Suaramuslim.net – Tabassumuka fi wajhi akhika shodaqoh. Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah. Begitulah bunyi salah satu hadist Rasul. Senyum selain berpahala sebagai sedekah ternyata juga dapat menyehatkan.
Menurut sebuah penelitian otot yang digunakan saat orang tersenyum hanya 30%, sedangkan orang yang suka cemberut kerja otot akan meningkat hampir 70%. Itulah mengapa ada ungkapan yang berbunyi, tersenyumlah maka engkau akan awet muda.
Tersenyum juga tidak hanya membawa manfaat kepada diri sendiri, tetapi juga kepada setiap orang yang melihat serta berjumpa dengannya. Orang yang murah senyum pasti akan lebih mudah mendapatkan sahabat baru bila dibandingkan dengan seseorang yang senantiasa bertampang muram.
Pribadi yang murah senyum juga telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Dari Jarir bin ‘Abdillah beliau berkata, “Sejak aku menjadi muslim, tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjumpa denganku melainkan senyum kepadaku”. (H.R Bukhari dan Muslim).
Pengaruh Senyuman Seorang Guru
Lalu bagaimana pengaruh senyum yang diberikan seorang guru kepada anak didiknya? Kalau orang dewasa di sekeliling kita saja lebih suka melihat kita tersenyum apalagi anak-anak yang lebih membutuhkan kasih sayang dari kita. Kita tidak pernah tahu problem apa yang dibawa anak dari rumah ketika mereka hendak berangkat ke sekolah. Ada anak yang memulai awal paginya dengan omelan dari sang Mama, bertengkar dengan Kakak, bahkan tak jarang mereka berangkat ke sekolah masih dalam keadaan menangis.
Inilah pentingnya sambutan yang diberikan guru kepada anak didiknya setiap pagi. Wajah yang ramah disertai senyuman yang tulus ikhlas, insya Allah akan sedikit mencairkan kekesalan hati sang anak. Sehingga mereka dapat menikmati aktivitas sekolah tanpa terbebani masalah dari rumah.
Namun senyum yang diberikan guru memang harus proposional. Jangan sampai karena kemurahan kita dalam memberikan senyuman akhirnya anak justru mengabaikan serta menyepelekan instruksi yang kita berikan. Ketika anak melakukan kesalahan kita wajib menegur dengan tegas kalau perlu memberikan konsekuensi logis terhadap perbuatannya.
Namun tegas di sini bukan berarti harus marah atau bahkan membentak anak. Cukup katakan dengan nada yang sedikit terangkat, irama yang pelan dan susunan kata yang terstruktur dengan jelas. Kalau perlu tambahkan dengan kalimat positif untuk membangun karakter anak.
Misalnya ketika kita mendapati anak yang membuat kelas menjadi gaduh saat jam pelajaran, kita coba tarik nafas panjang terlebih dahulu kemudian mendekat kepada anak tersebut, pandang tepat pada kedua matanya lalu katakan, ”Mas Reza anak baik, silahkan duduk rapi agar teman-temannya tidak terganggu dalam belajar. Bu guru yakin Mas Reza pasti bisa”.
Jangan lupa menyebut nama anak dengan panggilan yang baik sebagai bukti kita pun menghormatinya. Bila anak masih berbuat gaduh barulah kita berikan konsekuensi logis yang telah kita sepakati bersama dengan siswa.
Dalam hadist riwayat Abu Daud dijelaskan, bahwa percakapan Rasulullah begitu jelas, tidak tergesa-gesa, dan dipahami oleh setiap yang mendengar. Apabila Rasulullah ingin mengkritik seseorang Rasulullah tidak menyebutkan, ”Mengapa dia melakukan atau berkata begitu? Tetapi Rasulullah menyebut, ”Mengapa ada pihak yang berkata begini?”
Dari Anas bin Malik, ”Aku berkhidmat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama sepuluh tahu. Dan tidak pernah Rasulullah berkata kepadaku ”ah” (menghardik). Tidak pula berkata dengan apa yang aku lakukan ”Mengapa Engkau berbuat begitu?” tidak pula kepada apa yang tidak aku lakukan ”Mengapa engkau tidak melakukan itu”? (HR. at-Tirmidzi)
Tentu tujuan marah kita bukan hanya untuk sekedar meluapkan emosi, namun bagaimana kita bisa mendidik anak agar menjadi anak yang lebih baik. Jangan sampai kemuraman wajah itu masih kita tampakkan ketika anak-anak hendak pulang. Karena anak-anak sangat merindukan senyuman guru pada dua waktu tersebut. Yaitu ketika mereka baru datang ke sekolah dan ketika mereka akan pulang ke rumah. Wallahu a’lam bishawab.
Kontributor: Santy Nur Fajarviana*
Editor: Oki Aryono
*Pengajar di MIT Bakti Ibu Madiun