Menjemput Asa di Hamparan Tandus Pendidikan

Menjemput Asa di Hamparan Tandus Pendidikan

Menjemput Asa di Hamparan Tandus Pendidikan

Suaramuslim.net – Alhamdulillah Selasa siang, 13 Maret 2018, saya ditakdirkan bertemu dengan sahabat dan kawan pendidik, serombongan guru satu SMPN Surabaya di sebuah Puskesmas. Saya tanya mengapa kok berada di Puskesmas? Mereka jawab ada program dari pemerintah kota, agar guru-guru melakukan pemeriksaan rutin. Keluhan mereka rata-rata kerja cepat capai, jenuh dan merasa beban kerja sangat tinggi. Mereka harus mengajar 30 Jam seminggu, itu artinya setiap hari mereka harus mengajar 5 jam.

Mereka memasuki ruang pemeriksaan, satu persatu, dan setelahnya saya ajak mereka untuk menceritakan apa yang disarankan oleh dokter.

Rata-rata dari hasil pemeriksaan dokter, tekanan darahnya tinggi, kolesterolnya juga tinggi, sehingga inilah yang menyebabkan mereka cepat lelah. Saran dokter, mereka diminta untuk berolahraga.

Saya mendengarkan sambil sesekali bergurau, lah ini ada juga guru olahraga, kok sarannya sama, hasil pemeriksaannya juga diindikasikan seperti yang lainnya. Sarannya juga disuruh banyak olahraga.

“Ah jangan-jangan memang perlu ada jam olahraga seperti kita dulu sekolah, setiap pagi selalu ada senam bersama.”

Apa Makna Penting dari Pertemuan Itu?

Saya merasakan bahwa kawan-kawan guru ini sudah tidak lagi mudah seperti dulu, sambil bergurau saya katakan bahwa wajarlah penyakit banyak menghampiri karena pekerjaan kawan-kawan sangat luar biasa.

Makanya semua disarankan agar memeriksakan kesehatannya. Kasihan kalau gurunya tidak sehat, jiwanya tertekan, muridnya mau jadi apa?

Saya katakan jadi guru itu anugerah, karena tidak semua orang bisa jadi guru dan mau jadi guru. Guru harus bisa menyenangkan dirinya sendiri ketika sistem kerja terasa gersang dan tandus menekan.

Memerdekakan Diri

Sebagai makhluk yang punya mau dan berpikir, guru sebagaimana manusia yang lainnya juga mempunyai keinginan untuk bebas dari rutinitas hidup.

Guru memerlukan sebuah zona lain dalam memerankan lakon dalam peran hidup dan profesinya.

Zona lain tidak harus selalu dipahami sebagai sebuah ruang dan tempat secara fisik, tetapi juga kemampuan guru memainkan dirinya secara dinamis memindahkan perasaannya dari zona rasa satu ke zona rasa yang lain, atau dinamisasi cara dalam proses dan pendekatan pembelajaran yang dilakukan.

Dinamisasi itulah yang menyebabkan guru akan selalu berada pada tempat yang baru dan menyenangkan.

Bukankah hanya mereka yang mempunyai jiwa yang senang yang akan mampu menyemai kesenangan terhadap yang lain? Kemampuan memainkan peran dan rasa serta menyenangkan orang lain terutama muridnya hanya bisa dilakukan oleh guru yang berjiwa merdeka.

Nah lalu apa yang bisa dilakukan dalam memainkan peran di zona lain itu?

Dalam beberapa kali kelas diskusi yang saya lakukan, saya selalu memulai dengan pertanyaan, “Untuk apa sih Anda belajar?” Para murid saya yang sudah berstatus mahasiswa selalu menjawab untuk mendapatkan ilmu.

Bagi saya jawaban yang diberikan oleh mahasiswa merupakan pijakan dasar mengapa harus belajar?

Sama dengan pertanyaan ketika diajukan kepada guru, mengapa Anda mengajar? Jawabannya pasti berkisar pada pernyataan untuk memberi ilmu dan memintarkan murid.

Jawaban-jawaban normatif yang dilakukan oleh mahasiswa maupun guru, akan menentukan cara bagaimana dia belajar dan dia mengajar. Itulah yang disebut sebagai sebuah filosofi hidup.

Memerdekakan diri hanya akan bisa dilakukan kalau jiwa kita mampu menjejak dari situasi satu ke situasi lain. Keberanian berpindah situasi itulah modal awal untuk memerdekakan diri.

Nah, kembali pada pengalaman awal yang saya jumpai ketika kawan-kawan guru diminta untuk memeriksakan kesehatannya. Mereka merasakan pekerjaan yang mereka lakukan tidak lagi menjadi sebuah profesi yang merdeka, tapi dalam bayang-bayang tuntutan dan ketakutan.

Yang saya maksud dengan bayangan tuntutan, mereka dipaksa melakukan kerja-kerja yang baik dengan target target yang maksimal. Masyarakat menuntut kerja terbaik mereka ditambah lagi para pimpinan mereka juga menjadi algojo yang bisa menentukan nasib dan masa depan mereka.

Guru berada dalam tekanan sistem dan perasaannya. Akibatnya sudah bisa ditebak, jiwa mereka gersang dan perasaan mereka menjadi tandus, bekerja berada dalam posisi diantara pengabdian dan ketakutan salah.

Murid akan menjadi korbannya. Bisa jadi peristiwa kekerasan yang mendera dunia pendidikan kita, bukanlah sebuah peristiwa yang berdiri sendiri, tapi merupakan sebuah rangkaian yang memang sedang kita ciptakan.

Berdamai dengan Keadaan

Sebagai mahluk yang bermain dan berkebutuhan, begitu para penganut psikologi humanisme memposisikan, sejatinya setiap manusia dibekali kemampuan untuk melakukan netralisasi terhadap sebuah peristiwa yang mengganggu siklus hidupnya.

Selalu ada obat diantara penyakit yang ada, juga selalu ada kemudahan di tengah kesulitan yang kita hadapi.

Begitulah Allah menggambarkan bahwa segala sesuatu selalu diciptakan secara berpasang-pasangan, agar kita mau belajar.

Berdamai dengan keadaan adalah sebuah dinamisasi perasaan untuk bisa menyenangkan diri dalam situasi apapun, sehingga hidup akan selalu diarungi dengan kemerdekaan diri. Lalu, bagaimana Allah mengajarkan kita menjadi manusia yang merdeka itu?

“Barangsiapa bersyukur, maka akan AKU tambah nikmat-KU, dan barangsiapa kufur, sesungguhnya adzab-KU sangat pedih”.

Kemampuan melihat diri apa adanya, dan kemauan untuk menjadi lebih baik lagi adalah sebuah penegasan rasa syukur kita.

Sehingga dalam situasi apapun yang kita hadapi harus selalu ada perasaan ini adalah cara kita menjadi lebih baik lagi.

Rasa itulah yang akan membawa diri kita pada situasi yang sehat dan selalu tersenyum dalam berbagi kebaikan.

“Sesungguhnya diantara pergantian siang dan malam, serta dalam penciptaan langit dan bumi, sesungguhnya ada tanda-tanda kekuasaan-KU bagi mereka yang mau berpikir.

“Yaitu mereka yang selalu belajar terhadap peristiwa yang ditunjukkan Allah, mereka yang selalu berdzikir di semua keadaan, baik ketika dalam keadaan berdiri, duduk maupun terbaring, lalu mereka berkata bahwasannya tidak ada satupun apa yang diciptakan Allah yang tidak mempunyai makna. Maha suci Allah dan jauhkan aku dari siksa neraka-MU.”
(Q. S. Ali Imraan: 190 – 191)

Semoga kita bisa terhindar dari keluh kesah dan menjadi hamba yang selalu bisa bersyukur. Amiin (Ditulis di Surabaya, 14 Maret 2018)

 

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment