Dalam buku “Uluww al-Himmah” (Hal: 316) karya Muhammad Ahmad Ismail Muqaddam, Al-Qadhi bin Syaddad menggambarkan dengan sangat baik cita-cita agung Shalahuddin, “Bagi Shalahuddin, masalah Al-Aqsha adalah perkara amat besar yang tak ‘kan mampu ditanggung gunung sekalipun.
Kehilangan Al-Aqsha bagi beliau laksana seorang ibu kehilangan anak yang berkeliling sendiri untuk mencari anaknya. Beliau memotivasi umat Islam untuk berjihad (merebut kembali Al-Aqsha), seraya berkeliling melibatkan diri secara langsung untuk menemukannya, seraya berujar, ‘Wahai umat Islam!’ pada waktu bersamaan, kedua matanya basah dengan air mata.”
Pada kesempatan lain, ada cerita cukup heroik yang menggambarkan secara jelas bagaimana kapasitas Shalahuddin dalam bercita-cita tinggi. Saat beliau melihat gelombang laut dari tepi pantai, ia menoleh kepada Al-Qadhi bin Syaddad seraya bertanya, “Maukah kamu aku beri tahu apa yang sedang terpikir dalam benakku?”
Al-Qadhi belum sempat menjawab, Shalahuddin langsung melanjutkan pernyataanya dengan narasi yang kuat, “Saat Allah nanti mengaunegerahiku kemampuan untuk membebaskan pantai-pantai yang tersisa,” tegasnya, “maka negeri-negeri itu akan aku bagikan (kepada umat Islam), dan aku tinggalkan kemudian aku naik kapal menuju pulau-pulau lainnya, aku ikuti mereka (pasukan Salib) sampai tidak tersisa lagi orang yang kafir kepada Allah atau aku mati.”
Dari diksi-diksi yang dipakai, terasa jelas betapa tingginya cita-cita Shalahuddin: gunung saja tak mampu menanggung beban problem Al-Aqsha, antusiasnya dalam membebaskannya bagai ibu yang kehilangan anaknya, bahkan cita-cita tingginya adalah jangan sampai tersisa orang kafir di muka bumi dan beliau siap kehilangan nyawa untuk memperjuangkannya.
Meski cita-cita untuk tidak membiarkan ada orang kafir tak mungkin direalisasikan –karena memang Allah menjadikan orang berbeda- tapi paling tidak dari sini bisa dirasakan getaran semangat Shalahuddin untuk misi pembebasan ini. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa beliau pada akhirnya sukses merebut kembali Baitul Maqdis.
Selain atas izin Allah, tentu saja di antara hal yang membuat Shalahuddin sukses adalah semangat dan cita-citanya yang tinggi. Cita-cita yang malampaui kepentingan pribadi; gelora semangat yang tumbuh karena ingin menggapai ridha Allah; untuk menggapainya ia bersedia meregang nyawa.
Perjuangannya pun tidak sia-sia, dan akhirnya Baitul Maqdis bisa dibebaskan. Umat Islam di masa ini membutuhkan pemimpin besar seperti Shalahuddin yang memiliki cita-cita besar bagi kepentingan Islam dan umatnya.
Sebagai penutup, ide tentang cita-cita tinggi juga ada dalam hadits nabi:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
“Dalam surga ada seratus tingkatan, Allah menyediakannya untuk para mujahid di jalan Allah, jarak antara keduanya seperti antara langit dan bumi. Karena itu, jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus, karena sungguh dia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya ada Arsy Sang Maha Pengasih, dan darinya sumber sungai-sungai surga.” (HR. Bukhari)
Di sini, yang dianjurkan Rasulullah bukan sekadar mendapatkan yang baik (masuk surga), tapi menggapai yang terbaik (masuk surga yang tertinggi). Dan ini adalah ‘uluwwul-himmah yang dianjurkan beliau.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan, Lc*
Editor: Oki Aryono
*Tim Konten Pimpinan AQL Islamic Center Ustadz Bachtiar Nasir), alumnus Univ. Al Azhar Mesir