Bentuk Cinta Allah Itu Bernama Musibah

Bentuk Cinta Allah Itu Bernama Musibah

Resep Mujarab dari QS Al Hadid ayat 22-23 dalam Menyikapi Musibah
Foto salah satu masjid yang ambruk di Desa Sembalun Bumbung Lombok Timur (foto: suaramuslim.net)

Suaramuslim.net – Allah menegur, meluluh lantakkan semua. Derai air mata deras mengalir, mayat bergelimpangan, berdarah-darah penuh sesak di bumi. Musibah datang silih berganti, sebagai bukti cinta Allah pada umatNya.

Al Kirmani dalam Kitab Al Mardha menjelaskan bahwa musibah jika ditinjau dari segi bahasa adalah apa saja yang menimpa manusia secara mutlak (umum). Jika ditinjau dari segi istilah bermakna peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak disukai yang terjadi.

Di sisi lain, Imam Al Qurthubi memaparkan bahwa musibah adalah segala sesuatu yang menyakitkan, merugikan, menyusahkan orang mukmin dan menimpa dirinya.

Sementara itu, Prof. Dr. H.M. Roem Roewi, MA, seorang ahli Quran sekaligus Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya menukil dari Al Quran surat Asy Syuura:30 yang berbunyi,

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”

Maka dari itu, musibah tak jarang membuat manusia berlinangan air mata, tercerai berai dari sanak keluarganya dan itu bukanlah hal yang membahagiakan. Musibah menjadi sesuatu hal yang membuat manusia atau makhluk hidup manapun tak nyaman jika berada dalam kondisi tersebut.

Di sisi lain, musibah hebat baru saja terjadi di Indonesia. Gempa berkekuatan 6 hingga 7 skala richter mengguncang salah satu pulau yang mendapat julukan Pulau Seribu Masjid, Pulau Lombok. Bahkan tak hanya sekali guncang, berkali-kali guncangan dirasakan warga. Gempa-gempa susulan bermunculan, merobohkan bangunan, meluluh lantakkan sebagian besar pulau, menelan ratusan korban, menyisakan duka yang mendalam dan teramat berat bagi warga dan wisatawan pulau tersebut.

Kemudian, dengan tenang Roem kembali menjelaskan dan mengambil contoh. “Dulu, di masa sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, Umar bin Khattab, pernah terjadi gempa. Umar pun berpendapat bahwa gempa atau musibah ini terjadi tidak lain karena dosa-dosa.”

Meski begitu, sebagai umat Islam haruslah memandang suatu musibah sebagai bentuk kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala. “Bagi kita umat Islam, meskipun berakibat bencana tapi itu merupakan bentuk kasih sayang Allah.” jelas Roem dengan senyum.

Kembali, Roem mengibaratkan musibah yang direncanakan oleh Allah itu ibarat orangtua kepada anaknya yang nakal. “Ibarat orangtua mengingatkan anaknya yang nakal dengan sedikit menarik telinganya. Tentu itu bukan untuk menyiksanya, tapi untuk mengingatkannya.” kata Roem kembali.

Oleh karena itu, sebagai seorang mukmin wajib khusnudzan kepada Allah dan berpandangan positif dalam menanggapi suatu bencana. Dia memiliki begitu banyak rahasia di balik suatu bencana yang hanya diketahui olehNya. Musibah datang kepada manusia sebagai bentuk cintaNya kepada umatNya.

Ibadah, Tugas Utama Seorang Mukmin

Musibah setidaknya dapat membuka pandangan seorang mukmin bahwa ia harus kembali padaNya, memohon ampunanNya. Karena, tugas manusia dan jin diciptakan semata-mata untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian, Roem kembali menukil dari Al Quran surat Adz Dzariyat:56, yang berbunyi:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (mengabdi) kepadaKu.”

Dengan tujuan diciptakannya manusia dan jin seperti ini, manusia memiliki kewajiban untuk memenuhi tujuan tersebut.

Di sisi lain, tugas alam dijelaskan kembali olehnya adalah mengabdi kepada manusia. “Jadi, kalau pengabdian kita kepada Allah kita langgar dan tidak optimal. Maka, pengabdian alam kepada kita akan berbeda. Alam akan merespon negatif.” ungkap Roem.

Dengan hal tersebut, maka ini dapat dikaitkan dengan dosa-dosa yang selama ini sudah dilakukan. Alam akan terus memberi respon yang sama jika manusia tidak segera introspeksi atas segala tutur serta tindakannya.

Musibah dan Mati Syahid

Dipaparkan kembali oleh Roem bahwa pandangan ulama menyatakan bila saat itu terjadi musibah dan seseorang itu berada pada iman yang benar maka orang tersebut dapat dibilang mati syahid. “Semisal jika musibah terjadi dan seseorang lagi sholat, jika Allah berkehendak ia meninggal saat itu. Meninggalnya itu meninggal secara syahid.” ungkap Roem.

Musibah Membawa Hikmah

Oleh karenanya, Roem kembali memberikan penjelasan, “Jika, musibah itu disikapi oleh mukmin dengan benar, kita mengakui rasa bersalah kita, berubah berusaha untuk memperbaiki diri maka musibah dapat membawa hikmah.”

Nyatanya, Allah subhanahu wa ta’ala mempersiapkan hikmah di balik suatu musibah. “Yang pertama sebagai pelajaran bagi kita, dan yang kedua sebagai menghapuskan dosa-dosa kita, dan satu lagi yaitu menambah pahala kita.” ujarnya kembali.

Sementara itu, memang tak dapat dipungkiri bahwa musibah datang menyisakan duka yang dalam dan amat berat bagi para korban. Tangisan histeris korban dimana-mana, air mata berlinang membanjiri pipi, mayat bergelimpangan, darah berliter-liter tercecer membuat suasana kian mencekam saat musibah terjadi.

Menurut Roem, musibah dapat disikapi seorang mukmin dengan menyadari bahwa suatu musibah datang karena akibat dari dosa-dosa, kemudian segera bertaubat dan kembali pada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena, suatu musibah datang tak ubahnya sebagai penghapus dosa dan penambah pahala bagi umatNya.

Dengan begitu, akan semakin tegar seorang mukmin dalam menanggapi suatu bencana dan melatih sikap serta pandangan seorang mukmin agar selalu berkhusnudzan kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika Allah menurunkan suatu musibah.

Kontributor: Ilham Prahardani
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment