Suaramuslim.net – Zakat seharusnya punya keterkaitan dengan negara. Karena konsep dasarnya, zakat dikelola oleh negara. Lau bagaimana dengan di Indonesia?
Sebagai satu sistem redistribusi kekayaan dalam masyarakat Islam, zakat mempunyai keterkaitan dengan negara. Namun, masih ada orang memandang bahwa zakat hanya sebagai “filantropi”, sehingga negara tidak perlu campur tangan.
Hal tersebut juga dilansir oleh zakat.or.id sebagaimana fungsi zakat yaitu sebagai modal pembangunan negara sehingga perlu dibuatkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara penerimaan, pengelolaan dan penyaluran dana zakat kepada kelompok masyarakat yang berhak menerima.
Fungsi dari peraturan perundang-undangan tentang zakat ini, tentu saja dijadikan sebagai dasar hukum yang mengatur kegiatan amil zakat mulai dari pengumpulan zakat, pengelolaan, hingga penyalurannya. Adapun fungsi lain dari undang-undang zakat ini juga mengharuskan setiap lembaga amil zakat dapat bersikap lebih profesional dan amanah dalam menyalurkan dana zakat yang bersumber dari masyarakat khususnya umat muslim kepada mereka yang berhak menerima.
Selain itu, jika hukum tentang zakat ini diberlakukan di Indonesia, maka informasi terkait pelaksanaan ibadah zakat bisa didapatkan oleh umat muslim secara terbuka. Maka dari itu, harus ada peran dari negara yang memberikan sarana dan prasarana peribadahan bagi warga negara sehingga dapat tercipta pemerataan dan kemakmuran di masyarakat.
Lahirnya Undang-undang Pengelolaan Zakat
Pada tahun 1999 disahkan Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dasar hukum ini diperkuat lagi dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Urusan Haji Nomor D tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. (sumber: zakat.or.id)
Dengan demikian, lembaga amil zakat di Indonesia memiliki ketentuan yang mengikat dalam menerima, mengelola dan menyalurkan dana zakat kepada kaum dhuafa.
Pasca pemberlakuan UU Nomor 38 Tahun 1999 (Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat), lembaga pengelola zakat pun mulai bermunculan di Indonesia, baik Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat. Tidak kurang dari 31 BAZ Provinsi, lebih dari 300 BAZ kabupaten/kota, dan 18 LAZ Nasional. Selain BAZ dan LAZ, lembaga pengelola zakat yang tidak resmi di masyarakat jumlahnya mencapai ratusan. (sumber: imz.or.id)
Nilai Dasar Pengelolaan Zakat
Terkait dengan Nilai dasar pengelolaan zakat, pusat.baznas.go.id melansir beberapa cakupan di antaranya adalah penegakan rukun Islam, pelaksanaan ibadah, eksistensi peran negara, dan perantara muzaki dan mustahiq.
Menunaikan zakat sama artinya dengan menegakkan Dienul Islam, karena itu setiap muslim yang benar aqidahnya setuju dengan kebijakan Khalifah Abu Bakar Ashiddiq radiallahu anhu yang memerangi orang yang tidak mau bayar zakat.
Kemudian pengelolaan zakat harus didasari oleh nilai pelaksanaan ibadah. Pelaksanaan ibadah akan sah apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Pengelolaan zakat harus didasari nilai keberadaan peran negara. Ketika negara sudah layak dan mampu, maka pengelolaan zakat semestinya hanya dilakukan oleh negara.
Demikian perjalanan pengelolaan zakat sejak pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang menggambarkan begitu terang benderang tentang peran negara ini. Undang-undang Pengelolaan Zakat yang baru menyatakan bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh BAZNAS dengan peran masyarakat masih diakomodir melalui LAZ dalam rangka membantu BAZNAS.
Terakhir, Pengelolaan zakat harus didasari oleh nilai bahwa amil adalah perantara muzaki dengan mustahik. Fokus utama para pengelola zakat adalah bagaimana agar para aghniya yang menunaikan zakat semakin banyak dan yang menunaikan melalui amil semakin tinggi serta mustahik mendapatkan haknya dengan terhormat dan memperoleh manfaat untuk hidup lebih baik dari haknya tersebut. Walaupun amil adalah salah satu mustahik, namun tidak elok dan menjadi salah apabila fokus para pengelola zakat adalah kepada kenyamanan diri dan lembaganya.
Karakteristik Pengelolaan Zakat
Dikutip dari sumber pusat.baznas.go.id karakteristik pengelolaan zakat melekat pada dana zakat itu sendiri, baik dari sisi sumbernya, cara memperolehnya, peruntukannya, maupun penyerahannya. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa harta dan hasil usaha yang wajib dikeluarkan zakat harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antara syarat-syarat tersebut adalah halal, milik penuh, berkembang (namaa), sampai nishab, bebas dari hutang, dan haul. Syarat selengkap ini tidak berlaku pada harta yang diinfaqkan, dihibahkan, donasi kepedulian, atau donasi kemanusiaan.
Dana zakat yang dikelola oleh negara, seharusnya diambil (dipaksa) bukan dihimpun berdasarkan sukarela dari pemberi dan pada saat diterima amil wajib mendoakan muzaki. Inilah pemahaman yang ada pada para pengelola zakat dalam membaca ayat 103 dari Al-Quran Surah Attaubah. Hal ini menguatkan bahwa untuk zakat peran negara tidak boleh dinafikan karena hanya negara yang berhak memaksa.
Dari uraian diatas, sudah sepatutnya kita bersyukur dengan disyahkannya UU Pengelolaan Zakat maka negara mempunyai fungsi dalam menjalankan hukum serta menindak lembaga zakat yang menyeleweng dari aturan. Hal tersebut tentu saja terkait dengan masalah pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat.
Kontributor: Yetty
Editor: Muhammad Nashir