Anak-Anak Kita Bukan Pemain Sirkus

Anak-Anak Kita Bukan Pemain Sirkus

Anak-Anak Kita Bukan Pemain Sirkus

Suaramuslim.net – Seorang pemain sirkus berdiri dengan tongkat tegak pada kedua telapak tangannya. Salah seorang temannya kemudian menaruh piring di ujung atas masing-masing tongkat itu. Pemain sirkus itu kemudian berjalan dari satu ujung panggung ke ujung lainnya. Piring di pucuk tongkat itu tidak jatuh. Maka kemudian kawannya menambah jumlah piring yang ditumpuk. Adegan pun diulang. Piring-piring itu tetap tidak ada yang jatuh. Jumlah tumpukan piring itu terus ditambah sampai menjulang. Pemain yang membawa tongkat itu kembali berjalan dari ujung ke ujung panggung, dan akhirnya ia berlari. Tumpukan piring-piring itu tetap selamat tidak ada yang jatuh. Hebat! Tepuk tangan bergemuruh memenuhi arena pertunjukan.

Hampir semua orang berpendapat bahwa kemampuan yang dimiliki pemain sirkus dalam kisah di atas adalah sesuatu yang hebat. Tetapi pertanyaannya perlukah kita belajar membawa piring dengan tongkat seperti pemain sirkus itu? Sudah pasti tidak. Kita cukup membawa piring dengan tangan biasa. Lalu untuk apa kemampuan membawa piring dengan tongkat? Hanya untuk tontonan, tidak dibutuhkan dalan kehidupan sehari-hari. Bahkan kalau ada anak membawa piring dengan tongkat barangkali orangtuanya akan memarahinya. Membawa piring dengan tongkat hanya untuk ditepuktangani belaka.

Hari ini banyak orangtua tanpa sadar melihat anaknya seperi melihat pemain sirkus. Orangtua bangga saat melihat anaknya punya kemampuan tertentu saat kawan-kawan anaknya belum atau tidak bisa melakukannya. Bahkan banyak orangtua mengeluarkan biaya yang tidak sedikit agar anaknya punya kemampuan mendahului teman-temannya. Ini semua dilakukan hanya untuk mendapatkan “tepuk tangan” dari lingkungannya.

Diakui atau tidak banyak di antara kita yang selalu ingin buru-buru. Kita punya anggapan bahwa lebih cepat itu lebih baik. Memang begitulah watak manusia yang selalu tergesa-gesa. Mari perhatikan firman Allah di dalam surah Al-Isra’ ayat 11:

“Dan manusia berdo’a untuk kejelekan sebagaimana ia berdo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.“ (QS. Al Isra’: 11).

Perilaku tergesa-gesa dalam keadaan apa pun tidak bagus. Tindakan itu akhirnya hanya menghasilkan penyesalan. Keputusan yang diambil dengan tergesa-gesa cenderung salah. Demikian pula pekerjaan yang dilakukan dengan tergesa-gesa akan menghasilkan sesuatu yang buruk atau berkualitas rendah. Rasulullah Saw. Mengingatkan ummatnya dalam salah satu hadits berikut:

Sifat perlahan-lahan (sabar) itu dari Allah. Sedangkan sifat tergesa-gesa itu berasal dari syetan (HR. Abu Ya’la dan Baihaqi)

Rupanya, perilaku tergesa-gesa itu telah merasuk ke dalam ranah pendidikan. Berbagai studi perkembangan anak menyimpulkan bahwa 7 tahun adalah usia paling tepat bagi seorang anak untuk memasuki jenjang Sekolah Dasar. Bahkan pemerintah kita pun telah mengatur hal itu dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Tetapi kenyataan menunjukkan, hari ini sebagian orangtua memasukkan anak ke SD pada usia 6 tahun. Bahkan ada pula yang usia 5 tahun. Orangtua merasa bangga jika anaknya bisa masuk SD mendahului teman-temannya. Anak hebat dan layak mendapat “tepuk tangan”, begitu yang ada di benak sebagian orangtua.

Tentu saja tindakan seperti ini tidak benar dan bahkan bisa berbahaya bagi masa depan anak. Seorang anak yang belum siap dari aspek fisik dan psikis kemudian diberikan beban berlebih akan berdampak buruk. Ini akan berdampak jelek bagi perkembangan anak. Mari kita bayangkan proses pembangunan jembatan beton. Untuk menjadi jembatan yang kuat, diawal-awal proses pengecoran diperlukan besi-besi penyanggah. Proses ini memerlukan waktu yang tertentu. Jika suatu ketika ada orang yang buru-buru mengambil besi-besi penyanggah itu, apa yang akan terjadi? Pasti jembatan itu akan ambruk. Sekurang-kurangnya akan terjadi kerusakan pada jembatan beton itu.

Beberapa masalah akan timbul pada anak yang terlalu dini masuk Sekolah Dasar. Di antaranya anak akan mengalami kesulitan belajar. Dalam banyak kasus juga ditemukan anak tidak bisa bersosialisasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlalu cepat sekolah juga beresiko mengalami gangguan psikologis attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) alias sindrom hiperaktif.

Dan yang lebih penting, anak-anak selalu memerlukan masa bermain. Mengirim anak ke sekolah terlalu dini berarti merenggut masa bermain mereka. Tentu saja hal ini sangat tidak baik. Jika hari ini orangtua menghilangkan dengan paksa masa bermain pada anak-anak, jangan heran jika di kemudian hari akan banyak orangtua yang berjiwa kekanak-kanakan. Wallahu a’lam bi showab.

Oleh: Awang Surya*
Editor: Oki Aryono

*Motivator spiritual, penulis dan pembina satu lembaga pendidikan di Bogor

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment