KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Nusantara Benteng Agama (2)

KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Nusantara Benteng Agama (2)

KH. Hasyim Asy’ari Ulama Nusantara Benteng Agama

Lanjutan dari artikel pertama “Hasyim Asy’ari: Ulama Nusantara Benteng Agama (1)”

Suaramuslim.net – Dalam Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdhatul ‘Ulama, Mbah Hasyim mewanti-wanti umat Islam agar tidak mengikuti paham Syiah. Bagi pendiri NU ini, baik Syiah Imamiyah maupun Syiah Zaidiyah bukanlah mazhab yang sah untuk diikuti.

Mazhab yang sah hanya empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Mbah Hasyim berkata, “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat. Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah adalah bid’ah sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti.”

KH. Hasyim Asy’ari menyeru para ulama untuk meluruskan penyimpangan golongan pencaci sahabat ini. Dalam Muqaddimah Qanun Asasi Mbah Hasyim mengutip penjelasan Ibnu Hajar dalam al-Shawa’iq al-Muhriqah atas hadits Rasulullah tentang perlunya menghalau para pencaci sahabat.

Hadits itu berbunyi, “Apabila telah nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia.”

Seruan ini digaungkan lagi dalam pidatonya pada muktamar pertama Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Mbah Hasyim mengingatkan umat bahwa mazhab yang sah hanya empat mazhab dan hendaknya berhati-hati dari aliran-aliran menyimpang dari aswaja.

Suatu ketika, seseorang bertanya kepada Mbah Hasyim, “Bagaimana cara membentengi umat dari paham Syiah?” Mbah Hasyim menjawab, “Buatlah shalawat yang memuji Abu Bakar, Umar, dan Utsman, dan Ali.”

Hasyim Asy’ari juga mewanti-wanti umat dari paham Ibahiyah yang muncul pada masa itu. Paham Ibahiyah menyatakan kewajiban syariat telah gugur pada seseorang yang telah mencapai maqam mahabbah (cinta). Orang yang telah mencapai derajat mahabbah kepada Allah tidak berkurang imannya walaupun melakukan dosa-dosa besar. Katanya, amalan tidak berpengaruh pada iman. Ibadah bagi orang demikian cukup dengan mengingat Allah.

Mbah Hasyim memvonis mereka sesat dan zindiq. Dalam kitab al-Dhurar al-Muntasirah fii Masaa’il al-Tis’a ‘Asyarah dengan tegas Mbah Hasyim menyatakan, syariat Nabi Muhammad saw dan Al-Qur’an tetap berlaku sampai hari kiamat.

Barangsiapa yang mengingkarinya atau membenarkan gugurnya kewajiban syariat maka ia telah murtad. Paham ibahiyah ini nampaknya salah satu satu wujud tasawuf yang menyimpang dari garis aswaja. Di tanah Arab paham ini dikenal dengan sebutan Bathiniyah sedangkan di Indonesia disebut kebatinan.

2 kitab tasawuf karangan KH. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari membahas tasawuf dalam dua kitab, yaitu Risalah Ahlussunnah wal Jamaah dan al-Dhurar al-Muntasirah fii Masaa’il al-Tis’a ‘Asyarah. Kitab al-Dhurar secara khusus beliau tulis untuk menjelaskan hakikat tasawuf, wali, dan thariqah yang sesuai aswaja serta corak tasawuf yang menyimpang.

Diantara ciri tasawuf yang menyimpang ialah menganut paham ibahiyah. Menurut Mbah Hasyim, munculnya aliran-aliran tasawuf yang menyimpang disebabkan oleh orang-orang bodoh yang membelokkan ajaran tasawuf (jahlatul mutashawwifah).

Mbah Hasyim sendiri memegang sanad tasawuf yang bersambung hingga Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali. Mbah Hasyim memperoleh ajaran tasawuf dari guru-gurunya di Makkah al-Mukarramah yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Khatib Sambas. Ajaran tasawuf Mbah Hasyim mengedepankan pengamalan syariat secara sungguh-sungguh sesuai tradisi tasawuf sejak masa Syaikh Junaid al-Baghdadi.

Syaikh Junaid al-Baghdadi atau Abil Qasim Junaid al-Baghdadi adalah imam besar sufi dari Baghdad. Beliau sangat ketat mendidik murid-muridnya mengamalkan syariat. Kata sang Imam, jika engkau melihat seseorang yang mampu berjalan di atas air, jangan ta’jub sampai engkau melihat amalan-amalannya.

Maksudnya, hakikat tasawwuf bukanlah hal-hal yang menakjubkan, yang tidak dapat dijangkau akal, atau tidak dapat dilakukan dan dialami oleh manusia pada umumnya. Tasawuf ialah kesungguhan mengamalkan syariat dengan mengikutkan segenap hati. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyatakan, tasawuf adalah pengamalan syariat pada tingkat ihsan.

Inilah tasawuf yang sesungguhnya. Menurut Imam Junaid, orang yang mengaku wali lantas meninggalkan syariat lebih buruk daripada pencuri dan pezina. Seorang sufi, wali, kata Mbah Hasyim, tidak akan memproklamirkan diri sebagai wali.

“Wali itu tidak membuka jalan popularitas dan juga tidak melakukan pengakuan akan kewaliannya. Bahkan kalau bisa ia akan menyembunyikannya. Karena itu orang yang ingin terkenal dalam hal tersebut, bukanlah ia seorang ahli thariqah.”

Inilah penjelasan Mbah Hasyim dalam al-Dhurar tentang hakikat tasawuf, wali, dan thariqah. Inilah tasawuf aswaja. Hal ini sangat berbeda dengan klaim-klaim para penganut tasawuf yang telah menyeleweng jauh dari jalan aswaja. Penjelasan Mbah Hasyim sekaligus bantahan kepada mereka yang berusaha menyesatkan tasawuf hanya karena adanya segolongan orang yang membelokkan ajaran tasawuf yang murni.

Selain menuangkan pemikiran aswaja dalam kitab-kitab, KH. Hasyim Asy’ari merealisasikan dan mentransmisikan ajaran aswaja melalui pesantren-pesantren. Melalui jam’iyyah Nahdhatul ‘Ulama, Mbah Hasyim menyerukan ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat.

Umat jangan terpecah-pecah karena hal-hal furu’. Sebaliknya, umat harus bersatu padu memerangi orang-orang yang menghina Al Quran, sifat-sifat Allah, dan para pengikut ilmu yang bathil dan aqidah yang rusak.

Sepanjang hidupnya, Mbah Hasyim dikenal dengan kegigihannya menuntut ilmu, menyebarkan agama, dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Beliau tidak pernah tunduk dan bersikap lunak kepada penjajah.

Bersama alim ulama Nahdhatul ‘Ulama, Mbah Hasyim memfatwakan wajib jihad fi sabilillah melawan tentara sekutu yang berusaha merebut kemerdekaan Indonesia. Berbekal semangat jihad ini, santri dari seantero Jawa dan Madura terjun ke medan perang 10 November 1945. Atas jasa-jasanya, pada tahun 1964 pemerintah RI menganugerahkan gelar pahlawan Nasional melalui Kepres No.294/1964.

Demikianlah sekelumit perjuangan KH. Hasyim Asy’ari menjaga agama dari penyimpangan. Kepakaran, ketegasan, dan kegigihan beliau yang tak kenal lelah membentengi umat dari paham menyimpang patut dijadikan pelajaran oleh generasi sekarang.

Mbah Hasyim telah tiada. Namun semangatnya semoga tetap hidup di tengah-tengah umat. Mbah Hasyim telah menunjukkan perannya, membaktikan hidupnya berkhidmat kepada umat. Kini, giliran kita menangkap semangat Mbah Hasyim sebagai bekal mengarungi hidup yang kian menantang.

Kontributor: Wahyudi Husain
Editor: Oki Aryono

*Staf Pengajar Pesantren At-Taqwa Depok

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment