Bagaimana Islam Memaknai “Knowledge Based Economy”?

Bagaimana Islam Memaknai “Knowledge Based Economy”?

Bagaimana Islam Memaknai “Knowledge Based Economy”
Ilustrasi pertumbuhan pembangunan di Indonesia. (Foto: Newswantara.com)

Suaramuslim.net – Ahad 10 Februari yang lalu, Forum KAHMI di hotel JW Mariot Surabaya memang terasa luar biasa dilihat dari jumlah yang hadir sekitar 50 guru besar-doktor bidang ekonomi. Pembicara utamanya di sesi pertama mantan Ketua BPK Harry Azhar Azis, Pakar Ekonomi IPB Didin Samanhudi, dan Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi, serta dimoderatori oleh Rektor Unair Surabaya yang ahli ekonomi.

Saya cermati paparan teori dan praktik ekonomi pembangunan skala nasional dan internasional dari ketiga narasumber utama tadi sampai habis. Memang terasa menarik jika dipandang dari sisi pergulatan pemikiran secara umum, seperti uraian ukuran-ukuran dan fakta kondisi ekonomi makro termasuk growth rate yang 5,1%, gini ratio yang katanya sekitar 0,37 tapi itu tinjauan pengeluaran, jika diukur dari sisi pendapatan rakyat bisa nilainya di atas 0,50. Luar biasa memprihatinkan!

Juga diurai dengan runtut bagaimana Indonesia bisa-bisanya mulai terjerat ekonomi kapitalistik, keluar dari prinsip kerakyatan dari UUD 45, mulai kesepakatan masuk pasar bebas, berkurangnya kendali pemerintah terhadap aset-aset ekonomi bangsa dan kebutuhan pokok rakyat seperti energi, lahan, air dll. Bagaimana undang-undang perekonomian dibuat dengan advokasi konsultan asing sehingga bernuansa merugikan kepentingan nasional.

Peran negara-pemerintah semakin lemah. Melemah untuk mengendalikan ekonomi nasional. BUMN strategis berturut-turut berguguran jatuh dalam kendali asing. Bagaimana pertumbuhan ekonomi internasional kini didominasi oleh kemampuan inovasi dan teknologi canggih, bukan lagi sumber daya alam, seperti unggulnya profit korporasi Apple masa kini dibanding Cocacola yang tenggelam.

Indonesia tentulah harus mengejar ketertinggalan itu, saving kemampuan aset intelektual tersebut. Untuk itu harus dipahami peran penting dari pendidikan dan kesehatan.

Lalu juga diurai ruwetnya pendidikan yang walau sudah mendapat alokasi anggaran 20% tapi tidak juga berubah banyak. Katakanlah jumlah SD 137 ribu, tapi SMP hanya 78 ribu, untuk SMA 35 ribu (catatan saya tentang jumlah persisnya sekolah-sekolah tersebut tidak ketemu, tapi seingat saya sekitar itulah). Artinya jika anak-anak SD bisa diproses lulus semua lalu mereka mau ke sekolah menengah mana? Juga selanjutnya urutan sampai ke perguruan tinggi mana?

Untuk pelayanan kesehatan dikatakan juga sudah mengadopsi sistem terbaik yang ada di dunia. (Sayang tidak disebut rinciannya, mungkin maksudnya BPJS, tanpa tantangan komplikasi-komplikasi faktual di lapangan saat ini). Juga disebutkan potensi keunggulan bisnis pariwisata dalam tren dunia. Disebut adanya keindahan alam dan unik-beragamnya kebudayaan Indonesia (juga tidak disebut kini sedang lesunya wisatawan asing-domestik oleh bencana alam bertubi-tubi serta meroketnya tiket pesawat dan tarif bagasinya).

Paparan-paparan tentang kondisi ekonomi makro tersebut sepertinya cukup klasik, dipresentasikan variatif dari waktu ke waktu tanpa menyentuh sama sekali peran ajaran Islam terkait ekonomi pembangunan.

Indonesia di Tengah Belantara Kapitalisme Global

Kita jadinya larut dalam tarian proses ekonomi sekuler global sampai kapan pun, hanya sebagai pelengkap penderita permainan global. Mimpi-mimpi atau prediksi bahwa Indonesia akan jadi juragan di tahun mendatang terus didengung-dengungkan, namun ujung-ujung faktanya lalu terpuruk, merangkak lagi tertatih-tatih dari awal, berharap-harap lagi, terkena krisis lagi, dan seterusnya.

Masih ingat tentunya harapan-harapan muluk di era Orde Baru yang berakhir dengan tragedi ekonomi? Apa sekarang kita juga tidak mengulang mimpi indah bahwa di tahun 2045 nanti Indonesia akan menjadi the best ten kekuatan ekonomi dunia, namun jangan-jangan hanya 10 tahun ke depannya saja menjadi negera bubar, dianeksasi tetangga?

Mengapa kekhawatiran itu bisa terjadi? Jawabnya relatif mudah karena kita berada di belantara sekularisme-kapitalisme, bersaing dengan singa-serigala-buaya kapitalis global dengan pola persaingan bebas ala desain mereka. Kita mengandalkan modal lahan dan kekayaan alam di dalamnya, yang faktual secara bertahap sudah dimiliki dan dieksploitasi asing melalui agen-agen mereka di sini.

Coba fakta tersebut direnungkan mendalam, yang katanya PDB dan income per capita naik pesat tapi prestasi siapa? Bukankah prestasi segelintir orang yang disebut berwarga negara di sini?

Lanjut ke halaman 2

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment