zainal Abidin berwudhu, mukanya akan akan tampak memucat.” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala).

Abdullah bin Abu Sulaiman berkata, “Setiap kali Ali Zainal Abidin berdiri hendak mengerjakan shalat, tubuhnya gemetar. Saat ditanya tentang penyebabnya, Ali menjawab, ‘Sadarkah kalian, kepada siapakah aku akan menghadap dan siapakah yang akan aku sebut saat bermunajat?” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala).

Sufyan Ats-Tsauri menyebutkan: “Ali bin al-Husain berangkat haji. Saat hendak memulai ihram, wajah Ali memucat, tubuhnya gemetar hebat. Ali tidak sanggup mengucapkan kalimat talbiyah. Seseorang mempermasalahkan, ‘Mengapa engkau tidak bertalbiyah?’

Ali menjawab, ‘Aku takut, saat aku mengucapkan, ‘Labbaik (Aku memenuhi panggilan-Mu, ya Allah)’ Allah membalas, ‘Aku tidak sudi menerima kedatanganmu!’ Ketika Ali mencoba mengucapkan talbiyah, dia pingsan, tubuhnya pun terjatuh dari kendaraannya.” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala).

Abu Nuh al-Anshari berkata, “Kebakaran terjadi di sebuah rumah. Ali bin al-Husain berada di dalamnya, sedang shalat. Orang-orang berteriak memanggil, ‘Wahai cucu Rasulullah, kebakaran!’ Ali tetap melanjutkan shalatnya sampai api berhasil dipadamkan. Ketika ditanya, Ali menjawab, ‘Aku terlupakan dari api ini (kebakaran) oleh api lain (neraka).” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala).

Kedermawanan Ali

Ali hidupnya tidak miskin, karena sebagai satu-satunya anak lelaki Husain yang selamat, dia sangat disimpati orang banyak bahkan Khalifah Bani Umayyah ada yang dekat dengannya. Belum lagi pemberian dari para dermawan. Sehingga sulit bagi Ali untuk hidup tidak punya apa-apa.

Ali punya amalan sedekah yang tidak diketahui siapapun bahkan oleh keluarganya dan orang diberi sedekah. Dia sedekah malam hari dengan membawa barang sedekahnya sendiri. Dengan cara seperti itu, dia menyantuni 100 keluarga.

Muhammad bin Ishaq menyebut: “Sejumlah keluarga di Madinah menerima pemberian misterius. Mereka tidak pernah tahu si pemberi. Setelah Ali bin al-Husain meninggal, mereka tidak lagi menerima pemberian yang biasanya dihantarkan ke depan rumah mereka di malam hari.”

Syaibah bin Na`amah menyatakan ada 100 keluarga yang menerima pemberian Ali bin al-Husain dengan cara misterius itu. (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala).

Hajjaj bin Artha’ah menceritakan: “Abu Ja`far menuturkan bahwa ayahnya, Ali bin al-Husain, membagi dua hartanya di jalan Allah dua kali. Ali kemudian berkata, ‘Sesungguhnya Allah mencintai hamba pendosa namun banyak bertaubat.” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala).

“Aku malu kepada Allah, bila aku melihat seorang sahabatku, lalu aku berdoa, memohon kepada Allah agar memasukkannya ke dalam surga, namun aku enggan menolongnya dalam urusan dunia.” (Ali Zainal Abidin seperti ditulis Ibnu `Asakir dalam Tarikh Dimasyq).

`Amr bin Dinar menceritakan, “Ali bin al-Husain menjenguk Muhammad bin Usamah bin Zaid yang sedang terbaring sakit. Muhammad menangis. Ali bertanya, ‘Mengapa kau menangis?’ Muhammad menjawab, ‘Aku punya utang.’ ‘Berapa?’ lanjut Ali. ‘Belasan ribu dinar,’ jelas Muhammad. Ali kemudian berkata, ‘Aku yang akan melunasinya.” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala).

Sikap Ali terhadap Abu Bakar dan Umar

Abu Hazim al-Madani menyebut, “Aku tidak menjumpai keturunan Bani Hasyim yang lebih faqih daripada Ali bin al-Husain. Aku pernah mendengar ia ditanya, ‘Apa penilaianmu terhadap kedudukan Abu Bakar dan Umar di sisi Rasulullah?’ Ali menunjuk ke arah lokasi makam (Nabi dan kedua sahabatnya), lalu menjawab, ‘Seperti posisi mereka berdua saat ini di dekat Rasulullah saat ini.” (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala).

Ali bin al-Husain pernah mencela orang-orang Irak yang menjumpainya dan menghina Abu Bakar, Umar, dan Usman di depannya. (Adz-Dzahabi, Siyar A`lam an-Nubala).

Syair untuk Ali

Penyair besar Bani Umayyah, Farazdaq, menggubah puisi untuk Ali di Masjidil Haram ketika banyak orang berkumpul.

Ceritanya ada pangeran Hisyam bin Abdul Malik, putra Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Dia thawaf berdesakan dengan orang-orang tanpa protokoler kerajaan dan ingin mencium hajar aswad, tapi tidak ada orang yang mau memberi jalan untuknya. Tidak yang mengistimewakan dia sebagai putra khalifah.

Di saat yang sama, Hisyam melihat ada orang yang ketika dilihat khalayak, mereka pun memberi jalan dan mendahulukannya untuk mencium hajar aswad. Sosok ini adalah Ali Zainal Abidin. Hisyam tahu kalau itu adalah Ali tapi dia pura-pura tidak tahu dengan berkomentar, “Siapa itu ya?”

Maka Farazdaq yang berada di sana merasa tergugah dan menegur Hisyam dengan puisinya.

Dia adalah orang yang jejak kakinya dikenali oleh hamparan bumi
Tiada orang yang tidak mengenalnya, di tanah halal maupun tanah suci
Dia adalah keturunan hamba Allah paling mulia di seluruh alam semesta
Dia adalah seorang dengan ketenarannya ahli taqwa, bersih, nan suci
Dia adalah putra Fatimah jika engkau benar-benar tidak mengenalinya
Datuknya adalah penutup kerasulan seluruh nabi Allah di muka bumi

Catatan Nashir
Surabaya, 18 Jumadil Awwal 1443 H

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment